Episode Mengenaskan

1135 Words
Sepanjang perjalanan menuju ke kostan, suara merdu Adele terdengar dari gawaiku, diikuti getaran yang membuatku cukup merasa terganggu karenanya. Prana calling, tertulis namanya pada identitas pemanggil. Rasanya malas, ada apa dia meneleponku? Untuk apa dia nelepon? Mau berargumen? Mau memberikan banyak alasan? Mau memberikan bantahan? Mau menjelaskan apa, mau bicara apa? Aku yakin ini ada hubungannya dengan urusan dia membatalkan janjinya denganku tadi dan justru memilih untuk pergi dengan Banun. Konyol banget rasanya, kenapa bisa, pria ini, pria yang sebenarnya tidak masuk dalam hitungan list pria-pria yang akan aku pilih, jika satu saat aku akan memutuskan untuk menikah lagi. Tidak ada yang istimewa dari dia, Prana hanya lelaki muda biasa, hanya saja, senyumnya itu, ah ... Bodoh kamu, Tan. Kamu tadi yang bilang tidak ada yang istimewa dari Prana, tapi barusan kamu mengagumi senyumnya, dasar Tania bodoh, rutukku sendiri. Tapi aku yakin, rasanya apa pun ucapan dan alasannya sudah tidak penting karena bukankah aku ini orang lain baginya. Kubiarkan telepon terus berdering, tidak aku pedulikan. Kejadian ini mengingatkanku pada masa lalu, tidak ada hubungannya memang. Namun, rasanya jadi seorang wanita kok ngenes amat. Sering kali dijadikan kambing hitam karena ulah lelaki, sering jadi bahan omongan karena ulah lelaki, tidak punya anak, wanita yang disalahkan, lelaki selingkuh, wanita yang disalahkan, sampai ketika bercerai pun, meskipun alasannya sudah jelas lelaki yang melakukan hal yang tidak baik kepada wanita, tetap saja wanita yang akan disalahkan. Aku rasa, kalo bisa menyalahkan kenapa pelangi tidak ada warna hitamnya, wanita juga akan disalahkan. Lalu pesan dari Prana masuk, “Tania, aku tahu itu kamu, tolong angkat teleponku.” Aku tidak menggubrisnya dan memilih sejenak memejamkan mata. Aku ingin sebentar saja meredam d**a yang sedang bergemuruh, biarlah, aku abaikan dulu semua ini. Terserah, Prana mau berpikir apa tentangku, toh dia juga tidak pernah berpikir tentang apa yang terjadi pada hatiku, dia tidak berpikir akan efek yang dia lakukan terhadap perasaanku. Tapi tunggu, kemudian aku tersadar, aku memukul kepalaku sendiri, “Sadar, Tan. Prana bukan siapa-siapamu, ngapain repot-repot mikirin ini itu.” Lalu aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mencoba mengusir bayangan Prana dan mengusir senyumnya. *** Sakit hati adalah hal yang tidak asing lagi bagiku, bagi diriku. Sejak dulu, ketika masih berstatus menjadi istrinya Abizar, sakit hati merupakan makanan sehari-hari. Saking seringnya rasa sakit itu, rasanya masalah apa pun yang berkenaan dengan tidak kesakitan, kekecewaan, kemarahan, dan emosi sudah tidak mampu membuat air mata ini luruh. Aku teringat, kejadian beberapa tahun silam, ketika itu perempuan yang terpaksa aku sebut ibu, terbaring lemah di rumah sakit. Kenapa terpaksa? Ya, karena anak lelakinya, Abizar, menikahiku. Abizar terus-terusan memintaku untuk datang secepatnya padahal aku masih banyak kerjaan, bos tempatku bekerja kali ini sangat tidak menyenangkan. Pernah suatu hari, aku benar-benar tidak sanggup bangun, karena vertigoku kumat. Orang kebanyakan, akan menanyakan hal seperti, “Sudah ke dokter?” atau “Kamu sakit apa?” ooo … tentu saja tidak, pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh bosku adalah, “Kapan kamu sehat, kapan bisa masuk kerja?” seolah aku Tuhan, yang tau kapan aku sehat, seolah sakit ini aku yang menciptakan dan aku juga yang bisa menyembuhkan. Kembali ke urusan mantan mertua, pada kenyataannya kehadiranku benar-benar tidak dibutuhkan. “Ibu masuk rumah sakit.” Abizar memberitahuku. “Jangan sore-sore pulangnya, sebaiknya kamu ke rumah sakit segera, gak usah kerja.” Aku mencoba untuk membuat Abizar mengerti kondisi pekerjaanku, “Aku dah keseringan bolos, Bi. Tapi nanti sore, jam pulang kerja aku akan langsung ke sana deh. Gak ada lembur, kok, hari ini.” Ucapku dengan hati-hati. Lalu mengambil barang-barang yang hendak dibawa ke kantor. Barang bawaan cukup banyak karena aku membawa beberapa berkas yang dikerjakan di rumah semalaman. Ingin rasanya mendengar Abizar menawarkan bantuan membawa barang itu walau sampai depan rumah. Tapi itu satu hal yang mustahil, mengharapkan Abizar membantu pekerjaan rumah atau membantuku membawakan sesuatu adalah hal yang sungguh langka. Ketika aku sedang berjibaku dengan waktu agar tidak terlambat, sambil ngecek handphone melihat sudah sampai mana driver ojol yang aku pesan, Abizar berkata, dengan suara yang kecil, tapi masih bisa aku dengar, “Dibilangin gak pernah nurut deh, kamu. Pantas saja ....” “Apa?” aku memotong perkataannya. Lelaki itu diam sejenak, aku bisa mendengar dia mendengkus keras-keras. Dalam hati aku berhitung, karena biasanya pada hitungan ketiga dia pasti marah dengan sumpah serapahnya. Hal yang sudah biasa aku dengar, sudah biasa aku nikmati saja, karena ini sudah jadi kebiasaan barunya, sejak dia menikahiku. Meski pada akhirnya yang aku dengar bukan kemarahan dia. Aku bersyukur dan bisa bernapas dengan lega. Walau sejenak. “Terserah kamu saja, pulang kerja langsung ke rumah sakit, inilah saatnya kamu tunjukkan bakti sebagai menantu yang baik.” Betapa bencinya aku ketika mendengar kata menantu. Karena pada kenyataannya aku bukanlah menantu yang diharapkan oleh ibu mertuaku. Apa pun yang aku lakukan selalu salah di matanya. Aku memilih pergi secepatnya, melesat meninggalkan rumah dengan membawa perasaan, sebal mungkin. Dalam hati terus-terusan merutuki suami sendiri karena perkataan terakhirnya. Seolah-olah aku ini bukanlah menantu yang baik dan tidak berbakti pada mertua. Jika mau hitung-hitungan berapa banyak yang sudah aku korbankan dan keluarkan untuk keluarga Abizar, untuk ibunya. Semua pekerjaan kantor akhirnya selesai sebelum petang. Sampai waktu istirahat untuk makan siang pun aku korbankan, aku memilih untuk menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat, agar aku tidak perlu keluar dari ruangan ini lebih sore, seperti biasanya. Walau bagaimanapun aku tetap harus pergi ke rumah sakit. Dengan dalih menjaga mertua yang sedang sakit, yang padahal keberadaanku tidak pernah diperhitungkan, tidak pernah dianggap. Jika tidak, habislah sudah. Meski ini pun aku berusaha menata hati terlebih dahulu, mempersiapkan hati dan telingaku untuk menengar ucapan yang tidak menyenangkan. Pasti banyak hal yang akan aku dengar, dengan kata-kata yang dibuat sok manis, tapi menusuk jiwa. Termasuk nyinyiran kakak ipar. Setelahnya, aku memaksakan diri, melangkahkan kaki keluar dari kantor dan menuju ke rumah sakit menggunakan angkutan umum, biar hemat. Sekitar setengah jam, aku sampai di rumah sakit tempat ibu mertuaku dirawat. Menyusuri lorong rumah sakit bau alkohol, obat-obatan juga pembersih lantai lebih dulu menyapaku. Perawat berseragam hijau hilir mudik, pun dengan dokter. Mereka tengah sibuk mempertaruhkan separuh hidupnya untuk menolong sesama. Dari kejauhan aku melihat Abizar duduk di kursi panjang yang disediakan pihak rumah sakit di depan kamar rawat inap. Melihatnya seperti itu aku merasa kasihan, mungkin dia kelelahan, apa dia sudah makan? Karena meski bicaranya memang nyebelin, lelaki itu sebenarnya baik. Sayangnya terlalu nurut pada kakak ipar bahkan seakan berkonspirasi untuk memerangiku. Aku menyapanya dan memberikan salam, “Assalamualaikum,” ucapku seraya meraih tangannya dan menciumnya takzim. Walau bagaimana pun baktiku sebagai istri tetap aku tunaikan. Bukan jawaban dari salamku yang aku dapat, justru sentakan yang mengagetkan, “Sore amat! Sudah makan?” tanya Abizar, menelisik diriku dari ujung jilbab hingga ujung kaki. Aku membalasnya dengan gelengan, lalu duduk di sebelahnya. Memang benar, terakhir makan waktu sarapan tadi pagi. Semangkuk soto tidak dapat mengganjal perutku hingga sore tiba.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD