Malam yang cerah, di mana bintang-bintang bertaburan di atasnya menampakkan keelokan masing-masing. Bulan yang terang pun tidak mau kalah saing, ingin memunculkan kegagahannya di antara kelap-kelip cahaya yang banyak itu. Shania mendongkak dengan senyuman yang terukir manis karena kenikmatan yang ia peroleh dari karya Semester yang sangat indah itu.
Gadis itu memang hobi melihat bintang, sekarang saja ia tengah fokus memerhatikan salah satu bintang yang cahayanya paling terang dari yang lainnya. Bukan tanpa alasan, hal itu ia lakukan karena Shania percaya kalau yang berada di sana adalah ibunya dan Bimo adalah orang yang pertama kali membuat Shania menjadi terpana terhadap keindahan benda langit tersebut.
"Saat kamu merasa sedih ataupun kesepian, tapi tidak dalam keadaan bisa membaginya dengan orang lain. Kamu bisa memandangi bintang yang bersinar paling terang di sana. Karena di sanalah Mamamu sekarang ini tinggal. Dia tengah mandangin kamu dengan kesedihan kamu," ujar Bimo di kala itu pada Shania yang baru saja menginjaki usia 10 tahun. Shania kecil sangat tertarik mendengar cerita yang Bimo katakan padanya, meskipun tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Sehingga setiap kali, saat hatinya tengah merasa sesak. Tak jarang gadis itu mendatangi tempat ketinggian yang bisa membuatnya melihat bintang yang paling bersinar, ibunya.
Sampai saat ini, Shania masih percaya dengan hal itu. Namun, ia tidak lagi hanya datang ketika dirinya merasa sedih saja. Saat ada kebahagiaan yang diperoleh nya, Shania pasti akan menceritakannya juga karena Shania pikir ibunya perlu tahu semua hal tentangnya, tidak sebatas tentang kesedihannya saja.
"Malam yang indah."
Shania menoleh ke samping. Ia mendapati Jean yang mendadak muncul dan mengejutkannya dengan kalimat itu. Shania langsung termundur selangkah dengan gaya yang tidak estetik. "Akhhhh ... Gak Mau Nikahhh!!!"
Sadar akan apa yang ia lakukan, segeralah gadis itu menunduk dalam dan berkali-kali mengucapkan kata maaf. "M-maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Tuan ada di sini karena terlalu fokus menatap langit tadi," ucap gadis itu.
Melihat reaksi gadis di hadapannya yang seperti baru saja melihat sosok gaib dan sosok gaib itu adalah dirinya, membuat Jean jadi terkekeh geli dan juga apa yang gadis itu katakan tadi. Gak Mau Nikah? Kata latah yang menurut Jean sangat unik dan jarang atau bahkan tidak mungkin digunakan oleh orang lain selain gadis di hadapannya ini.
Kening Shania mengerut. "Kenapa Tuan tertawa?"
"Tidak, saya hanya merasa reaksi kamu lucu saja. Kok bisa ya, kamu latahnya pake bawa-bawa nikah segala," ucapnya dengan masih terkekeh.
Shania menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pikirnya wajar-wajar saja kalau Jean sampai menertawai dirinya seperti itu. Karena kalau ia dalam posisi Jean, ia pasti juga akan lebih heboh lagi tertawanya bahkan mungkin saja ia bisa membanting sebuah mobil dengan satu tangan, hahah ... bercanda.
Tapi, Ini semua karena perjodohan s****n itu! Sampai-sampai membuat Shania merasa dihantui terus-menerus. Buktinya saja ia yang dulunya tidak pernah latah, sekarang sudah menjadi seperti seorang pelatah senior.
"Hehehe ... Abisnya Tuan ngejutin sihh," ujar Shania agak hati-hati karena takut Jean akan tersinggung. Shania nampaknya melupakan satu hal, Jean itu adalah seorang pria baik jadi tak kan mungkin ia tersinggung dengan hal sekecil itu.
"Saya tadi niatnya cuma mau meriksa Andi saja, apakah dia sudah tidur atau belum. Ternyata anak itu memang sudah tidur, tapi saat saya mau tutup pintu balkon yang terbuka. Saya gak sengaja lihat kamu ada di sini," jelas Jean tentang alasan kenapa ia juga bisa berada di balkon depan kamar Andi.
Raut Shania menunjukkan rasa bersalah. "Ahh ... Jadi karena itu. Ummm ... Maafkan saya, Tuan. Karena terlalu lancang membuka pintu balkon, padahal Andi sedang tidur." Shania berkata begitu karena ia sadar betul kalau angin malam tidak akan baik untuk kesehatan, tapi ia malah melakukan sesuatu yang tidak baik itu pada anak majikannya.
"Tidak perlu merasa bersalah karena anginnya juga 'kan gak terlalu kenceng," jawab Jean yang tahu kemana arah pembicaraan Shania.
Shania menghela lega, lagi dan lagi pria di hadapannya ini berhasil membuat Shania merasa tenang. Oh iya, BDW pacar Jean sudah pergi sewaktu sore hari tadi. Makanya kini laki-laki itu terlihat sedikit bebas.
Jean kemudian ikut menempatkan dirinya di sisi pagar pembatas balkon, menyamai Shania yang di sampingnya. "Apa kamu sangat suka melihat bintang?" tanyanya, sengaja ingin mengalihkan pembicaraan. Ditambah lagi, ia sebenarnya juga merasa penasaran tentang kenapa tadi Shania menatap bintang dengan begitu intens.
Shania terlihat mengangguk perlahan, sebagai jawaban atas pertanyaan Jean. "Kalau boleh tahu, apa ada alasan khusus di baliknya?" tanya Jean lagi.
Kemudian, Shania menarik garis bibirnya, ia tersenyum tipis. "Sebenarnya saya tengah melihat Mama di atas sana," ucap gadis itu sembari menunjuk salah satu bintang yang sedari dulu ia anggap sebagai bintang milik ibunya.
Pandangan Jean mengikuti di mana ujung telunjuk Shania menuju. "Apa kamu percaya dengan orang yang sudah meninggal kemudian menempati tempat yang bernama bintang?"
Shania menarik turunkan kepalanya. "Sangat malahan. Selagi itu bisa membuat hati saya senang, kenapa tidak? Sedari kecil saya memang sangat suka memandangi dan berbicara pada bintang, seolah-olah saya tengah berinteraksi dengan Mama saya yang sudah lama pergi. Dari hal itu saya bisa mendapati ketenangan karena bisa membagi cerita kepada Mama walaupun dengan cara tidak langsung dan ya, saya dulu juga pernah ditertawakan oleh orang lain karena dianggapnya aneh bisa mempercayai hal yang seperti itu." jawab Shania sembari memutar memorinya ketika ia menduduki bangku SMP dulu, ia pernah ditertawai oleh temannya yang sampai-sampai menasehati Shania dengan sedikit paksaan agar Shania berhentilah mempercayai hal seperti itu. Sehingga kemudian membuat hubungannya dengan temannya tersebut menjadi renggang karena Shania sendiri merasa orang yang seperti itu tidak cocok untuk ia temani.
Mendengar itu, Jean termenung sesaat. "Meskipun saya tidak mempercayai apa yang kamu percayai, tapi tenang saja saya sama sekali tidak pernah berpikiran kalau kamu itu aneh," ucapnya yang langsung bisa membuat hati Shania tenang.
"Terima kasih, Tuan."
Shania kembali tersenyum ketika Jean juga tersenyum sambil memandangi langit yang sama dengannya. Entah magnet jenis apa yang mempengaruhi Shania, tapi lihatlah gadis itu sekarang. Ia tidak lagi mendongkak ke atas melainkan bertahan lama menoleh ke samping untuk menikmati salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang menurutnya benar-benar sempurna, dia adalah Jean, laki-laki yang terlihat begitu bersinar di mata Shania sekarang ini.
"Oh iya, Laras. Katamu yang menempati bintang-bintang itu adalah mereka yang sudah tidak lagi bisa berada di dunia. Jadi tunjukkan padaku bintang milik ayahmu, aku ingin melihatnya. Apakah sinarnya akan melebihi bintang milik ibumu?" tanyanya karena penasaran.
Deg!