“Hidup benaran terasa nggak adil kalau harus melihat dan mengukur bahagia dari hidup orang-orang yang hidupnya memang sudah diatas melalui seleksi alam (takdir).” ~Sita
***
Akhirnya mereka kecuali Santi, sepakat bertemu di tempat rekomendasi Tyas. View dibukit pakar itu lebih bagus dilihat malam hari, mereka memutuskan ke sana sore hari. Sehingga bisa menikmati View indah tersebut.
Jarak dari apartemen ke bukit pakar hanya 9,4 km bisa ditempuh 27 menit jika jalanan lancar. Sita berangkat sekitar jam setengah enam sore, ternyata dugaan Sita salah, Bandung di akhir pekan lalu lintasnya lebih padat, hampir pukul tujuh malam mereka baru sampai di resto.
Sita tersenyum lebar, hawa sejuk menerpa wajah cantiknya sambil terus memandang dari ketinggian adalah pilihan tepat menghabiskan akhir pekan dengan menikmati eksotisme kota Bandung di malam hari seperti ini. Sungguh pemandangannya jauh lebih memanjakan mata, disuguhi pemandangan yang indah, ditambah lagi pancaran city light mampu membuat Sita lupa akan masalah hidup yang dia alami.
Sita menoleh, mengarahkan bola mata untuk mengamati ke sekeliling resto ini. Banyak pengunjung yang datang bersama pasangan atau mengajak keluarga, bahkan ada beberapa turis asing.
Kali ini Tyas tidak membual, tentang tempat ini. Sita merasakan suasana yang tenang alias cozy, adem karena sedang berada di kawasan dataran tinggi Dago yang asri.
Sementara layanannya cepat dan penampilan juru pelayanan yang ramah, sopan dengan pakaian bersih dan rapi akan membuat para pengunjung benar-benar seperti raja di sini, membuat nyaman tinggal berlama-lama dan yang paling penting selain wifi gratis, alunan musik lembut nan menggoda dengan suara penyanyi yang merdu juga membuat resto ini begitu nyaman dikunjungi.
Menu makanan pilihannya sangat beragam, mulai dari makanan khas Bandung dan nusantara, Asian Cuisin hingga European and Western Food.
Sita dan Yulia memesan steak medium well sementara Rere pesan well done dan Tyas memilih grilled norwegian salmon, tambahan salad buah dan red velvet, cheesecake, green tea tempura ice cream. Minuman mereka memesan sesuai selera masing-masing, Sita menjatuhkan pilihan pada strawberry lime sangria.
"Ini sih bukan enak gila lagi, mantul pisan euy!" Rere terus beri komentar, Sita setuju. Ini memang enak banget.
"Tumben yang keluar dari mulut lo berkualitas, Tyas?" Itu jenis pujian Rere untuk Tyas.
Sita yang sedang mengunyah, bisa saja tersendak. Jika tidak terbiasa mendengar ucapan Rere yang super tepat sasaran walau rada pedas sih.
"Memang selama ini yang keluar dari mulut gue, tidak berkualitas, teh?"
Sita memutar bola matanya ke atas, “Tyas lo benaran se-polos itu?” Tanya Sita. Tyas terkekeh.
Rere berdecak "Ya elah nih satu manusia nggak sadar atau memang tingkat kepekaannya nol sih! Ke mana aja neng, selama ini kan yang keluar dari mulut cantik lo itu sampah mulu!"
"Hei jangan hujat mulut gue ya, kalau nggak karena gue yang update kalian kan bisa kurang update.” Tyas mengelak, tetapi dia sama sekali tidak tersinggung akan ucapan teman-temannya—sudah biasa. Sita dan yang lain tertawa mendengarnya
"Eh kita lapar apa kalap sih, pesan makanan segitu banyaknya kalau tidak habiskan sayang, mubajir" Ujar Yulia yang paling irit bicara.
"Tenang kali Lia, ada Sita. dia mah perutnya seperti kantong doraemon. Dijejelin makanan sebanyak apa pun nggak akan melar, memangnya gue napas dikit aja bisa jadi lemak" Rere melirik Sita yang meringis, entah Sita harus senang atau tidak. itu pujian atau sindiran, ya?
Sulit di mengerti temannya ini, pujian dan sindiran beda sangat tipis sekali.
"Enakkan jadi gue? makan bisa banyak, biaya ditanggung bersama hari ini!" Sita menunjuk dessert yang mereka pilih memang dibayar bersama.
"Menang banyak Sita." Yulia tersenyum, mereka mulai menikmati makanan yang sudah tersaji di hadapan mereka. Sesekali diselingi obrolan segala macam.
"Eh satu sih yang belum gue cerita sama kalian, satu hal spesial dari resto ini" tiba-tiba Tyas mengalihkan topik...
"Apa? Oh gue tau, lo punya niatan mengajak Dhito dinner disini?" Rere menaik turunkan alisnya, bukan hal yang ditutupi lagi. Kalau Tyas ini, salah satu wanita BM yang menjadi deretan fansclub Dhito
Tyas tak langsung menjawab, dia minum manggo sunset terlebih dulu. Lalu tersipu malu-malu. Hal umum diantara mereka, Tyas sepertinya benaran menyimpan rasa pada Dhito.
"Ya elah jangan sok malu-malu kucing gitu kali tyas, lo kan biasanya juga malu-maluin." Rere mencibir Tyas yang tersipu
"Teh Rere benar kok, itu salah satu rencana gue sih. kalau dhito mengajak gue dinner, pasti tempat ini akan jadi daftar teratas pacaran roman picisan ala Tyas Larasati." Ketiga wanita itu mengeluarkan tawa mereka "eh ko jadi ngomongin gue sama My future husband sih, udah ah balik ke topik"
"Lo sendiri yang repot sama halusinasi, Tyas." Rere berdecak sebal.
Sita menyaksikan perdebatan tersebut sambil menikmati red velvet dan cheese cake yang sudah menggoda sejak pertama kali disajikan di meja.
"Resto ini punya anak big bos BM hotel kita. Tepatnya, punya calon kepala chef BM." Beritahunya semangat sekali.
“Uhuk..Uhuk!” Sita yang sedang mengunyah Cake tersendak.
Rere langsung menepuk-nepuk punggungnya. "pelan-pelan dong ta! gue tau lo udah ngeces liat tampilan cake dari muncul."
Lia yang ada disisi lain, memberikan air mineral miliknya pada Sita. "Minum dulu ta."
Sita mengambilnya, dia sendiri bingung kenapa bisa sampai tersendak cake, padahal cake itu benar-benar lembut dan enak.
"Wah juara nih pilihan pengganti pak Bernard. Dia aja mampu membuat resto ini terkenal sampai menjadi daya tarik kuliner di Bandung. Gue yakin juga, alasan kenapa BM langsung pilih dia tanpa harus seleksi dulu." Kata Lia kembali pada informasi yang dibawa Tyas.
"Setuju banget gue. lihat aja makanan yang luar biasa, pas di lidah pas dikantong. manajemen restoran ini juga berjalan rapi dan tertata baik." Mata Rere menatap sekeliling Resto. Menilainya.
"Sekarang ini kan bisnis kuliner menjamur dimana-mana, dari mulai buat terobosan makanan yang aneh-aneh, nyeleneh atau tema tempat dan nama resto yang buat penasaran dan terkadang suka ekstrem. lihat Resto ini, gue yakin tercipta bukan hanya main-main, dipikirkan matang-matang. Siapa pun pemiliknya, pasti dia merupakan Entrepreneur hebat, tidak gampang loh, karena seorang Entrepreneur butuh keterampilan bisnis di dalamnya."
“Seorang Entrepreneur juga butuh modal. Dia anak orang kaya, punya channel banyak, ladang promosi dan lain-lain pasti lebi mudah. Ngomong-ngomong soal jadi kepala chef, tanpa harus melalui seleksi. Dia sudah terseleksi alam kok, orang tuanya sudah sukses, tinggal meneruskan, mau apa lagi. Ya, begitulah hidup seorang pewaris tahta.” Sita lalu mendesah, “Hidup benaran terasa nggak adil kalau harus melihat dan mengukur hidup orang-orang seperti mereka.” Katanya lagi.
Ketiga sahabatnya sampai tercengang mendengar komentarnya, Mereka tahu Sita biasanya hanya jadi pendengar sesekali ikut komentar, tetapi komentar biasa bukan komentar yang terdengar aneh tersebut.
Karena memang Sita sudah terlanjur menyimpulkan—calon kepala chef yang sedang jadi objek pembicaraan kali ini. Merupakan orang sempurna dan satu lagi, pernah buat dia sakit kepala bahkan sebelum melihat wajah orang yang dipuji teman-temannya sekarang.
[to be continued]