Rara tiba di rumah.
"Sore sekali baru pulang?" Tanya Asifa.
"Assalamualaikum, Amma, Abba, Kai, Nini.... " Rara mencium punggung tangan yang ia sebut bergantian.
"Hujan, memangnya di sini tidak hujan ya?"
"Cuma gerimis."
"Mau pulang hujan-hujanan, nanti dimarahi Nini, jadi Rara berteduh dulu."
"Ya sudah, mandi dulu sana, setelah itu makan."
"Iya, Amma. Rara ke kamar dulu ya, Abba, Kai, Nini."
"Iya.
"Sebentar lagi Rara lulus SMA, ingin melanjutkan ke mana katanya?"
"Dia masih memikirkan itu, Amma."
"Katakan padanya, hanya boleh kuliah di sini saja."
"Iya, Amma."
"Usia Vanda sudah dua puluh ya, aku berharap dia segera menikah. Aku ingin bisa melihat cicitku. Seperti Amma, yang ...." Cantika tidak bisa meneruskan ucapannya. Meski ia merasa sudah ikhlas, tapi saat teringat kepergian kedua orang tuanya yang bersamaan, tetap saja ada rasa sedih yang tidak bisa ia hapuskan.
"Sayang, ikhlas, lagipula, kita sudah punya cicit dari Asila, dan Revan."
"Aku tahu, tapi aku ingin cicit dari cucu perempuanku. Aku juga sudah ikhlas, Bie. Tapi, aku tidak bisa menahan air mata, dan sesak di d**a, setiap kali teringat ...."
"Jangan menangis lagi, Cantika cantikku. Ayo kita ke kamar, masih ada waktu untuk beristirahat sebelum Maghrib."
Dengan dibantu Asifa, dan Soleh, Cantik bangkit dari duduknya. Soleh membimbing lengan Cantika masuk ke dalam kamar mereka. Aska, dan Asifa menatap kedua orang tua mereka.
"Semoga Amma, dan Abba, diberikan panjang umur, dan kesehatan, aamiin." Doa Aska.
"Aamiin."
☘️?☘️
Pulang dari sekolah.
Rara memarkir motornya di dekat gerobak Thai tea. Ia memesan Thai tea rasa original, lalu menuju gerobak bakaran. Sekarang, ia hanya menikmati bakaran, dan es Thai tea sendirian. Dan itupun, hanya saat sore hari setelah pulang sekolah, sebelum kembali ke rumah.
Rara duduk sendirian, di tempat di mana biasanya ia duduk bersama Revan, dan Asila.
'Rara rindu Abang, dan Acil. Kapan kita bisa duduk-duduk di sini lagi, seperti dulu.'
Rara menghabiskan bakaran, dan es Thai tea yang ia beli, baru ia pulang ke rumah.
Sampai di depan rumah Vanda, ia melihat Razzi, dan Rayen sudah menaiki motor mereka.
"Baru pulang, Ra?" Tanya Rayen.
"Iya."
"Kami pergi ya, Assalamualaikum."
"Walaikum salam." Rara menatap wajah teduh milik Razzi, tepat saat Razzi juga tengah menatapnya. Razzi tersenyum, lalu menganggukkan kepala. Hati Rara langsung berbunga-bunga.
Setelah Razzi, dan Rayen menjauh. Rara mendekati Vanda yang tampak tersenyum-senyum. Ia memulai misi penyelidikannya, siapa sebenarnya pria yang disukai Vanda, dugaan Rara mulai mengerucut pada dua pria yang baru pergi tadi.
"Hayo, senyumnya untuk siapa, nih? Kak Razzi, atau Mister Rayen?"
"Rara," Vanda mencubit lengan Rara. Rara duduk di kursi teras, diambil kue bolu di atas meja, ia masukkan ke dalam mulutnya.
"Menurut Kak Vanda, ganteng mana di antara Kak Razzi, dan Mister Rayen?" Tanya Rara dengan mulut masih terisi kue bolu.
"Tahu ah!" Wajah Vanda merona.
"Jawab dong!"
"Tidak mau!"
"Harus mau, kalau Kak Vanda diam saja, dia yang Kak Vanda suka tidak akan tahu. Rara siap menjadi Mak comblangnya, dijamin berhasil!"
"Iih, lupang sana, mandi, sebentar lagi Maghrib."
"Pulang!"
"Ehm, itu."
"Ayo jawab dulu, Kak Vanda." Desak Rara. Di dalam hati, ia berdoa, semoga bukan Razzi yang Vanda suka. Razzi, cinta pertamanya, cinta dari sejak ia bocah, remaja, hingga saat ini, dirinya beranjak dewasa.
"Kak Vanda?"
"Aku tidak mau jawab!"
"Ya, sudah deh. Kalau cowok yang Kak Vanda suka diserobot orang, jangan patah hati ya."
"Iih, Rara. Jangan didoakan begitu dong!"
"Makanya beritahu Rara. Biar Rara bantu mendapatkan cinta pujaan hati Kak Vanda."
"Tidak mau, cepat sana lupang, eh pulang, nanti diomeli Nini pulang kesorean."
"Iya, Rara pulang ya, Kak Vanda yang cantik, Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
Rara mengendarai motornya untuk pulang, rasa penasaran belum bisa ia singkirkan. Ia harap-harap cemas akan siapa yang disukai Vanda. Rara berharap, itu bukan Razzi, pujaan hatinya.
'Ya Allah, semoga bukan Kak Razzi yang disukai Kak Vanda, aamiin.'
Tiba di rumah, Rara langsung memarkir motornya di teras samping. Di sebelah motor Abbanya.
"Assalamualaikum," Rara memberi salam, rumah tampak sepi.
"Walaikum salam. Ninimu sakit, ini mau dibawa ke rumah sakit. Kamu mau ikut ke rumah sakit, atau di rumah saja?"
"Mau dibawa sekarang, Amma?"
"Iya."
"Nanti Rara susul saja ke rumah sakit. Rara harus mandi. Rara boleh melihat keadaan Nini sebentar?"
"Masuklah ke kamar Ninimu."
Bergegas Rara masuk ke dalam kamar Cantika.
Dilihatnya, Cantika yang terbaring lemah di atas ranjang. Sedang Soleh duduk di tepi ranjang.
"Nini.... " Rara berlutut di sisi ranjang. Digenggam jemari Nininya. Mata Cantika yang terpejam terbuka.
"Jangan nakal ya, Ra. Bantu jaga Kakakmu Vanda. Jangan minum es. Ingat pesan Nini ya."
"Iya, Nini. Semoga Nini lekas sembuh, biar bisa ngomel ke Rara lagi."
"Kamu ini.... " Cantika mencubit pipi Rara. Rara menggenggam jemari Nininya.
"Rara sayang Nini.... " Rara mengecup jemari Cantika. Air mata jatuh membasahi pipinya. Air mata Cantika jatuh juga, diusap lembut pipi cucunya. Ia menyayangi Rara, tapi terkadang sangat sulit untuk menahan diri tidak mengomeli Rara.
"Kita berangkat sekarang." Ujar Aska yang sudah menyiapkan mobil. Aska, Asifa, dan Rara membantu Cantika berjalan menuju mobil, sementara Soleh membuka lebar pintu mobil.
Mereka berangkat ke rumah sakit, tinggal Rara sendirian di rumah.
BERSAMBUNG