"Tu-tuan Jean?" ujar Shania menyebutkan nama sosok yang telah mengetuk pintu kamarnya barusan. Gadis itu menatap heran pada Jean yang tidak biasanya datang ke sini, padahal ini kan masih pagi. Ah ... Atau jangan-jangan laki-laki itu hendak melakukan peneguran padanya karena hari ini ia terlambat bangun, sehingga dirinya juga terlambat untuk memulai pekerjaannya. Tapi, kenapa harus Jean langsung yang turun tangan, bukankah ada pak Orman di sini. Memikirkannya malah membuat Shania merasa deja vu di mana orang tua itu sengaja menakut-nakutinya dengan masalah pemecatan dulu.
Pandangan Shania masih melekat pada laki-laki itu, yang terlihat sangat tampan dengan pakaian kasualnya. Mungkin karena hari ini adalah akhir pekan makanya laki-laki itu memakai pakaian biasa saja alih-alih pakaian kantoran. Namun, yang selalu menarik perhatian Shania adalah wangi parfum yang dipakai oleh Jean selalu bisa membuat hidungnya menghangat. Oh My Ghost .... Kenapa laki-laki itu setiap saat selalu bersinar di hadapannya?
Berselang dua detik kemudian, Shania mendadak menggeleng kepalanya teguh. Mencoba menyingkirkan semua pikiran itu dari otaknya karena yang hanya perlu ia pikirkan sekarang ini adalah bagaimana ia harus menghadapi permasalahan ini.
Fika yang mendengar Shania yang menyebut nama kakak sepupunya itu seketika mengangkat pandangannya, ia menatap Shania lekat yang masih berdiri di ambang pintu. Rupanya Shania juga kini menatap ke arahnya dengan memberi tatapan yang sama, bingung. Seperti seolah-olah bertanya.
"Hmmm ... Pagi, Laras," sapa Jean dengan lembut yang langsung saja menarik Shania kembali agar memfokuskan titik pandang padanya. Shania tidak salah lihat 'kan? Laki-laki itu barusan menyapa dengan menyunggingkan sebuah senyuman padanya. Itu artinya Jean tidak mungkin bermaksud untuk memarahinya mengingat raut wajah Jean yang menunjukkan kedamaian.
Shania mengangkat tidak terlalu tinggi tangannya untuk kemudian ia lambaikan ke arah laki-laki berbaju putih dan celana hitam itu. "Pagi Tuan," Balas gadis itu. "Ummm ... Kalau boleh tahu, apa ada yang bisa saya bantu?" lanjut gadis itu, bertanya dengan nada lebih kehati-hatian. Alasan kedatangan Jean di sini masih menjadi misteri untuk gadis itu.
"Saya hanya ingin bertanya, apakah nanti kamu mau ikut kami—"
Ucapan Jean mendadak terjeda lantaran mereka mendadak kedatangan seorang anak kecil yang langsung saja mengambil alih hak ayahnya untuk berbicara itu.
"Pagi, kak Laras," ujar Andi yang rupanya berada di belakang Jean, mata Shania cepat-cepat mencari keberadaan anak itu.
"Ohhh ... Ada Tuan Muda juga ternyata," ujar Shania dengan senyuman yang mengambang, berusaha sebisa mungkin agar kedua orang itu tidak menyadari kalau sebenarnya atmosfer di dalam ruangan ini sedang panas akibat konflik di antaranya dengan Fika barusan. Ada sedikit kegusaran di hati Shania memikirkan kalau ternyata ia terlambat menyiapkan anak itu. Melihat Andi tidak kalah rapi dari ayahnya, anak itu pasti menyiapkan dirinya sendiri mulai dari bangun sampai mandi.
"Iya," ujar anak laki-laki itu yang langsung mengambil posisi di samping ayahnya.
Dengan masih mempertahankan sebuah lengkungan di bibir ranumnya, tatapan Shania kemudian teralih lagi kepada Jean yang masih setia berdiri di tempat yang sama.
"Tuan tadi mau bilang apa ya?" tanya gadis itu yang merasa penasaran.
Jean juga menampilkan sebuah senyuman yang teramat manis. "Gimana kalau Andi aja yang ngasih tahu kak laras nya, ini 'kan ide Andi sendiri yang buat," ucap Jean tidak ditujukan kepada Andi.
Andi terlihat mengangguk, sebelum kemudian ia berkata. "Kak Laras, hari ini kita akan pergi piknik. Kakak pasti ikut, 'kan?" tanya anak itu kepada Shania.
"Wahhh ... Ide bagus itu." Itu bukanlah Shania yang berkata, melainkan seseorang yang sebenarnya tidak dapat dilihat eksistensinya jika berada di posisi berdiri Jean dan Andi. "Kebetulan banget, hari ini 'kan akhir pekan dan lagi aku juga 'kan gak ada kerjaan lain. Jadi, Aku ikut ya," ujar Fika mengajukan dirinya, sembari berjalan mendekat dan pada saat itu Shania langsung membuka pintu kamarnya lebar-lebar agar semua orang dapat melihat gadis itu.
Kedua orang itu menerima pengajuan diri Fika, Kemudian secara kompak tatapan ketiga orang itu beralih kepada Shania yang masih saja terdiam dan belum mengucapkan sepatah katapun.
"Kak Laras juga ikut, 'kan?" tanya Andi lagi, yang terdengar seperti memelas. Berharap banyak Shania akan menganggukkan kepala padanya.
Shania rasa ia tidak punya satupun alasan untuk menolak permintaan mereka, lagian dirinya juga adalah seorang pengasuh untuk Andi yang memiliki tugas yang mengharuskannya ia untuk selalu berada di dekat anak itu kemana pun dia pergi. Jadi, Shania langsung saja menaik turunkan kepalanya sebagai pertanda kalau ia mengiyakan ajakan semua orang. Seketika, hal itu menciptakan warna yang lebih cerah di wajah ketiga orang itu. Mereka senang akan keputusan Shania.
*****
Di sinilah Shania sekarang, di dalam sebuah mobil yang menampung empat orang sekaligus. Jean, Fika, Andi, dan tentu saja dirinya sendiri. Mendengar langsung dari Jean, Shania jadi tahu kalau kegiatan piknik mereka hari ini akan dilangsungkan di sebuah tepian danau dengan di kelilingi oleh pemandangan yang indah.
Shania cukup antusias mendengarnya, tapi ia lebih senang lagi ketika melihat senyum dan tawa bahagia yang ditampilkan oleh Andi sepanjang perjalanan ini.
Fika sendiri terus berusaha mendekati Shania untuk mendapatkan hati gadis itu kembali, akan tetapi Shania juga berusaha menghindarinya. Mungkin saja gadis itu masih menyimpan amarah pada Fika. Saat Fika hendak meminta untuk duduk di bangku penumpang bagian belakang yang bersebelahan dengan sahabatnya itu, untung saja Andi tidak mau mengijinkannya karena anak itu sendiri sudah mengklaim bahwa bangku tersebut adalah miliknya. Alhasil mau tidak mau Fika berakhir duduk di bangku depan bersebelahan dengan Jean yang mengemudi.
Untuk menuju ke danau yang terkenal akan keasriannya ternyata tidak bisa membawa langsung mobil mereka ke tempat tersebut. Jean terpaksa memarkirkan mobilnya sedikit lebih jauh dari tempat tujuan mereka yang sebenarnya karena memang tidak ada akses jalan besar yang menghubungkan langsung ke danau tersebut.
"Kalian tidak masalah 'kan kalau kita lanjut jalan aja?" tanya Jean kepada segerombolan tiga orang yang kini sudah berada di luar mobil lengkap dengan barang bawaan mereka. Sontak mereka yang ditanyai kompak menggelengkan kepala.
"Gak apa-apa, Kak. Lautan berapi sekalipun masih akan tetap aku lewati demi untuk bisa piknik kayak gini. Wasleyyy ... Keren banget kata-kata gua," ucap Fika. Gadis itu seketika menutup mulutnya dengan mata yang mengerjap-ngerjap. "Intinya aku gak masalah dengan ini kok, Kak. Cuma daki bukit ini aja, 'kan. Kecil," lanjutnya yang kemudian menjentikkan jari kanan. Seolah-olah dirinya memang sudah biasa melewati perbukitan yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan tersebut.
"Cihh ..." Desah Shania yang bodoh amat akan tingkah laku Fika. Dari pada meladeni sahabatnya yang sangat jelas sedang mencari perhatian kepadanya itu. pikir Shania lebih baik ia mengurusi Andi yang memang adalah tugasnya.
Kemudian keempat orang itu mulai berjalan melewati jalan setapak yang memang sudah disemen agar mempermudah pengunjung untuk berjalan. Dari luar sini saja Shania sudah merasakan kalau keindahan alam memang sudah menantinya di dalam sana, terbukti dari banyaknya tanaman cantik serta spot-spot yang seperti senagaja dibuat untuk memperindah tampilan tempat tersebut.
Tidak hanya itu saja, ternyata banyak juga orang yang berkunjung ke tempat ini. Sehingga Shania tidak lagi meragukan kepercayaannya kalau Jean memang tidak salah dalam memilih tempat untuk menghabiskan waktu libur di akhir pekan mereka.