Perpisahan

1375 Words
Shania menyunggingkan senyum yang hangat kala menyambut Andi yang akan keluar dari ruangan kelasnya. Ya, sekarang pelajaran Andi di sekolah sudah berakhir makanya anak itu sudah diijinkan untuk pulang. Bukan hanya terkhusus untuk anak itu saja, itu berlaku juga untuk semua murid lainnya dan tidak ada yang dikecualikan. Oleh karenanya pemandangan di mana semua murid berseragam putih dengan almamater merah berhamburan layaknya barisan semut yang berpencar tak tentu arah karena diganggu oleh tangan jail manusia, begitu jugalah mereka yang berebutan keluar dari ruangan kelas karena tidak sabaran untuk pulang ke rumah masing-masing. Sama seperti Andi, semua murid juga didampingi oleh orang-orang dewasa. Bagi Shania pemandangan seperti ini sangatlah biasa karena semua orang pasti akan menghawatirkan anak mereka makanya mereka mau mengawasi selama dua puluh empat jam. Ketika matanya melihat Andi yang keluar dari kelas dengan keadaan yang menunduk, Shania segera mengangkat tinggi-tinggi tangan kanannya untuk dilambaikan karena ia khawatir kalau anak itu tidak melihat keberadaannya di sini. Anak itu mengangkat kepalanya, ia melihat Shania di sana. Walaupun anak itu sudah berjalan ke arahnya, tapi anehnya anak itu kembali menunduk. Entah apa alasan dibalik sikap anak itu, tidak seperti Andi yang biasanya. Biasanya anak itu langsung tersenyum sumringah kala melihat Shania, tapi sekarang tidak. Shania duga pasti sesuatu telah terjadi pada anak itu, oh apa jangan-jangan ada anak lain yang menggertaknya di kelas. Tidak ingin menunggu lagi, pikir Shania lebih baik ia cepat melangkahkan kakinya menghampiri anak itu. "Tuan Muda, kamu kenapa? Apakah ada yang menggangu kamu, cepat kasih tahu Kakak. Biar Kakak marahin anak itu," ucap Shania dengan nada khawatir bercampur dengan sedikit kekesalan. Ia tidak terima jika benar ada yang mengusik Andi. Seperti pengalamannya waktu kecil, dia dulu juga pernah di ganggu oleh orang yang sedikit lebih besar darinya. Kala itu Shania tidak bisa melawan mereka, yang bisa ia lakukan adalah melaporkan semuanya kepada Shekan sehingga dengan begitu kakaknya itu akan langsung mengambil tindakan untuk membela adik kesayangannya. Setelah itu kakaknya selalu tampil menjadi perisainya di hadapan semua orang, oleh karenanya lah tidak pernah lagi terdengar ada yang berani mengganggu gadis tersebut. Sekarang, Shania ingin menjadi perisai untuk Andi. Ia benar-benar akan menghayati perannya sebagai kakak dari anak laki-laki itu dengan cara melindunginya dari gangguan apa pun. Andi kemudian mendongkakkan kepalanya, menatap Shania sedikit lamat. Tidak ada raut menangis ataupun kesedihan di sana selayaknya Shania yang mengeluarkan air mata sebelum melaporkan kepada kakaknya tentang orang-orang yang mengganggunya dulu. Yang ada hanyalah sebuah tatapan berkaca-kaca seperti seseorang yang baru saja mengalami sebuah takdir yang tidak terduga. Tapi, bukankah Andi terlalu kecil untuk mengerti dan merasakan hal tersebut. Andi menatap Shania lama, sebelum kemudian ia berkata, "Menurut Kakak, seseorang yang telah berpisah apakah akan bertemu lagi. Apa di kemudian hari ada kemungkinan buat mereka bisa bersatu lagi?" tanya anak itu kepada Shania, berharap ia akan mendapatkan balasan sesuai dengan harapannya. Alis Shania saling bertaut, cukup bingung mengapa Andi mendadak mempertanyakan kepadanya tentang pertanyaan seperti itu. "Tuan Muda, kamu kenapa? Apakah di kelas ada teman kesayangan kamu yang mendadak pindah sekolah makanya kamu jadi sedih kayak gini?" tebak Shania. Namun Andi hanya membalasnya dengan gelengan kepala saja. Shania hanya bisa menghembuskan napas. "Tuan Muda, setiap pertemuan itu memang selalu berhubungan erat dengan yang namanya perpisahan. Tidak ada pertemuan yang abadi di dunia ini. Tapi, hal itu tidak menutup kemungkinan akan hadir yang namanya pertemuan yang kedua. Jadi, tugas kamu sekarang ini cukup mengikhlaskan saja dan mendoakan perpisahan itu sampai tibanya waktunya untuk pertemuan yang kedua, ketiga atau kesekian kalinya lagi," ucap Shania, menjelaskan agar raut itu segera menghilang dari wajah Andi. Jujur saja ia tidak menyukai raut itu ada di wajah Andi karena hanya akan menutup wajah cemerlang Andi saja. Seketika itu, sebuah senyum perlahan muncul di bibir ranum nan mungil milik Andi. Meskipun hanya tipis, tapi itu cukup menarik perhatian Shania. Gadis itu rasa ucapannya barusan cukup berhasil dan bekerja dengan baik pada Andi jadinya Shania juga merasa sangat senang. "Ayo kita pulang," ucap gadis itu kemudian. Andi tampak mengangguk, ia meraih telapak tangan Shania untuk ia genggam. Sembari berjalan beriringan, tangan yang bertaut itu diayunkan. Berjarak beberapa langkah dari tempat sebelumnya, Shania menoleh ke belakang. Ia tidak melihat Adel hari ini, padahal sebelum-sebelumnya anak perempuan itu sering kedapatan oleh Shania selalu meyosor Andi sampai membuat Shania mengira kalau keponakannya itu sudah mulai mengerti tentang cinta-cintaan. Shania duga mungkin anak itu sudah pindah sekolah beberapa hari yang lalu saat Andi tidak masuk sekolah. Seperti saat itu, Vanya sempat mengatakan padanya kalau mereka sekeluarga akan pindah dan menetap di kampung halaman suaminya begitu anak yang sedang ia kandung lahir, yang secara otomatis berarti tempat pendidikan Adel juga ikutan pindah. Shania pikir, begitu pulang nanti ia harus menghubungi Kakak sepupunya itu untuk mendengar kabar terbaru dari mereka, karena sudah lama semenjak kejadian di pinggir pantai itu Shania tidak lagi berhubungan dengan Vanya. Ia cukup merasa bersalah atas kejadian di mana ia berkata kasar kepada Vanya hanya karena ingin dimengerti padahal waktu itu Vanya hanya ingin yang terbaik untuk dirinya, oleh karena itulah Shania ingin meminta maaf kepada kakak sepupunya itu. Sekaligus Shania juga penasaran apakah anak yang dilahirkan oleh Vanya berjenis kelamin laki-laki sesuai yang diharapkan oleh banyak orang, atau malah perempuan lagi sama seperti Adel. But, apapun jenis kelaminnya, Shania akan tetap merasa bahagia menyambut kelahiran keponakan barunya itu. Saat tiba di parkiran sekolah, gadis itu tidak melihat mobil yang biasa menjemput mereka. Namun, gadis itu malah menemukan mobil lain yang sangat familier baginya. Ketika sang pemilik mobil itu menurunkana kaca jendela mobilnya, seketika itu Shania tahu kalau tebakannya benar. Mobil itu memang milik Fika, sahabatnya. Tapi, kenapa Fika ada di sini? Apakah gadis itu yang menjemput mereka berdua? Saat ia berada di mobil milik Jean tadi pagi, bukankah laki-laki itu berkata kalau yang menjemput mereka adalah sopir pribadi mereka. Shania menggelengkan kepalanya, ia tidak mau ambil pusing. Saat Fika melambai-lambaikan tangannya ke arah mereka berdua, Shania segera mengajak Andi untuk menyusul ke sana. "Kerjaan Lo sekarang udah ngerangkap jadi sopir ya, Fik. Gak lagi cuma jadi kaum pengangguran di rumah," canda Shania kala ia dan Andi menaiki mobil tersebut. Posisi mereka sekarang ini adalah Andi berada di kursi penumpang bagian belakang sedangkan Shania sendiri duduk di samping kursi kemudi, samping Fika. "Ya kali cewek keren kayak gua jadi sopir," ucap Fika. "Gimana? Keren banget, 'kan?" Lanjut Fika yang kini menoleh pada Shania setelah sebuah kacamata hitam bertengger pada hidung rada-rada mancungnya itu. Salah satu alis gadis itu diturun naikkan agar Shania segera menilai penampilannya saat ini. "Kek sapi lepas." Sontak jawaban tersebut membuat raut di wajah Fika mendadak berubah. Bukan Shania yang menjawabnya, melainkan Andi yang duduk di belakang. Shania dan Fika menoleh secara bersamaan pada anak itu, yang terlihat hanya lah Andi dengan tatapan datarnya dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara mereka bertiga. "Hahahah ...." Shania langsung tertawa terbahak-bahak, memikirkan Andi yang terlalu jujur. Sedangkan raut di wajah Fika masih mengerut, tidak menyangka akan dikatai seperti itu oleh keponakannya sendiri dan hal itu terjadi di depan Shania. "Kalau bukan keponakan, udah gua lelang Lo dari kemarin-kemarin hari," ungkap Fika yang dituju kepada Andi. Meskipun begitu, gadis itu tidak melepaskan kacamata yang sedang ia kenakan. Ia malah berlanjut menghidupkan mesin mobilnya. "Lohh, Fik. Ini 'kan bukan jalan buat pulang ke rumah, seharusnya kita belok kanan bukan belok kiri?" tegur Shania kala mobil yang ia tumpangi malah berjalan berlawanan arah. Dengan entengnya, Fika menjawab, "Ya kali kita langsung pulang ke rumah." Dengan alis yang terangkat satu, Shania mengajukan lagi pertanyaan, "Lohh ... Kalau gak pulang emangnya kita bakalan ke mana?" "Main," jawab Fika singkat, padat, tapi tidak jelas. "Main? Main ke mana? Emangnya boleh? Ntar dimarahin sama Tuan Jean? Andi juga 'kan harus pulang ke rumah, kita pulang aja ya? Gua gak mau ngambil resiko," cerocos gadis itu. Mendengar itu, Fika tampak menghela napas. "Ya elah ... Santai aja kali. Gak usah panikan gitu. Kak Jean gak mungkin marah, kalau pun marah gua siap jadi penanggung jawab kalian. Lagian, tujuan gua ngajak kalian 'kan baik, buat nyari refreshing bentar," ungkap Fika tanpa memutuskan pandangan dari jalanan. "Tapi—" "Stttt ... Andi aja gak protes," ucap Fika memberi tahu, yang seketik membuat Shania menoleh ke belakang. Anak itu hanya menganggukkan kepalanya, seolah menyetujui Fika. Kalau Andi sudah setuju begini, Shania tidak lagi punya alasan untuk menolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD