Di rumah Razzi. Razzi masuk ke dalam kamar tidur, dikunci pintu kamarnya. Ia lepas peci yang ia kenakan, lalu ia duduk di kursi belajarnya. Kepalanya tertunduk dalam. Harapan itu sudah menghilang, sirna bersama keputusan yang sudah ia ambil. Namun, rasa cinta itu sulit ia singkirkan. Semakin kuat ia mencoba lepas, semakin kuat rasa itu membelit dirinya. Razzi berpikir, mungkin karena rasa cinta itu sudah terlalu lama tumbuh di dalam hatinya. Sudah ia rawat, ia pupuk, ia sirami, sehingga sulit ia cabut dengan akarnya. Razzi mengambil satu buku di antara buku lain di atas meja belajarnya. Dibuka buku itu dengan tangan bergetar. Air mata, tak bisa lagi ia cegah untuk menetes dari kedua kelopak matanya. Air matanya, jatuh di atas buku tabungan berwarna biru miliknya. Buku tabungan yang ia