Jangan Pilih Aku

1050 Words
Aku menggeleng atas ajakan dan juga pertanyaan Prana, “Tidak ada. Hari ini, jam sepuluh saya ada kunjungan ke beberapa store, untuk nemenin tim audit buat periksa laporan keuangan dan juga memeriksa beberapa pekerjaan finance di tiap store. Karena setelah kejadian salah input yang menyebabkan kekacauan laporan keuangan, kemarin, aku harus lebih sering keliling dan koordinasi dengan semua finance, di seluruh toko. Kenapa, sih, harus banget nanti sian? Sekarang aja, deh, mumpung saya belum nyalakan komputer, penting gak, ada apa?” aku menuju ke mejaku, sambil mengelap meja menggunakan kanebo, lalu mulai memeriksa beberapa map berisi laporan harian serta mulai menyalakan komputer. Prana menunduk, dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku yang melihatnya seperti itu, penasaran, ada apa sebenarnya dengan makhluk ini “Ada masalah, Prana? Ada yang bisa saya bantu?” “Saya mau nikah, Tania,” tutur Prana. Matanya yang jernih menatap langsung ke dalam mataku, mau tak mau aku menundukkan wajah. Aku diam sejenak, ada rasa tidak rela kala mendengar penuturan Prana. Aku merasa sangat sedih, dan entah mengapa perasaan itu muncul. Harusnya aku bahagia saat teman mendapatkan kebahagiaannya. “Alhamdulillah, akhirnya jomlo di kantor ini berkurang satu.” Sekuat tenaga aku menahan getaran dalam suaraku. Kami baru saja bertemu beberapa waktu, dan aku baru saja menyadari ada rasa lain yang menyusup diam-diam kala dia mengungkapkan maksudnya untuk menikah. Dan rasa itu membuat diriku tidak nyaman. “Saya mau nikah sama Tania. Tania mau?” Demi mendengar ucapan Prana barusan, aku terperanjat hingga tidak sengaja menyenggol sesuatu, kopi panas tumpah ke segala arah dan mugnya belah. Dengan sigap Prana berdiri dia memeriksa apakah kopinya tumpah mengenai anggota tubuhku atau tidak. Dan dia terlihat sangat lega kala melihat kopi itu hanya membasahi lantai dan pinggiran meja. Aku menepis tangannya dan mengajukan pertanyaan kepadanya "Kenapa saya, Prana?" Aku gemetar, dadaku bergemuruh ketika Prana mengutarakan maksudnya ingin menikah denganku. Aku senang, tapi aku juga terkejut, tidak siap, bukan, bukan tidak siap, belum siap lebih tepatnya, mendapat pertanyaan seperti itu dari pria ini. "Memang apa yang salah sama kamu? Jika kamu setuju aku akan langsung mendatangi kedua orang tuamu. Dan aku sudah bilang kedua orang tuaku, mereka tidak masalah.” “Ah, Prana ngeprank saya, ya. Gak lucu, ah, Pak. Sudah sana, balik ke meja Bapak, karena saya mau kerja.” “Saya terlihat main-main ya, Tania? sudah saya bilang harusnya kita ngobrol sambil makan siang, jadi kesannya gak main-main. Tania, sejak pertama kali saya melihat kamu di Braga, saya sudah mantap ingin menjadikan kamu pendamping saya. Saya serius.” Aku tidak sanggup lagi menahan air mata. Yang aku ingat adalah kejadian kala lelaki pertama dalam hidupku melamar beberapa tahun silam dan aku menerima pinangannya dengan sukacita. Tidak pernah ada dalam benakku hal indah kala Abizar melamar akan berakhir di pengadilan agama beberapa tahun kemudian. “Tolong Prana, kamu jangan main-main.” “Sudah saya katakan saya serius, dan kenapa Tania menangis?” "Saya janda, sudah pernah menikah. Saya juga lebih tua beberapa tahun dari kamu, Prana. Saya gemuk, saya tidak cantik, banyak orang bilang saya judes, gak anggun seperti Banun, tidak cekatan seperti Yani, lima tahun menikah kemarin tidak memiliki anak. Saya gak tau apa yang menyebabkan hal tersebut, saya gak tau, apa saya sehat atau mandul atau kena penyakit apa?" "Ya Allah ... Tania. Hamil itu rezeki, urusan Allah. Mengenai Tania gemuk, memang ada masalah apa? Saya gak perduli, Saya butuh kamu. Saya sudah menetapkan pilihan bahwa kamulah yang harus jadi pendamping saya." Aku terisak dan aku tidak menemukan alasan kenapa harus menangis selain trauma yang aku rasakan dari pernikahan pertamaku yang kandas begitu saja. "Kamu bilang begitu karena belum ngalamin aja, Prana. Aku sudah, sudah merasakan perihnya juga, jalan ke nikahan teman mantan suamiku, mereka berbisik di belakangku, coba kamu bayangkan, ketika kita pergi ke acara temanmu. Apa kamu gak peduli, gimana tanggapan mereka. Sudahlah aku gemuk, tua, janda, gak ada bagus-bagusnya, Prana. Pergi, kamu harus lebih sering ikut kajian, keluar lihat dunia di luar sana, luas, besar, kamu akan ketemu dengan akhwat yang sesuai dengan yang kamu sering liat di web series favoritmu, cari yang sesuai dengan kriteria yang pernah kamu ceritakan pada kami." Aku melihat raut wajah Prana yang frustasi, dia menunduk lesu. Aku meraih tisu dan segera menghapus air mata sebentar lagi teman-teman pasti datang, tidak mungkin aku terlihat seperti ini oleh mereka. "Aku hanya minta satu, izinkan aku masuk, memperbaiki hatimu, aku gak tau apa aku mampu paling gak kasih aku kesempatan." Dia mengubah panggilan untuk dirinya dari saya menjadi aku. "Aku belum ada niat menikah lagi, tidak akan menikah lagi, lebih tepatnya. Entahlah, Prana, aku gak tau, aku bingung ...." "Jangan pernah bilang begitu, Tania. Aku hanya minta buka hatimu, izinkan aku masuk." "Dikunci, Prana. Kuncinya ilang entah di mana. Udah, deh, mendingan sekarang balik sana, cari jodoh yang bener. Aku bukan orang yang tepat, jangan sampai keputusan kamu bikin orang-orang kecewa. Bikin keluargamu malu, bikin masa depanmu hancur, karena salah memilih pendamping hidup." Sebisa mungkin aku membuat wajah ceria. "Muter, terus. Gak ada alasan lain apa?" Prana mulai kesal. "Banyak. Aku bukan janda kaya seperti Musdalifah. Bukan janda cantik seperti Arini dalam kisah n****+. Aku bukan siapa-siapa yang bahkan mungkin tidak dapat memberikan kamu kebahagiaan. Hanya bikin malu. Gendut, gak bisa ngasih keturunan, gak punya apa-apa yang bisa dibanggakan." "Tan .... " Gumam Prana lirih. "Aku mau kerja sebentar lagi harus pergi ke store bareng tim audit. Semoga kamu dapet pendamping yang benar-benar ideal dan bisa membahagiakan kamu dengan memberikan keturunan, generasi yang sholeh, sholehah." "Apa yang terjadi di masa lalu hingga kamu benar-benar sulit untuk diraih, Tania," bisik Prana, ucap lelaki itu dengan lemah dan menunduk, sambil berlalu dengan langkah gontai. Aku tidak dapat menebak apa yang dia rasakan. Dan aku tidak dapat menjabarkan apa yang hatiku inginkan. Mendengar Prana ingin menikah hatiku merasa tercubit, tetapi kala pria itu mengutarakan keinginannya untuk menikahiku aku tak dapat menerima dia begitu saja. Suara alas kaki bergema kala beradu dengan lantai keramik. Prana meninggalkan aku bersamaan dengan datangnya Yani dan Banun dari arah pintu masuk. “Loh, Mbak, kenapa nangis?” tanya Yani. “Tadi kami juga berpapasan sama Pak Prana barusan, mukanya kusut banget. Ada apa, Mbak?” Banun penasaran. Aku menggeleng dan bilang "Gak ada apa-apa, aku baik-baik saja." kepada mereka, lalu memilih berjongkok untuk membereskan semua pecahan mug yang berserakan di lantai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD