Wyvern, 09

2969 Words
Hal pertama yang dilihat Algren begitu membuka mata adalah wajah Drew yang terlihat mencemaskan dirinya. “Kau sudah sadar?” Alih-alih memberikan jawaban, Algren kini sedang sibuk menelisik sekeliling. Setelah diperhatikan baik-baik, sepertinya dia tahu sedang berada di mana jika melihat dari perabotan dan juga aromanya yang khas. “Apa aku sedang di ruang medis?” tanyanya, memastikan dirinya tak salah menerka. Drew mengangguk, mengiyakan, “Ya, kau ada di ruang medis. Kau langsung dibawa ke sini begitu Eldron mengembalikanmu.” Algren tertegun, mencoba mengingat-ingat kembali apa yang sudah menimpanya sampai dia dibawa ke ruang medis. Ketika sedikit demi sedikit potongan ingatannya mulai terkumpul sempurna, Algren pun memekik heboh sampai tanpa sadar dia langsung mengubah posisi berbaring menjadi duduk. “Aku ingat sekarang. Ketika akan menunggangi Eldron, tiba-tiba dia terbang padahal aku belum duduk di punggungnya dengan benar.” “Lalu setelah itu apa yang terjadi? Kami tidak tahu karena kau dibawa terbang tinggi sekali oleh Eldron. Terus kenapa kau bisa sampai tidak sadarkan diri?” Algren mengembuskan napas frustrasi jika mengingat kejadian tadi di mana dia pikir nyawanya akan melayang, sungguh dia tak ingin membayangkannya lagi. Rasa takut, ngeri dan panik yang dia rasakan sungguh tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. “Jadi bagaimana? Tadi itu apa yang terjadi? Aku menunggu jawabanmu.” Namun, karena Drew terus mendesak, Algren menyadari dia tak memiliki pilihan selain menceritakan segalanya. Satu persatu hal yang dialami saat terbang bersama Eldron mulai dia ceritakan tanpa ada satu pun yang dia tutup-tutupi dari Drew. Sepanjang mendengar cerita Algren, Drew terus tertawa lantang seolah Algren yang ketakutan setengah mati itu merupakan lelucon lucu baginya. “Jangan tertawa, Drew. Serius tadi aku takut sekali. Aku pikir akan mati.” “Maaf, maaf,” sahut Drew di tengah-tengah tawanya yang begitu sulit untuk dihentikan. “Apa sebegitu lucunya ya kejadian yang menimpaku sampai kau tidak bisa berhenti tertawa?” Tanpa ragu Drew mengangguk-anggukan kepala, tak peduli meskipun Algren kini memasang wajah cemberut. “Aku ragu bisa kompak dengan Eldron. Padahal aku lihat kalian semua sudah akrab dan kompak dengan Wyvern masing-masing. Sedangkan aku …” Algren hanya bisa menggelengkan kepala mengingat bagaimana Eldron begitu buruk memperlakukan dirinya. “Ini karena kau yang mencari gara-gara duluan dengannya. Padahal kami saja tidak berani berkata kasar pada Wyvern kami, kau malah bersikap sekasar itu padanya waktu itu.” Algren berdecak, “Kejadian itu kan sudah lama. Sudah enam bulan yang lalu.” “Tapi ingatan Eldron sepertinya sangat bagus. Dia masih mengingat dengan jelas kejadian itu makanya dia bersikap seperti itu padamu.” “Lalu bagaimana caranya supaya aku bisa berbaikan dengannya?” Drew mengangkat kedua bahu, tanda tak tahu. “Seandainya aku tahu bahasa atau apa yang ada di pikiran para Wyvern, mungkin aku akan membantumu mencarikan solusinya.” Bahu Algren seketika melemas, merasa tak memiliki kesempatan untuk bisa dekat dan kompak dengan Eldron. Tidak seperti siswa-siswa yang lain, hanya dalam waktu enam bulan mereka mulai bisa mengendalikan Wyvern masing-masing yang terkenal buas dan liar itu. “Sudahlah. Aku rasa wajar jika Eldron sulit untuk ditaklukan. Dia berbeda dengan Wyvern yang lain. Lagi pula, King Reegan saja dulu harus bertarung mati-matian dengan Eldron sampai bisa menaklukannya.” “Apa aku juga harus bertarung dulu dengan Eldron supaya bisa mengendalikannya?” Algren meringis karena Drew tiba-tiba memukul keningnya cukup keras. “Kenapa kau memukulku?” “Supaya kau cepat sadar. Kau ini masih pingsan atau bagaimana? Berpikir untuk bertarung dengan Eldron, memangnya kau pikir bisa menang? Ingat, Raja Reegan saja hampir mati melawannya. Raja Reegan yang terkenal kuat karena menguasai sihir itu saja nyaris tewas di tangan Eldron. Pertarungan mereka sangat sengit, ini bukti Eldron sangat kuat. Jangan berpikir yang aneh-aneh, apalagi bicara sembarangan. Ingat, hubunganmu dan Eldron jadi buruk seperti ini juga karena kecerobohanmu yang bicara sembarangan padanya.” Yang bisa dilakukan Algren hanyalah mendengarkan ucapan Drew dengan baik karena seperti biasa pria itu selalu berpikir dewasa dan bijak. Untuk kesekian kalinya Algren merasa beruntung memiliki sahabat seperti Drew, yang begitu peduli padanya. Lihatlah, bahkan di saat dirinya pingsan hanya Drew yang setia menemaninya di ruang medis, tak ada siswa lain yang peduli. Ngomong-ngomong tentang ruang medis, sebuah pemikiran terlintas di benak Algren. Ingatan terakhirnya sebelum pingsan adalah dia yang jatuh dari punggung Eldron, lalu bagaimana jadinya dia bisa terdampar di ruang medis ini padahal seharusnya tubuhnya sudah hancur karena menabrak tanah dari ketinggian seperti itu? “Oh, iya. Drew, kenapa bisa aku ada di sini? Padahal seingatku, aku jatuh dari punggung Eldron.” “Eldron yang membawamu.” Algren terbelalak, “Membawaku bagaimana?” “Dengan kakinya, dia mencengkeram tubuhmu yang tidak sadarkan diri dan mengembalikanmu pada kami.” Kini Algren mengingat sesuatu yang nyaris dilupakannya. Benar juga, sebelum dirinya pingsan, samar-samar dia memang melihat sosok Eldron menukik tajam ke arahnya seolah berusaha menangkapnya. “Kurasa Eldron sebenarnya peduli padamu. Karena itu dia menolongmu. Ya, walau kurasa memang wajar dia peduli padamu karena bagaimanapun kau ini ksatria penunggangnya yang dia pilih sendiri.” Algren tak berkomentar apa pun karena sungguh dia tak paham sedikitpun cara berpikir para Wyvern. Jangankan cara berpikir mereka, bahkan bahasa mereka pun tidak bisa dipahami. “Aku sampai sekarang masih penasaran, sebenarnya para Wyvern itu berasal dari mana karena jelas mereka itu bukan penghuni Planet Terrarum, tapi mereka itu semacam pendatang, bukan?” Drew mengangguk setuju, “Pertanyaan ini juga selalu menjadi misteri bagiku. Entah akan terpecahkan atau tidak. Hanya waktu yang akan menjawabnya.” Di tengah-tengah suasana membingungkan di antara sepasang sahabat baik itu, mereka dikejutkan oleh langkah kaki yang tiba-tiba terdengar. Seorang pria yang merupakan teman sekelas mereka, tiba-tiba muncul dari balik pintu dan menghampiri mereka. “Aku disuruh memanggil kalian. Tuan Morgan ingin mengumumkan sesuatu pada kita.” Drew dan Algren saling berpandangan, entah apa pun yang akan diumumkan oleh Morgan, jika sampai Algren yang baru tersadar dari pingsannya saja harus ikut, artinya pengumuman itu cukup penting dan harus didengar oleh semua siswa RKA, tanpa terkecuali. *** Suara riuh di dalam kelas itu seketika berubah hening begitu sosok Morgan, Crowley dan Odien melangkah masuk. Ketiga pengajar di RKA itu untuk pertama kali muncul secara bersamaan. Kini bukan hanya Algren, melainkan semua siswa RKA penasaran bukan main ingin mengetahui apa gerangan yang akan mereka bertiga umumkan. Morgan berdeham sebelum suaranya mengalun memberikan pengumuman penting yang sudah dinanti-nantikan para siswa dengan jantung berdetak cepat karena gugup. “Mungkin di antara kalian ada yang sudah mengetahui tradisi yang biasa diadakan setelah enam bulan masa pembelajaran di RKA yaitu latihan menjalankan misi.” Beberapa siswa yang mungkin sudah mengetahui hal itu dengan serempak menganggukan kepala. Namun, bagi mereka yang belum mengetahui tradisi ini seperti Algren dan Edrea, mereka hanya melongo dan menjadi pendengar yang baik. Sudah tidak sabar ingin mengetahui kelanjutan pengumuman yang akan diberikan Morgan. “Karena misi ini merupakan latihan, kalian juga belum siap menjalankan misi sendirian bersama Wyvern kalian, maka untuk mengantisipasi hal yang tak diinginkan agar tidak terjadi, kami akan membagi kalian menjadi kelompok. Satu kelompok terdiri dari dua siswa. Kami harap setiap kelompok bisa bekerja sama dengan kompak karena ingat, dalam menjalankan sebuah misi kerja sama tim sangat dibutuhkan. Apa kalian mengerti?” Seseorang tiba-tiba mengangkat tangan tinggi di udara, dia adalah Edrea. Si gadis pemberani yang tidak pernah malu atau sungkan untuk bertanya jika dia tidak memahami sesuatu. “Ya, Edrea. Kenapa?” tanya Morgan. “Maaf, Tuan Morgan. Ada yang ingin saya tanyakan,” ucap gadis itu dengan lantang, tak peduli meski dirinya kini menjadi pusat perhatian seisi kelas. “Silakan, katakan kau ingin bertanya apa.” “Anggota kelompok ini kami yang memilih sendiri atau sudah ditentukan?” “Sudah ditentukan. Kami bertiga yang memilihnya.” Edrea tak mengeluarkan suara lagi karena merasa sudah puas dengan jawabannya. “Ada lagi yang ingin kau tanyakan?” Kepala Edrea menggeleng, “Tidak, Tuan. Terima kasih.” “Jadi, seperti yang saya katakan barusan, anggota kelompok sudah ditentukan oleh kami bertiga. Tidak ada yang bisa mengajukan protes karena kami sudah memilihnya dengan berbagai pertimbangan. Keputusan ini sudah mutlak, tak bisa diganggu gugat. Apa kalian mengerti?” “Mengerti Tuan!” sahut semua siswa berbarengan layaknya paduan suara. “Bagus. Pengumuman anggota kelompok akan dilakukan oleh Tuan Odien.” Seperti yang dikatakan Morgan, setelah itu Odein mulai menyebutkan satu demi satu kelompok beserta anggotanya yang terdiri dari dua orang. Selama pengumuman anggota kelompok itu, tak hentinya Algren memohon di dalam hati agar dirinya bisa satu kelompok dengan Drew. Tak ada seorang pun yang dia harapkan menjadi rekan kelompoknya selain Drew. Karena di RKA, hanya Drew satu-satunya teman yang dia miliki. Entah akan jadi seperti apa dirinya tanpa pria itu di sampingnya. “Kelompok dua puluh lima. Algren Cannet …” Jantung Algren berdetak luar biasa cepat seolah siap melompat dari rongga da’da. Dia begitu gugup karena nama rekan satu timnya sebentar lagi akan disebutkan.” “Drew, Drew, Drew, Drew.” Batin Algren terus menyebut satu nama itu. “… dan Edrea Leteshia.” Seketika Algren terbelalak, saking terkejutnya, pria itu refleks berdiri dari duduknya. Ternyata bukan hanya dia satu-satunya yang berdiri, karena Edrea pun sama-sama melakukan hal yang sama. “Tidak bisa!” “Saya tidak bisa menerimanya!” Algren dan Edrea bersuara secara bersamaan, mengutarakan protes karena mereka sama-sama tak mau disatukan dalam kelompok yang sama. “Waw, bicara saja sampai berbarengan ya. Mereka memang kompak.” “Bukan hanya kompak, tapi mereka sangat serasi.” “Iya, serasi karena mereka sama-sama berbeda. Sangat cocok jika disatukan.” Teriakan demi teriakan terdengar saling bersahut-sahutan dari para siswa RKA yang mendukung kedua orang yang masih mereka anggap tidak layak menjadi siswa RKA itu agar dipasangkan menjadi satu kelompok. Edrea mengibaskan tangannya tegas, menolak mentah-mentah. “Tidak, Tuan Odien. Tolong ralat pengumumannya. Saya tidak mau satu kelompok dengan r'akyat j'elata itu.” Tersinggung mendengar Edrea yang masih saja membahas tentang perbedaan status mereka, Algren ikut menyuarakan protesnya. “Saya juga keberatan, Tuan. Saya tidak mau disatukan dengan seorang wanita lemah yang tidak bisa diandalkan. Tolong satukan saya dalam satu kelompok dengan siapa saja asalkan jangan dengan gadis bar-bar itu.” Bagi Algren kini, tak harus satu kelompok dengan Drew. Dia bersedia menjadi satu kelompok dengan siapa pun asal orang itu bukan Edrea. Suara tawa kini membahana dari mereka yang tampak puas menertawakan Edrea dan Algren yang dikenal bagai air dan minyak yang tak akan pernah bisa menjadi satu itu kini justru disatukan dalam kelompok yang sama untuk menjalankan misi. Keramaian yang terjadi di kelas, spontan menyulut emosi para pengajar. Terutama Crowley yang dikenal paling pemarah di antara mereka bertiga. “Diam kalian semua!!” teriaknya kencang yang seketika membuat suasana riuh itu berubah menjadi hening. “Tadi Tuan Morgan dan Tuan Odien sudah menjelaskan pembagian kelompok ini sudah kami putuskan berdasarkan berbagai pertimbangan. Jadi kalian harus menerimanya karena kami tidak menerima protes apa pun.” “Tapi Tuan …” “Apa kau tidak paham, Edrea? Tadi jelas-jelas saya menegaskan sebelum Tuan Odien mengumumkan pembagian kelompok bahwa keputusan kami tidak bisa diganggu gugat. Lagi pula ada alasan kenapa kami memutuskan kalian berdua disatukan menjadi rekan satu kelompok.” Morgan menambahkan. “Apa alasannya, Tuan?!” celetuk Algren yang sungguh tak paham dirinya yang terkenal selalu bermusuhan dengan Edrea, justru kini disatukan menjadi rekan satu kelompok. “Ada beberapa alasan,” sahut Morgan. “Kami bertiga akan menjelaskannya.” “Pertama, karena kau sangat payah mengendalikan Wyvern-mu sedangkan Edrea kebalikannya. Dia paling mahir mengendalikan Wyvern bahkan dia dan Wyvern-nya sudah sangat akrab dan kompak. Penting bagimu untuk disatukan dalam kelompok dengan orang seperti Edrea. Dengan begini kau bisa belajar banyak pada Edrea. Belajar darinya bagaimana bisa dia begitu kompak dengan Wyvern-nya.” Odien menjadi orang yang pertama menjelaskan alasan mereka memutuskan Edrea dan Algren disatukan dalam kelompok yang sama. “Saya bisa belajar hal ini dari Drew.” Algren masih gencar melayangkan protes karena dia benar-benar tak mau disatukan menjadi satu kelompok dengan Edrea. “Tidak bisa. Hanya Edrea yang bisa mengajarimu karena dia yang paling handal dan tahu cara mengendalikan Wyvern. Kau harus belajar banyak darinya dan Edrea … kau juga harus banyak mengajari Algren cara mengendalikan Wyvern.” “Saya bisa mengendalikan Wyvern tanpa perlu …” “Ingat, Algren. Sudah enam bulan kau belajar di sini tapi kau masih belum bisa mengendalikan Wyvern-mu. Jangankan kompak dengannya sebagai Wyvern dan ksatria penunggang, kau bahkan belum bisa mengendalikan Wyvern-mu sendiri. Penting bagimu belajar pada Edrea karena itu pastikan kau memanfaatkan masa-masa menjalankan misi ini dengan banyak belajar.” Edrea dan Algren sama-sama mengembuskan napas frustrasi karena tahu mereka tak memiliki cara untuk menolak keputusan ini. “Alasan selanjutnya … karena kalian berdua selalu bertengkar, kami harap setelah disatukan dalam kelompok yang sama, kalian bisa menjadi rukun.” Crowley ikut menimpali setelah sejak tadi selalu Odien dan Morgan yang menyahut setiap kali dua orang itu melontarkan protes. “Mana mungkin kami bisa rukun, Tuan. Yang ada kami akan selalu bertengkar selama menjalankan misi,” tolak Algren, tak setuju. Menurutnya alasan yang kedua ini sama sekali tidak masuk akal dan tidak layak untuk dijadikan alasan. “Kalian coba saja dulu. Kita tidak akan tahu sebelum mencobanya, bukan?” Morgan menambahkan dan lagi-lagi membuat Algren maupun Edrea tak bisa berkutik lagi. “Tapi dari semua alasan yang tadi disebutkan, alasan utama kami menyatukan kalian dalam satu kelompok karena sejak dulu Eldron dan Elmara selalu bersama setiap menjalankan misi. Jadi kami harap kalian berdua memaklumi. Jangan melakukan protes lagi karena keputusan ini sudah final. Tidak bisa diganggu gugat lagi.” Algren hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal karena sudah menyerah, tak ada pilihan selain menerima keputusan gila ini. Edrea pun demikian, gadis itu menghentakan kakinya berulang kali di bawah meja untuk meredam kekesalan yang dia rasakan saat ini. Berpikir kenapa bisa dia sesial ini sehingga rekan satu kelompoknya harus seseorang yang begitu dia benci. Pengumuman pembagian kelompok yang sempat terhenti karena gangguan Edrea dan Algren yang terus mengajukan protes, kini kembali dilanjutkan sehingga semua siswa sudah mengetahui rekan kelompok masing-masing. “Besok pagi, kami akan mengumumkan misi yang harus kalian jalani. Misinya tidak akan sulit karena ini masih dalam masa pelatihan. Kalian akan menjalani misi singkat yang paling lama akan membutuhkan waktu dua hari. Tapi khusus untuk Edrea dan Algren, karena ada tujuan lain kalian disatukan menjadi satu kelompok, kami akan memberikan misi jangka panjang pada kalian berdua.” Algren dan Edrea hanya bisa tercengang, adakah ketidakadilan selain ini? Seandainya mereka bisa menolak, sayangnya tidak … karena sekali lagi keputusan itu sudah final dan tidak bisa diganggu gugat.    *** Satu demi satu kelompok mulai berangkat untuk menjalankan misi masing-masing setelah beberapa menit yang lalu misi mereka sudah diumumkan oleh ketiga pengajar. Semuanya tampak normal, semua kelompok terlihat kompak menjalankan misi ini. Namun, sesuai dugaan ada satu kelompok yang terlihat tidak baik-baik saja. Itu karena jangankan bekerja sama, mereka bahkan terlihat enggan untuk berdiri berdampingan. Mereka kini berdiri di lapangan belakang kastil karena harus mempersiapkan diri menjalankan misi yang diberikan pada mereka. “Hei, kalian berdua. Tunggu apalagi? Cepat panggil Wyvern kalian. Sudah saatnya kalian berangkat menjalankan misi!” Edrea bedecak mendengar teriakan Crowley yang seperti biasa menjadi pengajar yang paling tidak sabaran dibanding pengajar yang lain. Sedangkan Algren hanya memutar bola mata, luar biasa malas menjalankan misi ini. Seandainya dia memiliki kesempatan atau akses untuk melarikan diri. Sayangnya, dia tak memilikinya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah menjalankan tugas yang diberikan padanya. Pria itu pun menoleh ke arah samping, pada sosok Edrea yang berdiri beberapa meter darinya. “Awas kalau kau menyusahkanku nanti.” Edrea mendelik tajam, “Harusnya aku yang mengatakan itu. Awas kalau kau berulah dan membuat kita gagal dalam misi ini,” balasnya, tak mau kalah. “Jangan banyak bicara! Lebih baik sana panggil Wyvern-mu.” Kali ini Edrea mengernyitkan dahi, “Kenapa jadi kau yang mengatur? Terserah aku mau kapan memanggil Wyvern-ku. Kau sendiri bisa tidak memanggil Wyvern-mu agar datang memenuhi panggilanmu?” Edrea tertawa mencemooh, “Aku tidak yakin kau akan berhasil memanggilnya.” Algren sudah membuka mulut hendak membalas, namun dia urungkan begitu melihat Edrea mulai meniup tubae miliknya untuk memanggil Elmara. Ya, masing-masing dari semua siswa sudah diberi tubae untuk memanggil Wyvern, oleh para pengajar. Tentu saja termasuk Algren. Alat untuk memanggil Wyvern itu kini sudah berada di genggaman tangannya. Dia menarik napas panjang berulang kali dan mengembuskannya secara perlahan karena khawatir yang dikatakan Edrea menjadi kenyataan. Mau disimpan di mana wajahnya jika Eldron tidak mau merespons panggilannya. “Algren, cepat bunyikan tubae-nya!” Teriakan Crowley kembali mengalun kencang. Algren berdecak, tak memiliki pilihan lain, dia pun akhirnya memberanikan diri meniup alat menyerupai terompet tersebut. Beberapa saat menunggu, tak ada yang terjadi. Baik Eldorn maupun Elmara tak ada yang menampakkan diri meskipun Edrea dan Algren sudah menyembunyikan alat untuk memanggil mereka. Tanpa sadar Edrea dan Algren saling berpandangan, bingung dengan hal ini. Dengan serempak mereka menoleh ke belakang untuk meminta bantuan pada ketiga pengajar yang masih setia menunggu di sana untuk menyaksikan semua siswa berangkat menjalankan misi. Jika diperhatikan kini hanya kelompok Algren dan Edrea yang belum berangkat karena kelompok yang lain sudah tak tampak, yang mana artinya mereka semua sudah berangkat menjalankan misi masing-masing. “Itu … mereka datang,” ucap Odien. Algren dan Edrea mengikuti arah yang ditatap Odien, seulas senyum tersungging di bibir keduanya ketika melihat dua Wyvern tengah terbang menuju ke arah mereka. Dari kejauhan pun sudah bisa dikenali … Wyvern bertubuh hitam pekat serta Wyvern lain dengan tubuh birunya yang memantulkan cahaya saat terkena matahari, tidak salah lagi merupakan Eldron dan Elmara. Entah apa yang akan terjadi saat mereka menjalankan misi nanti, yang pasti baik Algren dan Edrea kini sudah siap menjalankan misi pertama mereka, yaitu misi jangka panjang karena untuk beberapa hari kedepan mereka harus memantau dari wilayah perbatasan pergerakan Kerajaan Centrum yang selama puluhan tahun ini tampak tenang. Namun, tak menutup kemungkinan mereka berniat merencanakan serangan mendadak. Tugas Edrea dan Algren tidak lain untuk mengawasi kerajaan musuh dari jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD