Vanda menelpon Rara yang baru selesai mandi. Ia mengajak Rara untuk ke rumah sakit sama-sama. Rara setuju, tapi ia minta Vanda menunggu, karena ia harus menutup semua jendela dulu.
Setelah semua jendela, dan pintu ia tutup, dan kunci, Rara berjalan kaki ke rumah Vanda.
Mereka pergi bersama kedua orang tua Vanda.
Sementara itu di rumah sakit. Cantika sudah masuk ke dalam ruang perawatan. Ia tengah berbicara dengan Soleh, Aska, dan Asifa.
"Aska."
"Ya, Amma. Aku ingin sekali menjodohkan Vanda dengan Razzi. Kira-kira, Wira, dan Ziah setuju tidak?"
"Vanda harus ditanya dulu, Sayang. Dia setuju tidak dijodohkan, setuju tidak dinikahkan. Kita tidak bisa semau kita. Dia memang cucu kita, tapi ...."
"Vanda pasti setuju, Bie. Vanda itu bukan Rara yang suka membangkang."
Aska, dan Asifa saling tatap, karena putri mereka disebut pembangkang. Tapi, mereka tidak berusaha untuk protes. Mereka lebih memilih diam saja. Takut, kalau dijawab, melukai hati Amma mereka.
"Sebaiknya kita tanyakan dulu ya. Kalau Vanda setuju, baru kita tanyakan pada Wira, soal Razzi." Soleh membujuk Cantika dengan tatapan, suara, dan usapan lembut di lengan istrinya.
"Aku ingin, kita benar-benar bisa menjadi sebuah keluarga dengan keluarga Kak Wirda."
"Iya, aku mengerti. Sekarang istirahat ya, kita tunggu Vanda, dan yang lain datang."
"Iya, Bie."
"Sifa, kamu, dan Amma sholat Maghrib di kamar saja ya, Abba, dan Aska ke musholla rumah sakit."
"Iya, Abba."
"Sayang, aku, dan Aska ke musholla dulu ya."
"Iya, Bie. Hati-hati."
"Assalamualaikum," Soleh mengecup lembut kening Cantika. Aska mencium punggung tangan Ammanya. Asifa mencium punggung tangan suami, dan Abbanya.
***
Soleh, dan Aska bertemu Asma, Revano, Vanda, dan Rara di musholla.
Setelah sholat Maghrib mereka membeli makanan untuk makan malam. Mereka juga membawakan untuk Asifa. Setelah itu, baru mereka kembali ke ruangan tempat Cantika di rawat.
"Assalamualaikum," pintu terbuka, semua mata menatap ke arah Cantika.
"Walaikumsalam," sahut Cantika, dan Asifa.
"Amma ...." Asma mendekati ranjang. Ia duduk di tepi ranjang.
"Amma tidak apa-apa, Sayang." Cantika mengusap pipi Asma yang basah oleh air mata.
"Maafkan aku, karena tidak bisa menjaga Amma."
"Amma mengerti, kamu harus meneruskan usaha Kai. Ada Sifa yang bisa menjaga Amma. Pabrik keripik bisa diserahkan pada orang lain."
"Nini ...." Vanda mendekat. Dicium punggung tangan Cantika. Cantika mengusap lembut pipi cucunya.
"Vanda, Rara, kalian ke luar dulu ya. Nini ingin bicara dengan Kai, dan juga kedua orang tua kalian."
"Iya, Nini." Serempak kedua gadis itu menjawab.
"Ayo, Kak Vanda kita ke luar."
"Iya."
Dua sepupu itu ke luar dari ruang perawatan Nini mereka.
"Ada apa, Amma?" Asma menatap cemas pada Ammanya.
"Aku sudah bicara dengan Abbamu, Aska, dan juga Sifa." Cantika menarik napasnya sejenak.
"Aku ingin sekali melihat salah satu cucu perempuanku menikah."
"Maksud Amma?"
"Aku ingin Vanda segera menikah. Bisakah kalian kabulkan permintaanku?"
Asma, dan Revano saling tatap.
"Kami tidak bisa menjawab, Amma. Biar Vanda serindi yang menjawab. Tapi, mau dinikahkan dengan siapa? Vanda tidak pernah pacaran, Amma."
"Aku ingin, Vanda dijodohkan dengan Razzi ...."
"Razzi, anak Bang Wira?"
"Iya."
Asma, dan Revano kembali saling tatap.
"Bagaimana menurut Ombang?"
"Aku terserah Vanda saja," jawab Revano.
"Apa Razzi bersedia? Bagaimana kalau tidak?" Asma menatap Cantika.
"Aska, sebaiknya, kita tanya Vanda dulu, atau tanya Razzi dulu?" Cantika bertanya pada Aska yang sejak tadi diam saja.
"Sebaiknya tanya Vanda dulu, bersedia tidak dijodohkan, dan dinikahkan. Tapi, jangan katakan dulu kalau pria yang Amma pilih adalah Razzi. Setelah kita dapat jawaban, dari pihak Razzi. Baru kita katakan kalau itu Razzi. Kalau Razzi menjawab tidak, kita bisa cari calon lainnya. Aku kira begitu lebih baik, Amma."
"Ya, Aska benar. Tapi, aku rasa, Wira sekeluarga tidak akan menolak. Vanda gadis baik, gadis rumahan, tidak pernah macam-macam," ujar Soleh.
"Kalau begitu, panggil Vanda sekarang. Sifa, tolong panggilan Vanda ya, Sayang."
"Iya, Amma."
Asifa ke luar dari dalam ruangan untuk memanggil Vanda.
Asifa, dan Vanda sudah masuk. Kepala Rara melongok di ambang pintu.
"Rara boleh masuk juga, tidak?" tanyanya. Ia takut nyelonong masuk, lalu membuat Nininya jadi mengomel.
"Masuklah," Soleh menganggukkan kepala pada cucunya.
"Terima kasih."
"Mendekatlah, Vanda." Cantika menggapaikan tangannya. Vanda mendekat dengan rasa penasaran di dalam hatinya.
"Usiamu sudah hampir dua puluh bukan?"
"Iya, Nini."
Cantika menarik napas, matanya terpejam sesaat.
"Nini tidak tahu, berapa lama lagi Nini akan hidup."
"Nini ...." Air mata jatuh di pipi Vanda, Asma, Asifa, dan Rara.
"Nini punya permintaan padamu, Vanda. Nini sangat berharap kamu bisa mengabulkannya."
"Katakan saja, Nini. Isya Allah, akan Vanda kabulkan."
"Bersediakah kamu menikah dengan pria yang Nini pilihkan?"
Vanda menatap Cantika. Bukan hanya Vanda yang terkejut, tapi Rara juga.
"Maksud Nini?"
"Nini ingin kamu segera menikah. Karena, kata Ammamu, kamu belum memiliki pilihan, Nini yang akan memilihkan calon suami untukmu. Apa kamu bersedia?"
Vanda menatap kedua orang tuanya bergantian. Seakan meminta dibantu untuk memberikan jawaban.
"Abba, dan Amma sudah sepakat. Menyerahkan keputusan kepadamu, Sayang."
"Nini ...."
"Nini ingin melihat salah satu cucu perempuan Nini menikah, sebelum Nini meninggal."
"Nini ...."
BERSAMBUNG