Berat Ya Allah

1220 Words
Ketika aku sedang merasakan sakit hati karena ucapannya barusan, tiba-tiba dia bangkit dari duduknya, senyum ke arahku, dan bilang “Kantin dulu, yuk, ada siomay enak. Tapi bayarin aku, ya, kamu tau, kan aku lagi gak ada uang.” Lalu dengan sedikit memaksa, Abizar menarik tanganku agar aku berdiri, kemudian menggamit lenganku, menyeretku menuju kantin rumah sakit yang terletak di ujung dekat dengan Paviliun. Ini yang selalu membuatku bingung, Abizar seperti memiliki banyak kepribadian. Kadang lelaki ini begitu manis seperti sekarang ini, membawaku ke kantin, memesankan Siomay dan bahkan dia yang menyiapkan tempat dudukku. Ya, meskipun memang semua yang dipesan dan kami makan ini aku yang akan membayarnya, tapi, karena sikapnya aku jadi luluh lagi, rasanya hilang, kekecewaan dan sakit hati yang barusan tadi dia torehkan di hatiku. Iya, semudah itu, kok, membuatku bahagia. Aku rela mengesampingkan sedih, sakit, dan kecewa, hanya dengan mendapatkan perhatian dan sayang dari Abizar. Call me wanita murah, gak apa-apa, bahkan banyak sudah aku menerima kata-kata dan kalimat semacam, “Bodoh, kamu, Tan, masih aja bertahan sama Abizar yang udah jahatin kamu begitu.” Di lain waktu ada lagi yang bilang aku dicuci otaknya, “Kamu itu, dipelet sama Abizar. Heran, udah sering disakitin gitu, gak hanya disakitin Abizar, loh, keluarganya juga sering banget gak menganggapmu, sering berkata jahat dan nyinyir ke kamu, tapi kami diam saja.” Iya, sudah banyak aku mendengar masukan dan saran untuk berpisah dengan Abizar, tapi aku tolak. Aku akan mempertanggung jawabkan semua pilihan yang aku ambil untuk hidupku, termasuk menerima lamaran Abizar dan menikah dengannya. Abizar, si lelaki dengan banyak kepribadian ini, dia menungguku menyantap suap demi suap siomay. Membiarkan saos kacang yang gurih menyapa lidahku, rasa ikan yang begitu kuat memberikan rasa nikmat yang disempurnakan oleh harum jeruk yang menyegarkan. Tidak lupa kububuhkan dua sendok cabai. Tidak ada ucapan menyakitkan, tidak ada ucapan mengejek, tidak juga ada ucapan menohok hati, dia menatapku, seolah memuja wajahku, seolah ada yang menarik di sana, sambil tersenyum. “Makan pelan-pelan.” Ibu jarinya mendarat di sudut bibirku, membersihkan saus kacang yang sedikit belepotan. Aku terkejut, Abizar melakukan ini kepadaku, sungguh suatu hadiah yang luar biasa. “Terima kasih.” Ucapku, seraya tersenyum, Allah, andai saja dia bersikap manis seperti ini setiap hari, aku rela, dijahatin, bahkan dihujat, dan tidak dianggap oleh keluarganya sekalipun. Asalkan dia bisa melindungiku dan membuatku merasa dihargai dan disayang seperti ini. Abizar terus menungguku hingga makanan ini tandas, lalu dia menyodorkan segelas teh hangat yang menyegarkan. Laparku hilang dan hati beneran senang. Namun, rasa senang karena perlakuan Abizar barusan ibaratnya hanya makanan pembuka. Kejutan lain menantiku. Setelah selesai makan di kantin dan membayar semuanya, aku dan Abizar memutuskan untuk mampir sebentar ke toko yang ada di depan rumah sakit, “Beliin yang nunggu Ibu makanan, yuk, Tan. Kasian, kalo mereka kelaperan malem-malem.” Aku mengangguk, aku mengikuti apa yang jadi kehendaknya. Dan ketika urusan kami selesai, aku dan Abizar kembali ke kamar. Seperti masuk ke dalam ruang penghakiman, keluarganya menyambutku dengan menatap sinis ketika aku masuk kamar rawat inap Ibu, “Kemana aja, sih. Lama banget, kasian ini Ibu sendirian.” Puspa, kakak iparku langsung memberondongku dengan ucapan menohok itu. Abizar langsung menaruh makanan yang tadi kami beli, “Dari nganter Tania makan di depan, sekalian beliin ini, untuk yang nanti malam jaga. Biar gak laper kalo malem-malem nyari makanan.” Dengan tatapan sama seperti tadi, sini, Puspa menyauti ucapan Abizar, “Manja banget, makan aja kudu diantar. Gak bakal diapa-apain juga sama orang, gak bakal ilang juga, kalopun hilang, ya pasti bakal cepat ketemu.” Sambil melihat ke arahku. Aku tau ucapan itu mengartikan bahwa kalopun aku hilang, pasti bakal cepat ketemu, soalnya badanku gemuk, gak bakal bisa bersembunyi di mana-mana. Dan dari sekian orang yang ada di ruangan itu, hanya Raudhah yang memberi senyum dan menjawab salamku, selebihnya menganggapku sebagai orang asing atau bahkan tamu tak diundang. Dua jam lebih aku menunggu Ibu. Ketika magrib tiba, semua mereka pamit, aku bertanya ke Abizar dengan berbisik, “Ini kita nginep di sini, Bi?” Abizar mengangkat kedua bahunya, menandakan dia gak tau. Lihatlah, untuk memutuskan kami menginap di rumah sakit atau pulang saja, dia gak bisa, “Tunggu apa kata Puspa aja.” Aku menarik napas dalam, padahal tubuhku sudah lelah, mau mandi, ingin istirahat. Dan ketika aku kira ketika semua saudara Abizar pamit makan malam, aku bisa sedikit memberikan perhatian pada Ibu yang kini terbaring lemah. Nyatanya tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan. Malah, satu sayatan lagi ditorehkan wanita itu kepadaku. Aku menghampiri ibu yang kelihatannya seperti kegerahan. Dia menepis tanganku, “Tolong panggilkan Raudhah, Ibu mau ganti baju.” Aku yang mencoba mengambil hatinya, mendekatinya dan menawarkan “Biar Tania aja, Bu. Tania juga bisa, lagipula Kak Raudhah lagi makan malam.” Sekali lagi Ibu menepis tanganku dan berkata dengan ketus, ”Gak usah, panggil Raudhah saja, Ibu mau sama dia. Kalo dia masih makan malam, nanti saja, tunggu dia.” Lalu Ibu membuang muka, melihat ke arah lain, dan meninggalkanku dengan tersenyum getir. Salahku sendiri karena jelas-jelas Ibu tidak pernah menyukaiku, mau sekeras apa pun usahaku, Ibu tidak akan pernah mau menerimaku. Aku jadi menyesal, tahu akan seperti jadinya, aku biarkan saja tadi, lebih baik aku pamit pulang aja tadi, sekalian, biarkan Raudhah saja yang di sini. Karena permintaannya tidak bisa lagi dinanti-nanti, karena Ibu berulang kali menanyakan Raudhah, “Rauhdah udah datang?” Maka aku bilang ke Abizar untuk menunggui ibunya di sini, “Tunggu di sini, Bi, biar aku cari Kak Raudhah.” Lalu bergegas keluar dan kutinggalkan Ibu bersama Abizar, berdua saja untuk keluar mencari Raudhah, satu-satunya menantu yang dia anggap ada. Menantu yang selalu dibangga-banggakan ke mana pun dia pergi, menantu yang sudah memberinya cucu, bisa mengurusnya, dan bisa membelikan apa yang dia mau. Apalah aku dibanding Raudhah, udahlah pekerjaan hanya pegawai biasa, gaji kecil, gak pernah bisa memberi Ibu uang yang banyak, dan sampai sekarang belum juga bisa memberikannya cucu.  Setelah bertemu dengan Raudhah dan keluarga Puspa, aku nyamperin mereka dan mendekat untuk memanggil Raudhah, “Kak, Ibu nyariin terus dari tadi, Kakak udah makannya?” Puspa malah menimpali ucapanku dengan menyakitkan hati, “Deuh, masa baru juga ditinggal sebentar, masa udah nyariin aja sih. Emang kamu gak bisa, Tan, jagain Ibu, gantiin bajunya atau pampersnya? Harus Raudhah aja?” aku menekan emosiku, mencoba menarik napas sedalam mungkin, berusaha agar suara yang keluar dari mulutku tidak kasar, “Bukan enggak bisa, Mbak. Tapi Ibu gak mau dipegang aku. Kalo mau, aku pasti yang gantiin baju Ibu, gak harus ngerepotin Kak Raudhah terus.” Puspa tersenyum, mengejek, “Gak harus ngerepotin Raudhah terus? Tan, menantu itu, gak boleh ngerasa direpotin sama mertua. Jangan-jangan selama ini, kamu memang gak tulus ngurus Ibu, makanya Ibu juga bisa ngerasain, makanya Ibu hanya mau dijaga sama Raudhah.” Aku diam, kemudian tidak lama Raudhah bangkit, dan berjalan ke kasir, tapi dicegah Puspa, “Gak usah bayar, Dek, biar Mbak aja yang bayarin.” Lalu dia mengangguk dan menggamit tanganku, “Sabar, ya, Tan. Puspa memang begitu, kita dianggap bisa diinjak seperti ini, karena kita tidak se-kaya dia. Anggap saja semua yang kamu rasakan itu sebagai tabungan pahala untukmu, kelak, untuk kita.” Aku mengangguk, ada bulir bening jatuh di sudut mataku, aku beristighfar, “Berat ya Allah.” Gumamku dengan pelan, sementara Raudhah mengencangkan genggaman tangannya, seolah ingin memberikan dan mengaliri kekuatan kepadaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD