PART. 10

758 Words
Rara tiba di rumah, Asifa yang membukakan pintu. "Sudah lamarannya, Amma." "Sudah." "Jadi, kapan menikahnya?" "Tiga bulan lagi." "Oh ... Rara ke kamar dulu ya, Amma." "Iya, Sayang. Jangan lupa cuci kaki, cuci tangan, bersihkan wajahmu, gosok gigimu, dan ganti pakaianmu." "Amma, Rara sudah besar, masa begitu saja harus diingatkan." "Takutnya kamu lupa." "Umm, Tuan kita mana Nyonya?" "Di kamar mandi." "Oh, titip kecupan buat Tuan kita, ya Amma Nyonya." Rara mengecup kedua pipi Asifa, sebelum ia menaiki anak tangga, menuju kamarnya. 'Tiga bulan lagi, dan aku harus bertahan sekian bulan, melihat mereka menjadi sepasang suami istri, sampai tiba waktu aku bisa pergi dari sini untuk kuliah di Jakarta, menyusul Abang Revan, dan Acil Sila. Semangat, Ra. Kamu pasti bisa segera memulihkan perasaanmu.' Rara masuk ke dalam kamarnya, ia duduk di kursi belajar, diletakkan buku yang tadi ia bawa ke rumah Tini. 'Perasaanku akan cepat pulih, andai Kak Razzi tidak mencintaiku. Sorot matanya menunjukkan kalau dia juga mencintaiku. Andai cintaku bertepuk sebelah tangan, pasti akan sangat mudah aku singkirkan. Tapi ... tidak ada yang lebih menyakitkan, dari pada saling mencintai, tapi tidak bisa saling memiliki ....' Kepala Rara jatuh di atas lipatan tangannya di atas meja. Ia tak mampu menahan tangis. Sekuat apapun ia berusaha, rasa pedih, perih, sedih tak bisa ia singkirkan begitu saja. Cintanya pada Razzi sudah terpatri dalam, sangat sulit untuk ia hapuskan. 'Ya Allah. Apakah begitu banyak dosa yang sudah aku perbuat, sehingga ujian seberat ini harus aku jalani.... Istighfar, Ra ... Astaghfirullah hal adzim, jangan berprasangka buruk pada kehendak Allah, Ra. Pasti ada sesuatu yang indah menantimu, asal kamu ikhlas menerima takdirmu.' Suara panggilan masuk di ponselnya mengagetkan Rara. Dihapus air mata di pipi, diambil ponsel dari saku baby doll yang ia kenakan. Ditarik dalam napasnya, lalu ia hembuskan perlahan, sebelum ia menerima panggilan dari Vanda. "Assalamualaikum, Kak Vanda. Cie ... cie ... cie, calon Nyonya Razzi, pasti sekarang sedang senyum-senyum sendiri, iyakan?" Rara berusaha menggoda Vanda seperti biasa, meski hatinya perih tak terkira. "Rara, iih. Masih lama jadi Nyanyonya ...." "Nyonya." "Hmmm, itu. Rara jahat, kenapa tadi pergi?" "Rara ada PR, Rara tidak bisa mengerjakan sendiri. Jadi Rara tanya Tini." "Tanya lewat teplon bisakan?" "Telpon!" "Hmmm, itu." "Iya, sih ...." Rara tertawa, meski air mata jatuh membasahi pipinya. "Rara mau tidak, nanti menemani Vanda ke Jakarta?" "Kapan?" "Kita berangkat Jumat, pulang sore Minggu, mau ya." "Memangnya mau apa ke Jakarta?" "Ingin membuat busana pengantin." "Oh, perginya sama Kak Razzi juga?" "Tidak, nanti kalau sudah dapat desainernya, baru Kak Razzi ke Jakarta." "Kenapa tidak pergi berdua Kak Razzi saja?" Rara mengusap dadanya yang terasa sangat sesak, akibat menahan Isak. "Iiih, belum boleh, Rara. Eh, Rara flu ya?" "Iya, nih ...." "Pasti minum es teruskan, hayo dimarahi Nini Cantik loh nanti." "Rara susah bernafas, Kak Vanda." "Ya sudah deh, Rara istirahat ya, minum obat flu. Baru tidur, semoga besok sudah sembuh. Assalamualaikum, Rara." "Walaikum salam." Rara meletakkan ponsel dengan tangan gemetar. Diusap dadanya yang terasa semakin sesak. Lalu dihapus air matanya. Mengikhlaskan, tidak semudah mengatakannya. Kepala Rara tertelungkup di atas kedua lengannya yang terlipat di atas meja. Ia tak lagi mencoba menahan tangis. Ia tak perlu takut isaknya terdengar orang lain. Karena, dilantai atas, ia tidur sendirian. Lelah sudah ia menangis, dibersihkan hidung, dan wajahnya dengan tissue. Diambilnya satu buku tulis, ia buka halaman paling terakhir. Diambil pulpen, dan jemarinya mulai bergerak, menggores tentang isi hatinya. Cinta, Diantara Aku, Kau, dan Dia. Aku mencintaimu. Kau mencintaiku Kita saling mencintai. Namun, takdir cinta kita, bukan untuk bersatu. Dia mencintaimu. Kau tak mencintainya. Namun takdir mengantarnya untuk memilikimu. Takdir mengantarmu, untuk menjadikan dia jodohmu. Sakit. Hatiku sakit. Kita saling mencintai, tapi takdir membuat kita tidak bisa saling memiliki. Ikhlas. Aku mencoba untuk iklhas. Ikatan di antara Kau, dan Dia. Membuat banyak orang bahagia. Rela. Aku mencoba merelakan. Cinta, dan bahagiaku terenggut, demi senyum semua orang. Aku, dan Kau. Cinta kita berakhir karena takdir. Bukan karena dia. Bukan salah dia. Biar aku simpan pedih ini sendiri. Kau cinta masa kecilku, cinta masa remajaku, cintaku saat ini, ku berharap, rasa cintaku padamu, bisa aku cukupkan sampai di sini. Karena, aku tak ingin mencintai Kau, yang sudah menjadi milik Dia. Rara Air mata berjatuhan di atas kertas bertuliskan curahan hati Rara. Rara berharap, ini air mata terakhir. Ia tidak ingin menangis lagi. Ia ingin ikut berbahagia bersama keluarganya, menyambut pernikahan Vanda, dan Razzi. Rara tersenyum, saat teringat permintaannya dulu pada Razzi, agar melamarnya, lima tahun lagi. Kalau dihitung, saat ini adalah lima tahun, dari waktu pertama ia meminta Razzi melamarnya. Namun, bukan dirinya yang dilamar Razzi, melainkan Vanda sepupunya. BERSAMBUNG 200 komen aku boom 5 part lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD