Weekend seharusnya jadi hari paling menyenangkan bagi orang-orang yang selama weekdays sibuk dengan berbagai aktivitas, begitu pun dengan Sita.
Sabtu kemarin dia belanja perlengkapan dapur, memenuhi isi kulkas yang menipis untuk satu minggu ke depan. Sita memang lebih sering beli daripada masak walau ada waktunya merasa bosan sedang mood untuk masak. Jika sudah tersedia di kulkas, tinggal mengolah tanpa harus pergi membeli bahannya terlebih dahulu.
Sita memang anak bungsu, akan tetapi cukup bisa diandalkan untuk mengerjakan pekerjaan perempuan lainnya, sebab sejak kecil sangat mengagumi sosok Mama dan saat ditanya jika sudah besar mau jadi apa, Sita kecil dengan polosnya menunjuk Mamanya 'Ita mau jadi seperti Mama'. Rasanya baru kemarin Sita bebas dari urusan orang dewasa hanya tahu main, menangis, jajan, dan manja.
Lihatlah sekarang usianya sudah 27 tahun dan jika boleh memilih tidak ingin tumbuh secepat ini hanya ingin menjadi 'Ita kesayangan Mama dan keluarganya'
Sita mengeluarkan wortel, brokoli dan sawi dari kulkas membawan ke atas counter dapur. Sita mengambil wortel lalu diiris serong, Selanjutnya memetiki kuntum brokoli serta memotong sawi putih. Mencuci semua sayuran, serta udang yang sudah dibersihkan, bumbu capcai juga sudah siap. Menu hari ini, memasak capcai udang dan perkedel kentang.
Hanya perlu satu jam Sita sudah menyiapkan menu makan untuk hari minggu siang ini, memilih mandi dulu sebelum menyantap masakannya seorang diri. Satu lagi dari Sita, dia tipe wanita yang tidak menghabiskan waktu lama dikamar mandi. Seperti sekarang, dalam waktu lima belas menit. Dia sudah rapi dengan daster rumahan jadi pilihannya.
Baru saja mengambil piring dan gelas, ponsel yang dia letakkan diatas meja makan berbunyi—My sist Mila—kakak perempuannya.
"Halo, Assalamualaikum" ucap salam Mila begitu Sita mengangkatnya.
"Wa’ alaikumsalam, bagaimana kabar kakak sama keluarga?" Sita memilih melangkah ke ruang TV, duduk di sofa lebih nyaman saat mengobrol lewat ponsel seperti ini. Apalagi dia tahu, Mila tidak akan hanya sebentar kalau sudah menelepon.
"Alhamdulillah Baik de, kamu sehat?"
"Sehat. Jagoannya aku mana, ka?"
Sita pasti selalu terlebih dahulu menanyakan keponakannya—Ali, bocah berusia lima tahun.
Jika di Bandung kini menunjukkan pukul sebelas siang, pasti di Sydney yang waktunya lebih cepat tiga jam berarti pukul dua siang. "lagi keluar sama ayahnya, Makanya kakak ada kesempatan buat telepon kamu setelah telepon sama Mama tadi." Perasaan Sita berubah jadi waswas saat mendengar bahwa Mila baru menghubungi Mama. "Nggak usah tegang, kakak bukan Mama. Lagi pula, kakak malas bujuk kamu. Sudah tahu jawaban kamu.. tetap tidak, kan?"
Sita harus bersyukur, kedua kakaknya dari awal dukung apa pun keputusannya, bagi kedua kakaknya, Jika Sita mampu dan yakin. Mereka hanya perlu mendukung dan percaya sama adiknya.
"Mama omongin aku lagi?"
"Yakin mau tahu? entar kalau ujung-ujungnya kakak paksa, kamu menuruti kemauan Mama, memang kamu siap?"
Sita memutar bola matanya ke atas, dia membaringkan tubuh di sofa untuk lebih santai. "Nggak deh ka, makasih! hari mingguku bisa kelabu, kalau kakak kasih tahu." Keduanya tertawa,
"Bulan depan aku balik ke Indonesia, tapi sebentar. Mungkin sepekan, cuman ikut sama ka Wildan buat mengurus beberapa berkas di kementerian luar negeri, kakak tidak bisa kunjungan rutin ke Bandung seperti biasa."
Mila memang selalu mengalah jika ada waktu pulang ke Indonesia, dia tak pernah memaksa Sita pulang ke Jakarta untuk menemuinya. Dia yang akan membawa anak dan suaminya menemui Sita ke kota Bandung, katanya sih sekalian jalan-jalan.
"Ya kak, sayang banget. padahal Sita kangen banget sama ali"
"Ya sudah kamu cuti dua hari aja, buat ketemu kita, bagaimana?" Tuh tadi katanya, Mila tidak akan pernah paksa Sita buat menuruti kemauan Mama, tapi ujung-ujungnya.
Ah sudahlah, "banyak kerjaan Ka, aku tidak bisa ambil cuti dadakan."
Mila tertawa lagi "kamu mau bohongi kakak ya, de?"
"Bohon apa sih, ka?"
"Kamu pikir kakak yang hanya ibu rumah tangga, bisa kamu bodohi. Pakai alasan tidak bisa ambil cuti dadakan. Lho memang satu bulan itu dadakan? Makanya aku kasih tahu kamu dari sekarang. Sita, ayolah.. dek, pulang ya. Sebentar saja, kakak janji, Mama tidak akan menahan kamu lama. Hanya dua hari."
Hening, Sita tidak menanggapi langsung, Mila membiarkan dia berpikir.
"Hm, aku usahakan, tapi kakak janji harus urus Mama, supaya tidak menahan, mencari alasan atau apapun supaya aku lama di Jakarta"
"Yes, nah gitu dong baru adikku sayang" Sita ikut tersenyum mendengar Mila antusias "Iya kakak janji, Mama tidak akan bikin ulah dan mencari alasan buat menahan kamu."
Mila mulai menetralkan suaranya, dia berdehem sebentar dan lagi-lagi perasaan Sita dibuat waswas. Hati Sita berbisik—Mila pasti akan menanyakan sesuatu yang menurunkan mood.
"Ka, jangan buka obrolan yang buat mood aku anjlok. Aku belum makan dari pagi dan baru mau berniat makan, harus tertunda buat angkat telepon dari kakak. Kalau mau bicara tentang arah ke sana entar kakak telepon aja lagI, biarkan aku makan dulu."
Sepertinya Mila selalu menyadari ketidak nyaman dari adiknya itu hingga dia memilih mencairkan suasana dengan tertawa kencang di seberang sana.
"Kamu selalu negative thinking.” Mila mencibir, “Ya sudah sana lanjutkan niat makannya, kamu punya mag jangan suka tunda makanan" Sita yakin setelah ini, ka Mila akan ceramah soal pentingnya sarapan, mirip iklan minuman sereal di televisi, "Jangan pernah sepelekan sarapan de, apalagi kamu punya penyakit asam lambung, sarapan itu sangat penting untuk memulai hari. Ingat makan di pagi hari ibarat tubuh kamu sedang menerima 'bahan bakar' untuk menjalani hari”
See, terbukti Mila merupakan lulusan ahli gizi dan hal seperti ini sudah menjadi hal biasa bagi Sita, ceramah tentang gizi makanan dan manfaat lainnya. "Iya ka, tadi aku sarapan ko."
"Minum teh doang bukan sarapan itu namanya! udah jangan sok diet-diet, sudah tahu kamu susah gemuk, ngapain takut sarapan sih. sarapan yang benar juga nggak akan bikin gemuk asal pola makan sama olahraga yang cukup."
Sita menghela napas, kalau begini bisa tidak jadi kakaknya, mengakhiri sambungan telepon mereka.
***
Baru saja Sita meletakkan ponselnya, terdengar rentetan bunyi notifikasi chat masuk.
Rere A. : Ladies, jalan yuk sore ini. Gue sepi nih, laki gue keluar kota sementara kedua anak gue dibajak mertua.
Setelah Rere mengirim pesan itu, teman-temannya yang lain langsung mengomentari.
Santi Ramadhani : kasihan deh Bunda dua anak ini, kesepian mencari teman ya? Haha. Sori, gue nggak bisa ikut ada acara sama keluarga kecil gue. Setelah itu sih maunya kelonan aja sama mas suamia, biar cepat jadi adiknya niko
Rere A : Awas lo, san kapan-kapan kalau lo kesepian jangan cari teman.
Rere A : Kekepin aja juga tidak akan jadi anak, harus ada sesi making love dan diakhiri dengan jeritan panjang. baru deh jadi anak lo.
Lalu Rere kembali mengirim Chat, menegur Sita.
Rere A : Sita gue tau lo, online. Jangan cuman simak doang, fungsi ada grup buat ikut nimbrung. Bukan diread doang yang lain mana @Yulia @Tyas.
Sita kini sudah pindah ke ruang makan
Me : Apa sih ramai banget! Lagi pula gue tidak bisa menghindarkan? karena cuman gue, selalu punya waktu buat temani kalian yang cuman butuh kalau laki kalian pada sibuk di Weekend.
Tyas Larasati : Gue sih Yes. jam berapa?
Yulia R. : Gue ikut
Sita mengambil nasi dan lauk lainnya ke piring, nasi dalam Rice Cooker menyelamatkan lauk lain yang sudah dingin jadi ikut hangat saat disuapkan. Masih terus baca isi grup yang ramai Sita mulai makan.
Rere A. : Makanya cepat kawin ta, enak loh, ada teman hidup, teman di rumah, teman tidur, teman menikmati surga dunia juga. Hhaha
Tyas Larasati : Masih ada gadis disini teh.. Helloww!!!
Rere A. : Hahahh, anggap saja belajar.. Bye the way, gue lagi pengen banget makan steak. ada rekomendasi tempat, girls?
Tyas Larasati : Teteh isi lagi? Ngidam? Eh, gue ingat ada tempat makan steak yang rekomendasi banget. Sacred Lotus cafe and lounge, dibukit pakar.
Sita mengerutkan dahi, sepertinya tidak asing, 'bukit pakar'
[to be continued]