Mengigau

1152 Words
Diberi pertanyaan seperti itu oleh Jean, Shania jadi bingung akan menjawab apa karena yang sebenarnya terjadi adalah ayahnya tidak pernah meninggalkannya seperti yang ibunya lakukan. Namun, yang diketahui Jean malah sebaliknya karena Shania sendiri bercerita kalau dirinya adalah seorang yatim piatu yang artinya tidak lagi memiliki sosok ayah maupun ibu. "Ah.. umm ... A-nu, dia—" "Mama!" Teriakkan yang berasal dari dalam berhasil menginterupsi Shania yang gugup dalam berbicara. Keduanya langsung menoleh dan menyadari kalau suara itu adalah milik Andi yang tengah tidur di dalam. Tanpa pikir panjang lagi, dengan cepet Jean langsung melangkahkan kakinya ke dalam dan di ikuti oleh Shania di belakang. Seperti Jean, raut di wajah Shania juga menunjukkan kekhawatiran. "Andi. Kamu kenapa?" tanya Jean yang kini sudah berada di sisi kiri ranjang Andi. Ia kemudian merangkul Andi yang kelihatan ketakutan dengan keringat yang bercucuran deras. Pertanyaan Jean belum dijawab oleh Andi, anak itu hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Ini diminum dulu," ucap Shania sembari menyerahkan segelas air putih yang terdapat di atas nakas samping ranjang Andi. Jean menerimanya, "terima kasih," ucapnya dan segera menyuruh Andi meminum habis air itu, bertujuan agar ketenangan bisa didapatkan untuk Andi sehingga anak itu dapat menceritakan padanya apa yang tengah terjadi. "Kamu tenang dulu, tarik napas dalam-dalam dan hembuskan secara perlahan," kata Shania memberi instruksi setelah Andi selesai meminum habis air putihnya. Anak itu mengikuti perintah Shania dengan baik. "Sekarang, apakah kamu sudah bisa ceritain ke Papa apa yang terjadi sama kamu tadi?" tanya Jean dengan masih memasang raut kekhawatiran, Shania kini memasang telinganya lebar-lebar karena ia juga ingin tahu apa yang anak itu alami tadi sampai-sampai membuatnya berteriak. "M-mama. T-tadi Andi ketemu Mama di mimpi. M-mama ... Mama bilang gak mau bawa Andi ke tempat Mama tinggal sekarang. M-mama jahat, Pa. P-padahal A-andi kangen Mama, A-andi pengen tinggal dengan Mama. Papa, Andi ma—" Tanpa membiarkan Andi sempat menuntaskan kalimatnya, Jean langsung mendekap anak itu dengan erat. Butiran air mata pun perlahan turun dari pelupuk matanya, laki-laki itu menangis. "Andi, Papa ada di sini. Papa akan selalu ada buat kamu, Papa gak akan pernah ninggalin kamu. Jadi, jangan pernah berpikir untuk meninggalkan Papa dengan cara seperti itu. Papa mohon," ucap pria itu dengan isakkan tertahan, pria itu sebisa mungkin untuk tidak mengeluarkan suara tangisnya karena tidak ingin membuat Andi mengira kalau dirinya adalah pria cengeng yang pantas untuk ditinggalkan, walaupun begitu cairan likuid tidak kunjung reda turun dari matanya. Shania yang melihat itu, ikut terbawa suasana. Gadis itu juga ternyata mengeluarkan air mata seperti apa yang tengah Jean lakukan, bedanya Shania menangis dengan menghasilkan suara yang lumayan besar. Ya, gadis itu terisak hebat tanpa sedikitpun bisa membendungnya. Sehingga membuat suasana yang semula haru, kini berganti seperti acara konser nyanyian rock karena suara Shania menangis diiringi dengan tarikan ingusnya yang keluar beberapa kali. "Hiks ... Hiks ... Huaaaaaa ...." Anak dan ayah pun kompak menoleh sebentar ke arah Shania dan Shania yang melihat itu kemudian menyadari kalau aksinya lagi-lagi berlebihan. Melihat tatapan keduanya seolah-olah tengah melihat orang yang mereka musuhi, gadis itu merasa bersalah dan mengira kalau dirinya telah merusak suasana, oleh karena itu segeralah Shania mengalihkan mode tangisnya ke mode tangisan biasa dengan sedikit suara. Kini fokus Jean kembali lagi kepada anaknya. Sebisa mungkin ia membuat agar anaknya itu bisa tenang dan ternyata apa yang dilakukannya itu berhasil. Andi sekarang sudah bisa berbicara dengan lebih tenang. Meskipun Andi masih ingin membahas tentang ibunya, tapi Jean dapat membuat anak itu bisa membahas tentang hal lain. Bukannya Jean itu benci jika Andi membicarakan tentang ibunya, hanya saja ia tidak ingin kalau luka yang Andi rasakan tidak akan pernah sembuh karena terus diungkit-ungkit seperti ini. "Sebaiknya sekarang kamu tidur karena besok kamu juga harus sekolah," kata Jean. Jam sekarang baru menginjaki tengah malam, jadi tidak akan mungkin Jean membiarkan anak itu untuk berjaga sampai dini hari meniba karena selain waktu sekolah anak itu terganggu, Jean juga tidak ingin kesehatan Andi memburuk. Merespons perkataan Jean, Andi menggelengkan kepalanya sebagai pertanda kalau ia tidak mau. "Kalau begitu, apa kamu mau papa temenin kamu tidur?" tanya Jean dilengkapi keyakinan kalau Andi pasti akan menjawab 'ya'. Tapi, Andi malah menggeleng dengan cepat. Setelah itu ia pun menoleh ke arah Shania yang masih setia berdiri di tempat. "Aku maunya ditemenin tidur sama Kak Laras," ucap anak itu, menentukan sendiri siapa yang akan menemaninya tidur. Seketika salah satu alis Jean terangkat, ini adalah hal baru baginya ketika melihat Andi lebih memilih orang lain dibanding dirinya. "Andi, Kak Laras itu capek karena sepanjang hari ngurusin kamu. Dia juga butuh istirahat, biar besoknya bisa lanjut bekerja lagi. Jadi, kamu gak boleh egois dengan ngambil waktu istirahatnya juga," kata Jean memberi penjelasan yang sejujur-jujurnya. Namun, seperti biasa. Andi pasti tidak akan mau menerima pengertian yang Jean berikan. Ia tetap teguh pada pendiriannya. "Kak Laras juga 'kan bisa istirahat di kamar Andi, ya 'kan, Kak," ucap anak itu sambil menatap Shania dengan tatapan memohon. "Tapi Andi—" "Tidak apa-apa, Tuan. Saya senang kok bisa nemenin Tuan Muda. Lagian benar kata Tuan Muda, di sini ataupun di kamar saya sendiri, saya tetap bisa beristirahat. Jadi, Tuan gak perlu khawatir," ucap Shania, menyela Jean. Mendengar itu, Jean hanya bisa menghela napas sekarang. "Baiklah, kalau begitu," ucapnya, memberi keputusan akhir. ***** Pagi-pagi sekali Jean sudah berada di luar kamarnya lengkap dengan memakai pakaian olahraga berwarna keabu-abuan, celana training hitam panjang serta sepatu lari. Laki-laki itu berencana melakukan joging keliling kompleks perumahannya, seperti yang sering kali ia lakukan. Namun, saat melewati kamar milik Andi, laki-laki itu lalu memiliki keinginan untuk masuk. Ia ingin memeriksa bagaimana keadaan anak itu sekarang. Ketika ia sudah masuk, netra matanya langsung tertuju pada Shania yang tidur di atas sofa yang berada tidak jauh dari ranjang Andi. Gadis itu sama sekali tidak mau mendengarkan permintaannya semalam. Padahal Jean sendiri sudah mengijinkannya untuk tidur di kasur yang sama dengan Andi dan kasur itu sangat luas, Shania tetap menolaknya karena berpikir bahwa hal itu tidak pantas untuk dilakukan oleh seorang bawahan. Meskipun begitu, tapi Shania kelihatan sangat pulas menikmati tidurnya, terbukti dari sedikit air liur yang dilihat Jean keluar dari mulutnya. Jean tersenyum melihat itu. Ia pun perlahan mendekati Shania, memperbaiki selimut gadis itu yang sudah turun di lantai. Sekarang masih pukul 5 pagi, jadi Jean tidak berniat membangunkan gadis itu oleh karenanya ia pun melakukan pergerakan dengan hati-hati. Shania adalah seseorang yang peka, sedikit saja sentuhan yang dirasakan nya dari selimut yang Jean berikan padanya, gadis itu sudah bereaksi. "Bik San, aku gak mau kuliah, aku masih mau tidur," ucapnya dengan mata yang masih tertutup rapat dan itu membuat Jean terkejut sehingga ia tanpa sengaja menjatuhkan selimut itu tepat di atas Shania, membuat tubuh Shania jadi terselimuti habis. Ujung-ujungnya Jean bernapas lega, karena nyatanya Shania tadi hanya mengigau saja. Tapi, sepertinya laki-laki itu mengingat sesuatu, sehingga ia segera meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Shania yang tubuhnya tidak terlihat lagi lantaran tertutup penuh oleh selimut dan meninggalkan Andi yang sudah ia kecupi keningnya sebelum pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD