Awas Gendut

1600 Words
Sama perjalan pulang, aku diam. Abizar yang beberapa kali mengajak aku bicara, aku jawab seperlunya. Di kepalaku masih penuh dengan pertanyaan mengenai perlakuan kakak dan kakak iparnya, juga keponakan-keponakannya, juga ibunya terhadap Abizar tadi. Kenapa kok mereka bisa selancang itu, terutama kedua keponakannya itu, yang tua, Andra dan Celine, kedua anak Kak Puspa. Kenapa mulutnya lancang sekali, dengan bahasa santai elu-gw ke omnya, belum lagi, Celine, masa iya, udah segede itu makan harus disediakan di meja, disiapkan juga piring, garpu, sendok, sampai ke gelas dan minumnya, dan itu sama omnya, bukan sama asisten rumah tangga. Sebenarnya aku mau menanyakan ini ke Abizar, tapi, sepertinya dia sedang bahagia, karena berhasil membawaku ke rumahnya, “Ibu memang gitu, Tan. Dia tipe orang tua yang kaku, kalo ngomong suka terkesan judes, padahal sebarnya hatinya baik, sangat baik bahkan.” Aku hanya mengangguk, semua informasi dan apa yang barusan aku alami ini benar-benar baru, karena memang, seperti yang aku utarakan ke ibunya Abizar, bahwa sebelumnya aku tidak pernah seserius ini menjalin hubungan, tidak pernah sampai ke tahap mengenalkan aku ke keluarga. Jadi, aku masih bertanya-tanya, apakah yang barusan aku alami ini memang normal atau gimana?  Ketika aku sedang memikirkan ini, melamun, sih, lebih tepatnya, ketika di lampu merah, Abizar mengambil tanganku, dan menggenggamnya. Lalu mengecup tanganku itu, “Kamu udah yakin banget, kan, Tan, gak akan mundur. Aku udah membayangkan, bagaimana bahagianya kehidupan kita, kelak.” Aku yang tadinya sedang menyenderkan kepalaku ke kaca jendela, berbalik, menghadapkan wajahku ke Abizar, dan mengangguk. Lalu, sebelum aku berkata apa-apa, dia mengecup bibirku. Aku terkejut, “Ih, malu, Bi, diliatin orang.” Dia hanya ketawa, “Gak bakal keliatan, jangankan hanya kecup gitu, kita ngapa-ngapain juga gak bakal ada yang lihat dari luar, ini kaca filmya gelap, kok.” Dia mengerling ke arahku. Aku ketawa, sambil mencubit lengannya, “Ngaco. Belum halal, tau. Gak boleh ngapa-ngapain.” Dia berseloroh, “Ah, kamu kan udah jadi calon istriku.” Aku lalu menjawab ucapannya, “Baru calon, inget, baru calon. Lagian, kamu belum secara resmi, loh, melamarku ke orang tuaku. Belom ada tanda apa-apa, bisa aja habis ini kamu ngilang, ninggalin aku, kan aku gak bisa apa-apa juga.” Abizar menepikan mobilnya, lalu menatap wajahku, “Aku gak bakal ninggalin kamu. Aku juga belum pernah serius, seserius ini dengan wanita manapun, dan belum ada perempuan yang aku kenalkan ke Ibu dan dibawa ke rumah.” Aku menggeleng, “Halah, bohongmu, Bi. Itu tadi, kata Kak Puspa, mantan calon istrimu yang terakhir, kalo ke rumah bawaanya lebih banyak dari yang aku bawa.” Abizar diam. Mungkin dia sedang mencari celah untuk menjawab ucapanku, sedetik dua detik, dia diam tapi tatapannya lurus menatap ke wajahku, lalu lama-lama, mendekat, aku bisa merasakan hembusan napasnya, dan dia kembali mengecup bibirku, lama, aku hanyut dalam suasana itu. Kami baru berhenti melakukannya, ketika handphoneku berbunyi, nama Ibu tertera di sana, “Bi … Abizar, berhenti dulu. Ini Ibu nelepon.” Lalu dia melepaskanku dan aku menjawab telepon Ibu, “Iya, Bu. Ini sudah di arah jalan pulang, mungkin lima belas menit lagi sampai. Iya, aku diantar Abizar.” Setelah selesai, aku menutup telepon dari Ibu, dan mendengar Abizar mengatakan hal yang benar-benar sukses membuatku meleleh, “Bibirmu kok tambah manis, sih, Tan. Semanis senyummu.” Lalu mencubit pipiku, dan dia kembali menjalankan mobilnya. Aku yang masih terkesan dengan ucapan Abizar, seperti dibawanya melayang ke langit, bukan, bukan ke langit ke tujuh, sih, masih di langit tingkat dua, tapi itu saja juga sudah cukup membuatku bahagia. Sesampainya di rumah, Abizar mengantarku ke dalam, karena dia bilang mau bertemu dengan Bapak dan Ibu, “Tan, aku mau ketemu Ibu dan Bapak, ya, mau ngomong mungkin lusa, aku dan keluargaku ke sini untuk melamarmu.” Aku terlonjak, “Hah, lusa? Gak salah, Bi? Gak kecepetan?” Abizar menggeleng, “Gak donk, aku emang mau cepet-cepet ngelamar kamu, biar kamu gak diambil orang, biar bibirmu hanya boleh aku yang merasakan manisnya, dan semua yang ada di dirimu, di tubuhmu, itu hanya punya aku.” Aku mengangguk, “Siap, kapten. Yuk, masuk.” Aku bilang ke Abizar untuk menunggu di ruang tamu, sementara aku memanggilkan Bapak dan Ibu di dalam. “Pak, Bu, ada Abizar di ruang tamu, dia mau membicarakan sesuatu.” Ucapku pada Bapak dan Ibu. Lalu aku, Bapak, dan Ibu ke ruang tamu, “Jadi, ada apa ini, Bi? Gimana tadi, ngobrol sama keluargamu, Tania diterima dengan baik?” Bapak membuka percakapan itu. Abizar dengan wajah percaya diri, menghadap ke Bapak, “Keluarga saya sudah oke dengan semuanya, Pak, tadi juga berjalan lancar, alhamdulillah, berkat doa Ibu dan Bapak.” Kemudian Abizar menjeda omongannya, “Maksud saya menghadap Bapak dan Ibu ini, mau mengabarkan bahwa lusa, hari Jumat, sekitar pukul empat sore, habis asar, saya dan keluarga akan ke sini untuk melamar Tania, Pak, Bu.” Aku melihat wajah Bapak yang agak terkejut, “Walah, cepet banget. Kalian sudah yakin? Tapi itu hanya lamaran, kan, nikahnya gak dalam waktu dekat?” Abizar mencoba melihat ke arahku, mungkin dia ragu, meminta persetujuanku, bahwa kami akan menikah dalam waktu dekat, aku mengangguk, tanda setuju dengan apa yang sudah kami bicarakan di mobil tadi. Setelah menjeda beberapa saat, Abizar kembali buka suara, “Saya dan Tania sudah sepakat, Pak. Setelah lamaran, dua bulan lagi, bulan November tepatnya, kami akan menikah.” Wajah terkejut Bapak dan Ibu tidak bisa disembunyikan, mungkin ini memang serba cepat, serba kilat. Aku juga baru kenal Abizar satu dua bulan ini. “Kalian udah siap semua? Materi, mental, semua sudah kalian bicarakan?” aku dan Abizar mengangguk mantap, “Insyaallah aku dan Abizar sudah yakin, Pak.” Bapak dan Ibu diam, mungkin mereka masih memikirkan akan memberikan jawaban apa.  “Baiklah, Bapak dan Ibu ikut kalian saja. Kalo memang menurut kalian keputusan tersebut sudah baik, lakukanlah. Kami orang-orang tua ini hanya bisa mengikuti keinginan kalian.” Lalu Bapak pamit ke dalam, “Bapak mau istirahat dulu, ya. Tan, buatkan Abizar minum, ajak makan, kalian udah makan, belum?” aku menggeleng, “Belum, Pak. Sebentar kami makan.” Bapak mengangguk, lalu masuk ke dalam diikuti oleh Ibu di belakangnya. “Beres, lusa, tunggu aku, ya. Dandan yang cantik. Biar keluargaku dan keluargamu yakin, kalo kita memang sudah memilih pasangan yang tepat.” Lalu aku mengajak Abizar menuju ruang makan, “Makan, yuk.” Abizar mengangguk. setelah Abizar duduk, aku mengambilkan nasi dan lauknya, dia nyeletuk, “Duh, calon istri idaman banget sih. Nyiapin aku makan, suapin, donk, sayang, sekalian.” Aku ketawa, “Apaan, ih. Nanti keliatan Ibu sama Bapak, malu.” Abizar lalu ketawa, “Iya, deh, iya. Aku akan sabar menunggu, sampe kamu halal untukku. Besok, kita jalan, ya. Sekalian beli cincin dan keperluan lamaran lainnya.” Aku mengangguk dengan sangat yakin. Akhirnya, sebentar lagi, aka nada orang yang bisa membantuku dalam hal kehidupan ini, menjagaku, menyayangiku. Bahagia membuncah di hatiku. Keesokan harinya, sekitar pukul sepuluh pagi, Abizar sudah ada di depan, menjemputku untuk pergi bareng mencari kebutuhan seserahan. Setelah pamit ke Bapak dan Ibu, aku dan Abizar mencoba mencatat apa saja kebutuhan yang kami perlukan, “Yang pasti cincin, Bi, dua pasang, untuk lamaran dan nikah. Lalu peralatan mandi, seperangkat pakaian dan baju tidur,” lalu Abizar menyela ucapanku, “Gak usah pake baju, Tan, nanti kalo udah sah, akum au liat kamu polosan.” Aku tersipu, “Idih, m***m, kamu, Bi.” Lalu kami melanjutkan mencatat yang lain, make up, sepasang sepatu, sandal, tas kerja, juga pakaian dalam, “Nanti aku yang pilihkan, kan aku juga yang akan menikmati, memandangnya.” Sembari ngomong gitu, dia mengerlingkan matanya, aku benar-benar dibuat hilang akal sama ucapan Abizar hari ini. Satu persatu toko keperluan alat-alat dan bahan-bahan yang dibutuhkan, kami datangi. Setelah membeli cincin, peralatan mandi, dan perlengkapannya, aku dan Abizar memutuskan untuk istirahat sejenak, makan siang, ketika mau masuk ke dalam restoran padang yang kami pilih, aku melihat ada Kak Puspa dan Celine, melambaikan tangan ke arah kami, aku yang bingung, “Loh, bisa pas gitu, ada Kak Puspa?” rupanya Abizar melihat kebingungan di wajahku dan mendengar pertanyaanku, dia menjawab, “Iya, tadi aku yang ngajak Kak Puspa ketemuan di sini, biar sambil bantuin kita ngecek juga, barang apa lagi yang belum lengkap, yang bisa kita coret dari list, gak apa-apa, kan, Tan?” sebenarnya, hatiku masih mengganjal perihal kemarin, ulah dan tingkah anak-anak Kak Puspa, tapi toh, gak apa-apalah, Kak Puspa juga nantinya jadi kakak iparku, jadi aku menjawab ucapan Abizar, “Iya, gak apa-apa, Bi.” Lalu kami masuk, dan aku duduk di seberang Kak Puspa. Dia bertanya apa saja yang sudah kami beli, “Udah beli apa aja, Tan, Abi?” Abizar yang menjelaskan apa saja yang sudah kami beli dan Abizar juga memperlihatkan list yang masih harus kami beli. Kak Puspa membacanya, lalu berkomentar, “Ini, tas, gak usah, menurutku gak penting,” dan mencoretnya dari list, “Terus ini, bahan untuk bikin kebaya penganten, cari yang lebih murah lagi, kamu loh, Tan, udah mau nikah, makan direm sedikit, biar jait bajunya gak susah, gak ngabisin bahan.” Ucap Kak Puspa ketika melihat aku menyendokkan nasi ke piring. Padahal, seharian ini, aku belum ketemu nasi sama sekali. Karena udah diomongin begitu, aku hanya menyendokkan setengah centong saja nasi ke dalam piring, lalu mengambil sambel ijo, dan ayam bakar saja. Sementara, Abizar sudah melahap ayam goreng yang kedua, dan Celine, aku lihat sudah mengambil rendang potongan ke tiga, dan dengan enaknya nyeruput es jeruk, “Kamu jangan minum es, Tan. The hangat tawar aja, Uda.” Kak Puspa berinisiatif memesankan aku teh hangat tawar, alih-alih membiarkanku memesan jus jeruk yang aku inginkan, dan lagi-lagi, aku hanya bisa nurut tanpa ada perlawanan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD