"Nini ...."
"Jawablah, Vanda."
"Iya, aku bersedia memenuhi keinginan Nini."
"Alhamdulillah."
Semua mengucap syukur, kecuali Rara. Rara merasa kasihan pada Vanda, karena tidak bisa bebas memilih pilihan hatinya.
'Siapa kira-kira, pria yang dijodohkan dengan Kak Vanda ya?'
"Nini, siapa pria yang dijodohkan dengan Kak Vanda?" Rara tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya.
"Nanti, kamu akan tahu."
"Kenapa nanti, sekarang saja, Nini."
"Rara, Nini bilang nanti ya nanti. Ayo kita ke luar." Asifa membawa putrinya ke luar ruangan. Ia takut, kalau Rara nanti dimarahi Nininya, karena kadar rasa ingin tahunya yang terlalu tinggi.
"Vanda, kamu ke luar juga ya."
"Iya, Nini."
Vanda ke luar dengan wajah menunduk dalam. Ia ingin menolak, karena di dalam hatinya sudah ada nama Razzi. Tapi, ia tak bisa melakukannya. Ia tak bisa menolak keinginan Nini yang sangat ia sayangi.
"Kalian tunggu di sini ya. Amma masuk lagi ke dalam."
Aska menelpon Wira, mengatakan kalau ada yang ingin ia bicarakan dengan Wira. Ternyata, Wira, Ziah, dan Wirda sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sakitnya Cantika sudah mereka ketahui, karena itu mereka berniat menjenguk.
"Apa kata Wira, Aska?" tanya Soleh.
"Wira, istri, dan ibunya sedang dalam perjalanan ke sini untuk menjenguk Amma."
"Tahu darimana mereka kalau Ammamu masuk rumah sakit?" tanya Soleh.
"Mungkin dari istrinya Paman Awal. Tadi, waktu kami ke luar dari rumah, beliau lewat di depan rumah. Terus bertanya kami mau ke mana. Aku jawab, mau ke rumah sakit, karena Amma sakit." Asma menjelaskan dengan lancar.
"Tumben tidak terpeleset," celutuk Aska, menggoda adiknya.
"Abang!"
"Entah kapan, dia bisa berhenti menggoda orang," gumam Cantika.
"Kalau aku berhenti menggoda, rumah jadi sepi dong Amma."
"Aska benar. Biarkan saja dia suka menggoda, biar rumah kita selalu penuh tawa."
"Nah, apa kata Abba ...."
"Iya, Abbamu selalu membela kamu, dan Rara."
"Aku tidak pernah membelamu, karena kamu tidak pernah salah, Cantika cantikku."
"Uuh ... Abba so sweet!" seru Asma. Membuat mereka semua tertawa.
***
Di luar ruangan, Rara, dan Vanda duduk berdua.
"Kak Vanda sedih ya?"
"Ehm ...."
"Rara tahu, sangat tidak enak, saat hidup kita diatur orang lain. Kita tidak bebas melakukan yang kita suka. Contohnya Rara. Tidak boleh minum es, jadi kalau minum es harus sembunyi-sembunyi. Tapi, Kak Vanda berbeda dengan Rara. Kak Vanda sangat penurut. Sudah terbiasa seperti itu, iyakan?"
"Iya."
"Sebenarnya, siapa sih pria yang Kak Vanda sukai. Kak Razzi, Mister Rayen, atau ada nama yang lainnya?"
"Sekarang, itu tidak penting lagi, Rara. Tidak penting lagi siapa yang aku sukai. Karena, pilihan Nini yang harus aku terima ...."
"Kak Vanda ...." Rara memeluk bahu Vanda. Vanda sedikit lebih besar darinya.
"Aku tidak ingin melihat Nini sedih. Aku ingin membuat Nini bahagia di hari tuanya. Aku ingin ...." Vanda menghapus air mata yang tidak bisa ia tahan.
"Coba katakan saja, pria yang Kak Vanda sukai, mungkin saja Nini bisa menerima."
"Tapi, belum tentu juga pria itu menyukai aku. Biarlah seperti ini saja."
"Vanda, Rara!"
"Oh, Paman Wira, Assalamualaikum, Paman, Acil, Nini."
Rara, dan Vanda mencium punggung tangan Wira, Ziah, dan Wirda.
"Walaikum salam. Kami ingin menjenguk Nini kalian."
"Oh, iya. Ini kamarnya, sebentar."
Rara mengetuk pintu.
"Ada Paman Wira ...."
"Oh, masuk Bang." Aska melebarkan pintu, agar Wira, Ziah, dan Wirda bisa masuk.
Rara kembali duduk bersama Vanda. Sementara di dalam ruang perawatan terjadi obrolan santai.
Setelah mengobrol sesaat.
"Bang Wira, aku tadi menelpon karena ada yang ingin Amma sampaikan pada Bang Wira sekeluarga," ucap Aska, untuk mengawali pembicaraan yang serius.
"Ada apa Acil ingin bicara dengan kami?"
"Begini Wira. Pertama, aku ingin bertanya. Apa Razzi sudah memiliki calon istri?" Cantika menatap Wira, berharap jawaban Wira sesuai keinginannya. Razzi tidak ikut ke rumah sakit, karena disibukkan urusan perlombaan untuk 17an.
Wira, Ziah, dan Wirda saling tatap, lalu serempak kepala mereka menggeleng.
"Ada apa, Acil menanyakan hal ini?"
"Begini, Wira. Selama ini, kami sudah menganggap kalian adalah keluarga kami. Dan, kami sangat ingin ada ikatan kekeluargaan yang sesungguhnya."
"Maaf, Paman. Aku belum mengerti."
"Kalau keluarga kalian berkenan. Kami ingin menjodohkan Razzi, dengan Vanda. Itu kalau kalian, dan juga Razzi tidak keberatan."
Wira, Ziah, dan Wirda tampak nyata terlihat sangat terkejut.
"Tidak perlu dijawab sekarang, Bang. Pikirkan dulu, kami tunggu jawabannya dalam satu Minggu. Ini sebenarnya keinginan Amma. Amma sangat ingin melihat Vanda menikah."
"Aska benar Wira. Aku berharap bisa menerima kabar baik dari kalian." Cantika tersenyum pada tamunya.
Wira, Ziah, dan Wirda belum mampu berkata-kata.
"Bicarakan dulu dengan Razzi."
"Iya, Paman. Maaf, aku benar-benar terkejut. Tidak menyangka akan mendapat berkah seperti ini, untuk menjadi bagian dari keluarga Ramadhan."
"Tanyakan dulu pada Razzi, Wira. Apapun jawabannya, akan kami terima. Jika dia menolak, percayalah tidak akan merubah sedikitpun hubungan di antara kita."
"Terima kasih, Paman."
BERSAMBUNG
Sediakan tissue sebakul ya.
300 komen