Kesalahartian yang Memalukan

1126 Words
Danau ini begitu menawan, di sekelilingnya ditumbuhi oleh rumput-rumput liar yang serasi dengan warna air di dalamnya. Di tengah-tengah terdapat beberapa jenis bunga teratai yang memiliki beberapa corak warna yang seperti meracuni mata, karena tidak seorangpun mampu berpaling begitu saja saat pertama kali melihatnya. Shania menarik napas dalam-dalam, bagaimana oksigen dan atmosfer di sekitaran danau ini memberi aroma kesejukan yang tiada tara. Mungkin karena tempat ini jauh dari keramaian kota yang pastinya bebas dari berbagai macam polusi. Ketika ranah mata berpendar ke sekitaran tempat itu, bagaimana Shania dapat melihat senyum dan tawa pengunjung lain yang datang bersama dengan keluarga mereka masing-masing. Anak kecil yang berlari ke sana ke mari mengejar balon sabun yang mengudara, suara gitar yang menggema dari seorang pemuda, serta canda dan tawa yang dilontarkan oleh para orang dewasa dan tetua yang pastinya dapat di dengar oleh Shania yang tak juga kian berjalan menyusul rombongannya yang sedang sibuk mencari tempat lain untuk melepaskan rasa penat mereka. "Laras, ayo," suara ajakan itu semenyetika memutuskan lamunan Shania. Gadis itu kembali berjalan dan mempercepat gerakannya, tidak ingin ketinggalan lagi karena hal itu pasti membuat Jean dan yang lainnya repot untuk terus-terusan menegurnya. ------ Setelah selesai menghampar sebuah tikar yang akan dijadikan sebagai alas untuk mereka bersantai nantinya, kemudian mendirikan tenda kecil, bangku lipat, serta hal-hal lainnya. Semua itu menjadikan piknik mereka serasa sangat nyata dan nyaman. Apalagi tempat yang dipilih oleh Jean ini adalah tempat yang paling strategis dengan adanya pohon rindang yang menaungi mereka dan di bawahnya rumput-rumput yang dipijaki tidak terlalu lebat ataupun tipis. . Berbeda dengan bagian depan danau yang Shania lewati sebelumnya, di mana di sana lumayan terdapat banyak pengunjung lain yang juga datang untuk melakukan piknik. Di sini, di tempat perhentian terakhir mereka rupanya sangat berbeda. Hanya ada kelompok Shania saja yang menikmati lokasi yang strategis nan nyaman ini. Entah kenapa, tapi Shania tadi sempat mendengar kalau Jean secara khusus menyewa bagian danau di ujung ini agar hanya mereka saja yang bisa menggunakannya. Mungkin itulah alasan mengapa tidak terlihat ada orang lain di sini selain mereka berempat saja. Namun, Shania tidak ambil pusing akan tindakan Jean tersebut. Toh, ia di sini juga 'kan karena sedang melakukan pekerjaannya sebagai pengasuh Andi. Jadi, gadis itu rasa ia tidak berhak untuk memberikan komentar sedikitpun, baik itu yang pro maupun yang kontra, tidak sama sekali. Sekarang ini semua orang terlihat sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Jean yang sibuk dengan alat barbekunya untuk membuat menu makan mereka siang nanti, Shania yang masih fokus mengeluarkan makanan dari dalam rantang agar bisa ia tata serapi mungkin di atas tikar, serta Fika yang sedari tadi asik memancing emosi Andi dengan terus menakuti anak itu menggunakan cacing tanah. Sebenarnya awalnya gadis tomboi itu hendak mencari cacing untuk dijadikan olehnya sebagai umpan pancing, tapi tanpa ia duga ternyata Andi takut dengan hewan yang menurutnya lucu tersebut. Sehingga dengan tega hati, Fika sengaja terus menyodorkan cacing tersebut kepada Andi dan anak itu juga sibuk berupaya melarikan diri. Fika sendiri terlihat nyaman-nyaman saja memegang hewan yang menurut Shania lumayan menggelikan itu dengan hanya menggunakan tangan kosong saja. Akan tetapi Shania merasa wajar saja karena menilik bagaimana perangai yang sahabatnya itu miliki. Jean? Laki-laki itu juga ada menyaksikan bagaimana anaknya diganggu oleh adik sepupunya sendiri, akan tetapi laki-laki itu tidak terlihat hendak memarahi Fika. Malahan ia sesekali tersenyum menyaksikan kejahilan Fika itu. Alasannya karena Andi sendiri tidak menangis ataupun mengadu kepada dirinya untuk menghentikan Fika agar tidak lagi mengganggu. Ia ingin membiasakan Andi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan Jean yakin anak itu pasti bisa melakukannya. Sedangkan Andi, anak itu cuma memberikan ekspresi yang kesal sambil sesekali menggerutu dan memarahi Fika secara langsung. Ketika Fika mendekati, Andi pandai membawa dirinya untuk pergi dan berpindah ke tempat lain walaupun ujung-ujungnya Fika akan terus mengikuti ke mana pun ia pergi. "Bika, udah dong. Berhenti gangguin Andi?!" Marah anak itu. Sebenarnya Andi tadi hendak ingin melukis pemandangan danau, tapi tidak jadi jadi karena faktor penyebabnya adalah seorang gadis yang dipanggilnya sebagai Bika. Sayangnya, bibi anak itu dengan raut cengengesannya berkata, "Yaelahhh ... Cemen banget sih, masa sama beginian takut. Katanya kamu itu anak yang kuat dan berani, buktiin dong," ujar Fika bernada meremehkan. Namun, tetap saja ia tidak melepaskan cacing yang sudah terlihat kesulitan bernapas itu. Andi cuma memberikan pelototan kepada Fika, sebelum kemudian ia berjalan dan hendak menghampiri Shania yang sepertinya sebentar lagi akan menyelesaikan pekerjaannya. Andi berniat untuk mengajak gadis yang ia panggil sebagai kakak itu untuk bermain bersama. Tapi, Fika sepertinya tidak ingin hiburannya berakhir di situ saja. Ia mengikuti langkah kaki kecil anak itu. "Kak Laras," sapa Andi ketika sudah melepaskan sepatu yang ia kenakan sehingga anak itu bisa berlanjut duduk di samping Shania. Shania mendongkak, memandangi orang yang barusan menyebut nama tengahnya. "Iya, Tuan Muda?" balas gadis itu meski tangannya masih sibuk menuntaskan sisa-sisa dari pekerjaannya. "Udah selesai gak? Ayo kita bermain," ucap anak itu, yang bertanya sekalian mengajak. "Sebentar lagi, yang sabar ya," balas Shania sembari memberikan senyuman termanis. Namun, ketika melihat sosok orang lain yang hendak bergabung dengan mereka berdua, raut di wajah Shania langsung berubah secara drastis ke arah yang tidak baik. "Eittt ... Lo gak boleh duduk di sini," ujar Shania menggunakan nada sensi. Sedangkan Fika, yang baru saja akan mendaratkan kakinya di atas tikar menjadi mengurungkan niatnya dengan mengembalikan kembali kakinya itu di atas rumput tepat di samping tikar. Dengan kasar ia melemparkan sembarangan seekor objek hidup yang digunakannya untuk menakut-nakuti Andi tadi, Fika beralih menatap Shania dengan tatapan sentimental. "Kok Lo segitunya sih, Shan. Sebenci itu ya Lo sama gua? Padahal dari di rumah tadi gua udah minta maaf sama Lo dan ngakuin semua kesalahan gua. Apa sesulit itu ya nerima permintaan maaf gua dan ngijinin gua buat duduk di sini?" Tanyanya. Dengan entengnya Shania berkata, "Sulit dan gak akan pernah bisa ...." ucap Shania seperti bersungguh-sungguh atas ucapan yang ia keluarkan itu. Andi sendiri terlihat kebingungan, menatap secara bergantian antara Shania dan Fika. Sedari awal dirinya memang merasa kalau ada yang salah di antara dua gadis di hadapannya ini. Mendengar jawaban dari Shania, raut di wajah Fika semakin terlihat tidak karuan. Seperti ingin menangis, tapi berusaha untuk ia tahan. "Oke, fine. Kayaknya Lo memang gak mau lagi hubungan kita ini jadi baik. Mulai sekarang gua bakalan—" " .... Kalau Lo gak ngelepasin sepatu Lo dulu," lanjut Shania, memotong ucapan Fika. Semenyetika itu, Fika berhasil dibuat bungkam oleh perkataan Shania barusan. Ia masih berusaha buat mencernanya. "M-maksud Lo?" tanyanya karena takut salah tangkap dan malah berujung dengan kesalah pahaman. "Gua gak akan pernah larang Lo buat duduk di sini, asalkan lepasin dulu sepatu Lo itu," jelas Shania yang seketika berhasil membuat Fika menggaruk-garuk kepalanya karena malu atas kesalahan artian yang dilakukan olehnya itu. Di depan Andi lagi, ayolah, mukanya seperti sudah tidak memiliki harga dirinya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD