Rara, dan Vanda sedang menghadiri rapat Ikatan Pemuda Kampung Bungas di musholla. Mereka akan mengadakan acara perlombaan untuk memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.
Lomba dibagi dalam tiga kategori. Untuk anak-anak, bapak-bapak, dan ibu-ibu. Dengan berbagai lomba yang diusulkan oleh para anggota, dan pengurus.
Rara menatap Vanda yang duduk di sebelahnya. Ia menoleh, karena Vanda tidak terdengar tertawa, saat peserta rapat sedang tertawa, karena candaan salah satu peserta rapat.
Tampak tatapan Vanda fokus pada orang yang duduk di seberang mereka.
Rara mengikuti arah tatapan Vanda. Di seberang, duduk berjejer 5 pria yang sepengetahuan Rara, masih sendiri. Sedang yang lain sudah punya pacar, atau calon istri, bahkan sudah ada yang memiliki istri.
Yang pertama, Rahul. Lelaki keturunan India itu usianya sudah hampir tiga puluh tahun. Orang tuanya memiliki toko kain, dan aksesoris untuk pakaian. Seperti renda, dan manik-manik.
Yang kedua, Rama. Atau biasa dipanggil Koko. Usiaya sekitar dua puluh lima tahun. Ibunya keturunan Tionghoa, ayahnya orang Palembang. Ayahnya, memiliki toko elektronik di pasar. Ibunya memiliki toko roti, dan kue kering.
Yang ketiga, Razzi. Asli penduduk kampung mereka. Usianya, sekitar dua puluh empat tahun. Ayah, dan ibunya bekerja di perusahaan keluarga Ramadhan. Dan, Razzi sendiri juga ikut bekerja di tempat yang sama.
Yang keempat, Ramzi. Usianya dua puluh tiga tahun. Ayah, dan ibunya keturunan orang Arab. Mereka memiliki rumah makan dengan menu khas makanan Arab. Rumah makan mereka bekerja sama dengan peternakan milik keluarga Ramadhan. Mereka juga memiliki toko yang menjual berbagai cemilan khas Arab. Seperti kurma, air Zam-zam, dan kacang-kacangan.
Yang kelima, Rayen. Ibunya Indo - Amerika. Ayahnya orang Bandung. Ibunya, bekerja di sebuah tempat bimbingan belajar, sedang ayahnya, bekerja di salah satu BUMN.
Rara menatap lima pria serupa tampan, dan gagahnya itu. Dan, ia baru menyadari, kalau awalan nama mereka semua sama dengan dirinya.
'Hmmm, yang mana ya, yang akan jadi jodoh Rara, semuanya berawalan Ra. Rahul, Rama, Razzi, Ramzi, Rayen. Pas nih, seperti Aska - Asifa. Eh, tapi Rara sudah minta lamar sama Kak Razzi. Kak Razzi masih ingat tidak ya.... '
Rara kembali menatap Vanda, ia masih penasaran, siapa sebenarnya yang menjadi fokus tatapan Vanda.
Ingin bertanya, tapi ia yakin, sepupunya itu pasti tidak akan memberikan jawaban memuaskan untuknya.
'Hmmm, nanti deh, aku selidiki sendiri saja, siapa pria yang sedang ditatap Kak Vanda. Bertanya sama dia, pasti tidak akan memuaskan jawabannya.'
Sesekali Rara masih menatap Vanda, lalu menatap lima pria di seberang mereka, mungkin saja, dari lima orang itu ada yang membalas tatapan Vanda. Tapi, sampai rapat berakhir. Rara tidak menemukan jawabannya.
***
Rara baru pulang dari sekolah. Ia lewat di depan rumah Vanda. Ia melihat Razzi, dan Rayen, sedang bicara dengan Vanda di teras rumah. Vanda memang bendahara perkumpulan, sedang Razzi, dan Rayen, seksi perlengkapan. Tentu di antara mereka harus intens berkomunikasi, untuk kelancaran acara lomba memperingati HUT Kemerdekaan.
"Assalamualaikum," Rara menghentikan sepeda motornya di halaman rumah Vanda.
"Walaikum salam."
"Jam segini baru pulang, Ra?" Tanya Rayen.
"Aduh, Mister Rayen pakai bertanya pula. Ya jelas Rara baru pulang. Coba kalau Mister jemput naik mobil, pasti Rara sudah dari tadi sampai di rumah. Hujan, Mister, jadi Rara berteduh dulu, dari pada sampai di rumah diomeli Nini." Cerocos Rara.
"Telpon saja aku kalau minta dijemput," sahut Rayen sambil tertawa.
"Beneran atau cuma bercanda nih?"
"Serius, Rara."
"Jangan ah, nanti belahan jiwa Rara marah, ya nggak, Kak Razzi?"
"Haaah ... eh ... apa?"
Rara tergelak karena melihat Razzi yang tampak salah tingkah.
"Rara pulang dulu ya. Assalamualaikum."
"Walaikum salam."
"Rara itu beda sekali sama kamu ya, Vanda. Dia ceriwis, bawel, hiperaktif."
"Iya, dari kecil dia me ... memang sudah be ... gitu." Vanda sangat hati-hati bicara, takut kepeleset, dan jadi bahan tertawaan. Kadang, hal itu membuat dirinya merasa rendah diri, karena kekurangan yang ia warisi dari Ammanya. Ia tidak bisa masa bodoh seperti Ammanya. Ammanya, tidak perduli apakah dia bicara kepeleset atau tidak. Yang penting bicara saja. Ammanya yakin, orang lain pasti akan mengerti makna ucapannya.
Vanda melirik Razzi yang tengah menuliskan apa saja yang harus dibeli, beserta biaya yang harus dikeluarkan. Ia pernah mendengar candaan kedua orangtuanya, kalau dulu Ammanya jatuh cinta pada Abah Razzi, sebelum Abba, dan Ammanya bertemu.
Vanda juga pernah mendengar, cerita tentang masa kecil Nininya, yang sempat menjodohkan Nini Razzi, dengan Kai Bie-nya.
Vanda menggigit bibir bawahnya, rasa yang tumbuh di dalam hatinya untuk Razzi tidak bisa ia ingkari.
BERSAMBUNG