Rara mendekati Vanda. Ia duduk di sebelah Vanda. Diambil air mineral gelas dari dalam dus. Ia tusuk, lalu ia sedot.
"Kak Razzi ke mana?"
"Pulang, sakit perut, katanya."
"Sudah bicara apa saja dengan Kak Razzi?"
"Bicara apa saja bagainama?"
"Bagaimana."
"Hmm, itu."
"Ya, misal mau bulan madu ke mana, mau punya anak berapa, mau ...."
"Iih, Rara! Tidak ada ya biraca begitu!"
"Bicara."
"Hmmm, itu."
"Kak Razzi itu pendiam sekali. Kak Vanda harus bisa memulai pembicaraan. Hmmm, pendiam sama pendiam, kalau menikah malam pertamanya bagaimana, ya?"
"Iiih, Rara. Jangan membicarakan itu, dong!"
Wajah Vanda bersemu merah. Rara menundukkan wajah, menyembunyikan rasa hati, agar tak terbaca lewat sorot matanya.
Rara bisa melihat, kebahagiaan yang meluap dari mata, dan senyuman Vanda. Kebahagiaan yang sama, yang bisa ia lihat dari sorot mata, dan rona wajah Nininya.
'Biarlah, bahagiaku aku kebiri, demi bahagia orang-orang yang aku sayangi. Aku ikhlas, aku ikhlas, aku pasti bisa ikhlas, aamiin.'
"Rara ke sana lagi ya. Kak Vanda di sini saja, tidak usah ikut ke tengah lapangan. Nanti kalau Kak Vanda kena panas, kena debu, terus sakit. Pasti Rara yang diomeli Nini, karena tidak bisa menjaga Kak Vanda."
"Iya, aku di sini saja."
"Terima kasih, Kak Vanda."
Rara kembali ke tengah lapangan, ikut membantu mengatur jalannya pertandingan.
***
Malam ini, selepas Isya, keluarga Razzi, akan melamar Vanda secara resmi. Setelah sholat Maghrib, Rara sengaja pergi ke rumah Tini, dengan alasan ia tidak paham cara mengerjakan PR. Ia tidak ingin mendengar pembicaraan, ataupun melihat kedatangan keluarga Razzi. Rara memilih menghindar, dari pada harus menahan tangis.
Aska, dan Asifa tidak melarang Rara pergi, selain karena rumah Tini, masih di kampung mereka sendiri. Mereka juga percaya, Nona kesayangan mereka bisa menjaga diri.
Keluarga Razzi datang. Wirda, Wira, Ziah, Wina, adik Wira beserta suaminya. Awal, dan istrinya. Juga Razzi tentu saja.
Dari keluarga Vanda. Ada Soleh, Cantika, Aska, Asifa, Asma, Revano, dan tentunya Vanda.
Razzi menatap ke pintu penghubung antara ruang tamu, dan ruang tengah, berharap seseorang muncul dari sana. Tapi, orang yang ia harapkan tidak kunjung ke luar juga. Razzi menarik dalam napasnya, dipejamkan mata, berharap ikhlas bisa ia rasa. Razzi, merasa sepi, diantara dua keluarga yang tengah mencapai sepakat untuk waktu pernikahannya.
"Jadi, tiga bulan dari sekarang ya, agar persiapan resepsi bisa lebih matang lagi."
"Iya, Asma," jawab Wirda.
"Aku sangat lega, karena semua bisa berjalan lancar, tanpa ada kendala. Semoga lancar sampai saat pernikahan, dan rumah tangga Razzi, dan Vanda dilimpahi keberkahan, aamiin." Cantika tersenyum bahagia.
"Aamiin."
Razzi masih menunggu seseorang datang dari pintu penghubung, namun penantiannya sia-sia.
Sementara itu, Rara berjalan lambat untuk kembali ke rumah dari rumah Tini. Rara sengaja berjalan kaki, sambil berusaha menata hati. Namun, sesekali terlihat ia mengusap mata. Rasa sakit itu tidak bisa ia hindari. Rasanya, ingin secepatnya ia lulus SMA, lalu pergi dari kampung ini. Terlalu menyakitkan rasanya, jika setiap hari harus melihat Razzi, dan Vanda. Setidaknya, ia harus pergi sesaat, untuk memberikan ruang pada hatinya. Agar benar-benar bisa ikhlas menerima kenyataan.
"Rara!"
Rara menolehkan kepala.
"Paman Randi!"
Seorang pria usia hampir tiga puluh tahun mendekati Rara. Ia juga berjalan kaki seperti Rara.
"Darimana, Ra?"
"Rara dari belajar bersama di rumah Tini, Paman."
"Kok jalan kaki, motormu mana?"
"Ada di rumah. Lagi ingin jalan kaki saja. Paman darimana, kok jalan kaki juga?"
"Paman dari rumah Abah, ingin pulang ke rumah Mama. Motor Paman masuk bengkel tadi sore."
"Ooh, Rara dengar, Paman mau menikah ya sama Acil Anis?"
"Ehm, inginnya begitu. Tapi, lamaran Paman ditolak orang tua Anis.'
"Kenapa? Paman ini pekerja keras. Pagi mengajar di Madrasah, sore mengajar di TPA, malam juga mengajar mengaji di rumah. Jaman sekarang, jarang ada pria yang seperti Paman."
"Sayangnya, jaman sekarang, masalah keturunan siapa, keluarganya bagaimana, masih menjadi pertimbangan utama, Rara. Banyak orang yang belum bisa menerima aku sebagai diriku. Mereka masih memandang aku sebagai anak Abahku, adik dari kakakku. Bukan aku, sebagai Randi."
"Oh, jadi lamaran Paman ditolak karena, Paman anaknya Kai Maryadi, dan adiknya Paman Dardi?"
"Iya, begitulah. Aku tidak mungkin mengingkari kalau mereka Abah, dan Kakakku bukan. Seburuk apapun, mereka tetap keluargaku. Abah tetaplah Abahku. Bang Dardi tetaplah Abangku, meski kami lahir dari ibu yang berbeda."
"Yang sabar ya, Paman. Berdoa saja, semoga pintu hati orang tua Acil Anis bisa terbuka. Dan, bisa melihat Paman Randi sebagai seorang yang luar biasa."
"Aamiin, kamu itu masih kecil, tapi sudah pintar bicara." Randi tertawa lalu diacak rambut di puncak kepala Rara. Rara juga tertawa, tapi ia merindukan Revan yang sering mengacak puncak kepalanya juga.
BERSAMBUNG