Main

1337 Words
Shania cukup tercengang dengan pemandangan di hadapannya sekarang ini. Jadi, 'main' yang di maksud Fika itu adalah benar-benar bermain, bukan bermain permainan anak kecil tapi permainan yang netral terhadap usia. Sekarang ini mereka sedang berada di depan gerbang surganya wahana permainan. Melihat penampilan Fika yang sudah memakai kacamata hitam serta selaras dengan pakaiannya, Shania pikir mereka bertiga akan pergi ke tempat seperti pantai atau sejenisnya. Ehh tau-taunya mereka malah ke sini. Tapi, tidak apa-apa, Shania cukup senang karena sudah lama juga ia tidak bermain, malahan Andi juga kelihatan happy dengan pilihan Fika ini. Jadi ia rasa tidak ada yang perlu dipermasalahkan. "Kalian berdua tunggu di sini ya, gua mau beli tiket masuknya dulu," ucap Fika memberi instruksi, dan langsung dibalas anggukan kompak oleh Shania dan juga Andi. Dari luar saja Shania sudah bisa melihat banyaknya tempat permainan yang menjulang tinggi, salah satunya seperti roll coaster yang sangat panjang dan cukup tinggi. Cukup banyak orang yang berlalu lalang, ada yang masuk dan ada yang keluar secara bergantian. Sementara Fika terlihat masih sibuk mengantri untuk membeli tiket masuk untuk mereka bertiga, Shania kini tengah fokus kepada Andi yang berdiri di sampingnya. "Tuan Muda, kamu gak capek berdiri terus dari tadi. Mau kakak gendong aja?" tawar Shania sembari merentangkan tangannya, bersiap menyambut Andi. Baru saja Andi hendak melangkah menghampiri Shania yang kini sudah membungkuk ke arahnya, anak itu tahu-tahunya berhenti di tengah-tengah lantaran ada sesuatu di samping yang menarik perhatian anak itu. Di mana di sampingnya seorang laki-laki dewasa yang tengah menggendong anak seusianya yang tampak menangis dan merengek-rengek. Sedangkan yang mengendongnya tampak kepayahan karena anak itu sedari tadi terus memberontak karena mungkin meminta di belikan sesuatu tapi orang tuanya tidak mau mengabulkan keinginannya. Melihat kejadian itu membuat mata Andi menyipit. Ia menatap secara bergantian antara Shania dan anak yang menangis dalam gendongan laki-laki itu. "Tuan Muda. Sini," ajak Shania lagi. Gadis itu tampaknya tidak melihat yang tengah Andi lihat makanya ia terus menawar tanpa tahu apa yang ada di pikiran Andi sekarang. Andi menggelengkan kepalanya. "Gak usah, Kak. Andi masih kuat," tolak anak itu, memberikan alasan menggunakan sebuah kebohongan. Salah satu alis Shania terangkat, padahal tadi ia melihat sendiri kalau anak majikannya itu mau menerima tawaran yang ia berikan. Namun, kenapa mendadak berubah sesingkat dan se-drastis itu? "Lohh ... Kenapa?" tanyanya. "Andi 'kan udah bilang kalau Andi masih kuat," ucap anak itu, mengulangi jawaban yang sebelumnya. Shania menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena mendapatkan reaksi yang seperti itu dari Andi. "Oh, ya udah," ucapnya perlahan bangkit berdiri. Anak itu kemudian berinisiatif sendiri untuk menggenggam tangan Shania yang sedang mengganggur. Sontak hal itu membuat Shania tersenyum, setidaknya dengan begini Andi tidak akan lepas dari jangkauannya. Selang beberapa menit kemudian, Fika yang sudah selesai dengan urusannya menghampiri Shania juga Andi yang berdiri tidak terlalu jauh dari sana. "Ayo masuk," ajaknya sembari menunjukkan tiga kembar tiket yang sudah dibeli olehnya barusan. Di hidung gadis itu masih bertengger kacamata hitam yang dikatai oleh Andi seperti sapi lepas tadi. Mengingat kejadian itu, masih sangat ampuh untuk mengocok perut Shania. "Ayo," sahut Shania yang mulai berjalan mengikuti Shania. Tangan gadis itu masih menggenggam tangan Andi dengan cukup erat. Tidak jauh dari mereka bertiga, ada dua orang berbaju hitam yang juga ikutan menyusul Shania, Fika, dan Andi. Ya, itu adalah para bodyguard yang di sewa oleh Jean untuk menjaga Andi agar anak itu bisa terhindar dari bahaya yang tidak diinginkan. Shania sendiri tahu tentang bodyguard itu, begitu pula dengan Fika dan Andi. Karena ada kehadiran mereka berdua lah makanya Shania jadi tidak terlalu merasa cemas bermain di luar seperti ini karena kemungkinan mereka menemui bahaya akan sangat kecil. Agar tidak terlalu menarik perhatian orang lain, kedua orang berbadan kekar itu sedikit menjaga jarak dari orang yang mereka jaga. Keduanya terus mengikuti ke mana majikan mereka pergi. Setelah dirinya benar-benar masuk, mata gadis itu langsung terpana dengan apa yang ia lihat. Sembari berjalan ia terus menebar pandang ke segala arah, dan di detik di mana ia menemukan apa yang ia cari, gadis itu menghentikan langkahnya. Memilih fokus melihat titik pandang yang menurutnya sangat menarik tersebut. Fika yang berjalan di depan tersadar kalau Shania dan Andi tidak lagi mengikutinya. Ya, karena tangannya saling bertautan dengan tangan Shania, jadinya anak itu juga ikutan berhenti melangkah. Namun, berbeda dengan Shania yang menatap tempat penjual permen kapas kesukaannya, Andi malah melihat ke arah berlawanan di mana terdapat tempat permainan panah memanah yang apabila menang akan mendapatkan mainan seperti boneka. Fika menghembuskan napas panjang, sebelum memuaskan dirinya sendiri dengan permainan yang ia inginkan tampaknya ia harus memuaskan kedua orang itu terlebih dahulu. Oleh karenanya lah Fika pun berjalan kembali ke belakang. "Ras, mingkem dong. Liur Lo netes tuh," ucap Fika yang langsung berhasil mengalihkan perhatian gadis itu. Dengan sedikit panik, Shania langsung mengangkat kedua tangannya menuju wajahnya. "Mana? Kok gak ada?" tanya Shania sembari meraba-raba wajah sekitaran mulutnya, tapi nihil, ia tidak menemukan apa-apa yang ada hanya mulutnya yang terasa mengering. Tampaknya, Fika membohonginya barusan. "Hahaha ...." Fika terkekeh kecil. Nahhh ... Benar 'kan dugaan Shania, Fika selalu memanfaatkan keadaan untuk mencari hiburan untuk dirinya sendiri. Alhasil Shania cuma mendelik sinis pada sahabatnya itu. "Lagian, kalau Lo memang pengen jajan, ya jajan aja. Jangan cuma mandangin sambil mulutnya kebuka lebar gitu, ingat umur lohhh ...," ucap Fika, berkata dengan suara kekehan yang sudah sedikit mereda. "Yee ... Gak gitu juga kali. Mana ada air yang ada di dalam mulut gua keluar," ucap Shania, membela dirinya sendiri. Ia sengaja menghalus kata liur. "Tadi barusan." "Gak ada," balas Shania lagi. "Ohh, jadi Lo beneran gak mau beli tuh permen kapas? Ya udah kita pergi ke tempat lain aja yuk," ucap Fika sedikit menggoda. Ia sangat tahu kalau Shania itu sangat menyukai makanan yang manis-manis, seperti permen kapas misalanya. Jadi, tidak perlu di pertanyaan lagi sebenarnya apa yang membuat Shania mendadak bergeming di tempat ini, tentu saja itu adalah stan yang menjajakan permen yang berbahan baku gula tersebut. "Jangan!" Pupil mata Shania terbuka lebar, ia segera menahan tangan Fika yang sekarang sudah bersiap untuk beranjak dari sana. Merasakan tangannya yang disentuh oleh Shania, Fika menyeringai. "Tuh 'kan, sok-sokan sih Lo. Sama gua pake gengsian segala," ucapnya setelah menghadap Shania kembali. Shania mendelik sinis. "Yee ... Lo yang kepedean. Gua gak ngerasa gengsi kok. Orang gua cuma gak ada duit aja mau beli," jujur Shania yang seketika menghancurkan ekspetasi Fika. Meski ia sedikit merasa kecewa karena tebakannya itu salah, tapi Fika lalu berkata. "Hmmm ... Roman-romannya ada yang mau minta traktiran nih. Karena gua sayang, gua tolak ajak deh." Kening Shania tampak bingung memikirkan ucapan Fika yang menurutnya tidak nyambung itu. "Yahhh ... Lo. Katanya sayang sama gua, kok gak mau traktir gua sih." "Ge'er banget Lo, sejak kapan gua bilang sayang sama Lo. Kata sayang gua barusan 'kan ditujukan sama duit gua, sayang banget 'kan?" ucap Fika sembari terkekeh kecil karena berhasil membalas Shania. Lagi-lagi Shania mendelik sinis. "Ya udah, kalau memang gak mau, gak gini juga caranya. Dari pada Lo semakin kenyang karena terus ngetawain gua mending gua—Nahh ... Loh... Tuan Muda mana?" Secara spontan raut di wajah Shania berubah menjadi panik kala sosok anak kecil tidak ia temukan lagi di sampingnya. Fika turut melihat apa yang Shania lihat, menyadari kalau Andi tidak lagi ada di sana. Gadis itu langsung bereaksi heboh melebihi Shania sendiri. "LOHH ... ANDI MANA?" Tanyanya tapi tidak mendapatkan jawaban. "Shan, Andi mana? Perasaan tadi dia ada di samping Lo dehh? Dia gak diculik, 'kan?! Kalau dia diculik, gimana caranya gua jelasin sama Kak Jean?! Abislah kita, Shan?!" Shania yang dasarnya sudah merasa panik, semakin bertambah panik ketika mendengar penuturan beruntun dari Fika itu. "Gua juga gak tahu, Fik." Dengan kadar kepanikan yang sama sekali belum berkurang, Fika kemudian berkata lagi. "Gak cuma Andi yang hilang, bodyguard yang ditugaskan Kak Jean buat jaga Andi juga gak kelihatan lagi batang hidungnya, Shan." Shania mengedar pandangan, benar saja dua sosok berbaju hitam tadi sudah tidak ada lagi di sekitarnya. "Ayo kita cari sama-sama, mereka pasti belum jauh dari kita," ungkap Shania berusaha menenangkan Fika, padahal sebenarnya ia juga butuh penenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD