1 Minggu berlalu
Pertarungan antar mafia di mulai, tetapi Veronica bisa dipanggil Caca, wanita cantik berusia 25 tahun, dengan wajah oval rambut pendek sebahu membuat dia semakin cantik, dibalut kulit mulus dan seksi miliknya. Dia masih berstatus lajang. Dia bahkan tidak berniat untuk menikah, kegiatan seharinya adalah bertanding gulat dan tinju di atas ring. Baginya itu ada lah suami barunya. Menguras semua waktunya hanya untuk sebuah hobi gilanya.
Hari ini tepat jarum jam menunjukkan pukul delapan malam, pertandingan tinju antara Caca dan seorang laki-laki yang jadi musuhnya sejak lama akan segera dimulai suara riuh para penonton sudah menggema ke seluruh penjuru ruangan. Dan Caca sudah bersiap di ruangan nya.
“Cara!” panggil Robert sahabat baik Caca, dia tahu semua seluk beluk Caca. Dari anak seorang mafia terkenal di kota, tetapi dia tidak suka jika identitasnya diketahui orang lain. Dan kini ayahnya sudah pensiun dari dunia mafia, dan memilih menjalani kehidupan yang sederhana.
Caca melirik sekilas, wajah datar dan kakunya membuat semua yang menatapnya pertama kali pasti akan takut. Wanita itu terlihat sangat garang, membuat laki-laki yang mendekatinya berpikir dua kali, cari masalah bisa dipukul habis-habisan olehnya.
“Ada apa?” Caca membalas, sembari membenarkan sarung tangan tinju miliknya.
“Apa kamu yakin?”
“Yakin, apa?”
“Kamu mau bertanding dengan laki-laki itu,”
Caca beranjak berdiri wajahnya terlihat sangat dingin, dia menatap tajam ke arah Albert. “Memangnya kamu pikir aku main-main.” Jawabnya ketus. “Aku akan menuntaskan dengan segera,”
“Maksud aku bukan itu,,”
“Terus? Apa kamu meremehkan kemampuanku?”
“Bukan itu Caca, aku hanya tidak ingin jika kamu akan kena masalah nantinya.”
“Dukung aku atau kamu pergi dari sini,” ucap Caca kesal, dia berjalan keluar dari ruangan nya. Suara pembawa acara sudah memanggilnya untuk segera naik ke atas ring. Dengan langkah penuh keberanian dia berjalan dengan tatapan tajamnya, naik ke atas ring.
“Bersiaplah, Caca sayang, untuk kalah,” bisik musuhnya.
Caca menarik bibirnya sinis, melirik ke arah seseorang di sampingnya. “Apa katamu, kalah? Kita lihat saja nanti,” jawabnya santai tanpa rasa takut. Wasit mulai memegang kedua tanganku dan tangan musuhnya, agar dia bersiap untuk memulai pertandingan. Hitungan mundur mulai terdengar dan Caca dengan musuhnya saling berhadapan memasang kuda-kuda masing-masing. Mereka sudah bersiap untuk saling menyerang.
“Jangan nangis,” ucap lirih musuhnya.
Cara menarik sudut bibirnya sinis.
“Pergilah ke neraka,” Caca menggosok hidungnya, sebagai ciri khas dirinya di saat bertanding. Kaki jenjangnya mulia berjalan memutar di saat hitungan satu terucap, mencari cela musuhnya . Mereka saling berputar tatapan tajam mereka saling terkunci penuh dengan percikan api ambisius saling ingin mengalahkan. Dan membuat tendangan keras dari laki-laki lawan tepat mengenai pertahanan tanganya. Musuhnya terus memukul, menendang berkali-kali dan Caca masih dalam status bertahan menangkis semua serangan dari lawannya.
“Kamu akan kalah,” ucap laki-laki itu kesekian kalinya, sembari mengeluarkan tendangan memutar dengan tubuh sedikit terangkat ke atas. Dan Caca meraih kaki kanan yang hampir saja mengenai wajahnya, dia memutar kaki laki-laki itu ke belakang, membuatnya meringis kesakitan. Lalu melemparnya ke bawah. Kaki caca menindih punggungnya dengan kedua tangan masih gemetar kakinya, sambil berbisik pelan.
“Jangan bilang aku akan kalah, jika kamu belum tahu tentang aku,”
Dia melepaskan kakinya, dengan segera laki-laki itu berdiri tanpa rasa kalah sama sekali.
“Sekarang aku akan serius,” ucap Caca dengan senyum tipisnya.
Laki-laki lawannya menggeram kesal, dia mengeluarkan sebuah pukulan tepat mengenai wajahnya, bukannya sakit Cacar hanya mengusap dengan segala yang keluar sedikit dari ujung bibirnya. Tatapannya penuh dengan kelicikan Dalam otaknya, dia menarik sudut bibirnya. Mulai untuk berjalan ke depan dengan posisi kuda-kuda. Dan tangan sudah bersiap dengan posisi was-was. Melihat sedikit cela di Caca mengaluakn tendangannya kerasnya bertubi-tubi bergantian dari kaki kiri ke kaki kanan. Tendangan Yang dianggap bayangan bagi setiap orang yang melihatnya, tidak tahu cara dia menendang bagaimana, tendangan kaki jenjangnya itu sangat cepat dan keras.
Laki-laki di depannya hanya bisa menangkis sebisanya, hingga dia perlahan lelah dengan tendangan yang diberikan Caca. Tangan dan sekujur tubuhnya lemas, tendangan itu tepat mengenai kaki, tubuh, tepat sebuah pukulan keras mendarat di perut laki-laki di depannya, seketika dia tersungkur terjatuh di atas ring. Tubuhnya seakan lunglai tidak berdaya akibat setangan wanita misterius itu.
Wasit mulai menghitung, laki-laki itu mencoba untuk berdiri, tetapi tulangnya seakan remuk tidak bisa berdiri tegak, berkali-kali dia mencoba, tapi tetap saja tersungkur dan tersungkur lagi di atas ring. Hingga wasit selesai menghitung sampai tiga, dan langsung mengangkat tangan Caca sebagai pemenangnya. Suara rius teriakan para penonton terdengar sangat meriah.
Bagi Caca laki-laki itu bukanlah lawan yang sangat berat, tidak ada orang yang bisa menandinginya. Entah mungkin dia belum menemukan musuh yang sepadan dengan sekarang.
“Kamu hebat, Ca.” Ucap sahabatnya itu memeluk pundak caca.
“Bukannya tadi kamu meragukan kemampuanku,” Cara melepaskan tangan sahabatnya itu dari pundaknya.
“Bukannya begitu, tadi aku hanya ragu,” Caca menoleh cepat.
“Ragu katamu? Sama saja kamu meragukan kemampuanku,” ucap Caca. “Kamu sudah menjadi temanku lama, tapi kamu tidak tahu aku.”
Robert mengambil handuk melemparnya ke arah Caca.
“Maaf, lagian kamu hebat kok.” Puji Robert.
“Ya, makasih pujiannya. Tapi aku gak punya uang receh.”
Robert mengerutkan keningnya. “Memangnya aku pengemis?” decak kesal Robert.
“Sudah, aku mau istirahat sebentar,”
“Aku akan jaga kamu,” ucap Robert.
“Terserah kamu,”
Cacayang ingin istirahat, hatinya terasa sangat gusrah. Seakan pikirannya melayang memikirkan ayahnya. Entah kenapa dia tidak bisa menghilangkan pikiran khawatir itu.
“Bukannya tadi kamu ingin istirahat?” tanya Robert.
“Aku kepikiran ayah,” ucap datar Caca. “Apa kamu bisa menghubunginya?”
“Maaf, aku dari tadi juga coba menghubungi ayah kamu disaat kamu mulai bertanding. Tetapi, bahkan sampai pertandingan selesai aku tidak bisa menghubunginya.”
Caca beranjak berdiri, meraih kerah Robert, menariknya sedikit ke atas. ‘kenapa kamu tidak bilang dari tadi,”
Robert meringis, “Lepaskan dulu tangan kamu,” ucapnya, sembari menurunkan pelan-pelan tangan Caca di kerah bajunya.
“Terakhir ayah kamu mengirimkan aku pesan, untuk membawa kamu kabur.”
Caca mengerutkan keningnya. “Maksud kamu?” tanyanya. “Kenapa di setiap ada hal penting kamu selalu diam,”
“Dengar dulu,”
“Oke..” Caca melipat kedua tangannya diatas dadanya.
“Dia menyuruh kita untuk cepat pergi, dan terakhir kali dia kirim pesan jika akan menunggu di pusat kota,” jelas Robert.
“Apa yang terjadi?”
“Aku juga tidak tahu,”
Caca melangkahkan kakinya mondar-mandir, dengan tangan tidak berhenti bergerak, seakan sedang berpikir sesuatu.
“Sepertinya kita harus pergi,” ucap Caca.
“Bentar, kita tunggu balasan dari ayah kamu dulu,” jawab Robert.
“Baiklah,”