Rindu di Sepertiga Malam

1005 Words
Terbangun pada pukul tiga dini hari, adalah suatu hal yang sudah biasa sejak sekolah di bangku menengah pertama aku lakukan. Awalnya memang berat, tapi Bapak selalu rajin membangunkan aku dan Ibu untuk tahajud berjamaah, “Kalo mau sukses dunia akhirat, bahagia dan diringankan semua beban dan pekerjaan, kerjakan tahajud. Selain itu, tahajud memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki salat-salat lainnya. Siapa yang rutin dan membiasakan diri mengerjakan tahajud, Allah jaminkan surga baginya.” Nasihat itu selalu aku ingat hingga saat ini. Rasanya ada yang kurang jika sekali saja aku tidak melaksanakannya. Ada kelegaan rasa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata, ketenangan yang tidak biasa, ketika menjalankan sunnah di sepertiga malam yang hening ini, membuatku merasa semua beban yang memberatkanku akhir-akhir ini, yang membuatku resah dan penuh cemas, bisa aku tumpahkan di atas hamparan sajadah, menghadap Allah maha segala. Setiap lantunan doa, runtutan kata, dan rapalan banyaknya kesalahan juga dosa, juga menghitung nikmat yang Allah turunkan hingga saat ini. Tidak hanya untukku, untuk keluargaku, bahkan untuk semua umat manusia di seluruh penjuru dunia. Tidak dapat kubendung juga, kurasakan perlahan, air mata menetes satu per satu di pipi, lalu tangisku pecah kala mengingat betapa kecil diriku dan tidak terhitung dosa yang aku perbuat selama ini. Hanya kepada Allah aku memohon ampunan dan hanya kepada-Nya pula aku menggantungkan semua hidup dan matiku, harap dan doaku, mimpi dan cintaku. Cinta? Lima Kata ajaib yang sudah beberapa tahun ini aku hindari, kecuali cinta untuk Ibu dan Bapak, kedua sosok yang hingga detik ini selalu menjadi pendongkrak semangat paling hebat. Yang selalu menjadi sumber kekuatan ketika kaki hampir menyerah untuk melangkah, ketika kepala hampir meledak karena masalah. “Sudah makan, Mbak?” pertanyaan itu yang selalu ditanyakan Bapak duluan. Setelahnya baru menanyakan pekerjaanku, apakah aku sehat, ketika kami ngobrol via telepon. Pernah suatu waktu, aku bertanya ke Bapak, kenapa setiap aku nelepon, pertanyaan itu yang selalu ditanyakan duluan sebelum menanyakan pertanyaan lain, dan jawaban Bapak selalu kuingat sejak saat itu sampai hari ini, “Makan itu senjata kita buat menghadapi hari. Kalo gak punya uang, tapi masih bisa makan, tandanya kamu sudah jadi orang kaya, Nak. Makan juga bisa membuatmu sehat dan menjagamu dari sakit. Sehat adalah harta paling hebat dan paling berharga.” Yang masih selalu kuingat juga dari mereka berdua adalah betapa suara lembut Bapak dan Ibu yang selalu terngiang, betapa aku merindukan mereka. Dalam sujudku, terbayang wajah Ibu dan Bapak di kampung. Aku satu-satunya anak perempuan yang merupakan kebanggaan mereka. Tapi hati keduanya sudah aku kecewakan, sudah aku sakiti. Karena perceraianku dengan Abizar lah yang merupakan satu-satunya kekecewaan yang menorehkan luka pada batin mereka. Sudah beberapa bulan ini, aku belum sempat pulang ke kampung. Selain karena pekerjaan yang memang belum berkurang juga, tanggung jawabku juga lumayan besar. Rasanya sungkan, kalo harus meninggalkan pekerjaan, ambil cuti di luar hari raya atau ada libur panjang. Pekerjaan memang selalu jadi prioritas utamaku, karena memang hanya ini tempat aku mencari rezeki. Walaupun sebenarnya aku memiliki impian memiliki toko kue sendiri, aku suka baking, aku suka kopi. Di kostan, jika tidak ada kerjaan atau sedang ingin ber-eksperimen, aku suka meracik kopi sendiri. Mencampur beberapa bahan untuk aku uji cobakan demi mendapatkan formula rasa kopi yang unik, berbeda dengan yang lain. O iya, aku juga sudah menyimpan beberapa resep kopi yang menurutku enak, sebagai bekal, jika kelak aku diberi kesempatan oleh Allah untuk punya kafe sendiri. Teringat akan perceraian yang aku alami, dengan kekecewaan yang aku toreh di hati Ibu dan Bapak, karena alasan itu juga, pernyataan Prana tempo hari membuatku enggan untuk memulai kembali. Ajakan dan tawaran menikah, sejujurnya bukan yang pertama kali datang. Prana adalah orang ke-sekian yang menawarkanku untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga. Tapi, demi mengingat ekspresi kekecewaan di ajah dan mata Ibu dan Bapak, aku harus berpikir ratusan bahkan ribuan kali, sebelum menerimanya. Satu kali mengecewakan orang tua dan membuat luka menganga dalam hatiku sudah cukup. Jangan ditambah lagi. Usai subuh, aku berganti pakaian lalu memakai sepatu olahraga dan mulai berlari keliling komplek. Kegiatan yang hanya bisa aku lakukan seminggu sekali. Cinta? Lima kata ajaib ini juga yang mampu meluluh lantakan semua impian dan harapan akan pernikahan idaman yang sudah aku susun secara sempurna. Entah siapa yang salah, entah bagaimana ceritanya, atas dasar cinta aku dan mantan suamiku menikah, dan atas dasar sudah tidak ada cinta lagi, kami berpisah. Semudah itu kami meng-kambing-hitam-kan cinta. Semudah itu rupanya, cinta bisa datang lalu lenyap seketika. * "Mbak, kok baru keliatan lagi," sapa Teh Dewi, seorang tetangga luar kostan yang biasa jualan bubur ayam di pinggir jalan. "Minggu kemarin mendung, Teh. Jadi mager. Buburnya setengah ya, Teh. Pakai ati ampela sama sate telor puyuh."aku mengangguk dan menjawab pertanyaan Teh Dewi. Lalu duduk dan menunggu untuk buburku dibungkus, karena aku berencana untuk membawa bubur pesananku ke kamar indekos. Ketika selesai dibungkus, membayar pesananku, berupa bubur ayam lengkap, sate usus dua tusuk, satu ati ampela dua tusuk, dan es teh tawar satu bungkus, “Semuanya dua puluh lima ribu, Mbak.” Ucap Teh Dewi. Aku mengangsurkan uang lima puluh ribuan, dan setelah mendapatkan kembaliannya, lalu bergegas untuk kembali ke kostan dan bersemangat untuk menyantapnya. Setelah sampai kostan, aku membuka sepatu dan mengganti pakaian olah ragaku ke daster, baju paling nyaman. Lalu mulai menyantapnya bubur ayam tersebut sebelum dingin. Aku tim bubur diaduk, by the way. Jangan di-bully, ya. Cara makan itu, kan, beda orang beda seleranya. Sesendok dua sendok, nikmatnya bubur masuk ke mulut dan melewati kerongkonganku, aku melihat dari sudut mataku, gawai yang aku letakkan persis di samping televisi menyala. Rupanya ada panggilan masuk, nada deringnya tidak terdengar karena aku lupa mengubahnya dari mode diam. Tadinya aku tidak berniat untuk menjawab panggilan tersebut, karena aku ingin menikmati bubur ayam ini tanpa gangguan. Tapi akhirnya aku putuskan untuk mengambil gawai tersebut. Tiga panggilan tak terjawab, nama Prana tertera di layarnya. Hatiku menghangat, tetapi sebisa mungkin aku menghindari lelaki itu. Biarlah aku memendam perasaan seorang diri. Karena aku sadar diri sedikit pun tak pantas mendampingi lelaki itu. Aku memilih untuk membalik layarnya menghadap ke bawah agar aku tidak perlu melihat beberapa panggilan lagi yang Prana lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD