Keluarga Aneh

1515 Words
“Jadi, kamu sudah mantap untuk menjadi istri Abizar, anak bungsu saya?” ucapan itu yang pertama kali keluar dari mulut ibunya Abizar. Aku mengangguk dengan yakin, “Bismillah, Bu, insyaallah saya yakin.” Tidak ada reaksi dari Ibu, dia menatapku lurus, “Kamu selama ini kerja di mana, sebelum bertemu Abizar apa sudah pernah pacaran, kalo sudah pernah pacaran, sebatas apa pacarannya? Kamu bisa masak? Anak-anak saya ini gak suka jajan di luar, mereka lebih suka makan masakan rumah, masakan saya lebih tepatnya, jadi, kalo kamu mau jadi istri Abizar, minimal, masakanmu ada rasa, walaupun tidak bisa menyamai rasa masakan saya.” Sungguh, aku terkejut mendengar ucapan dan pertanyaan Ibu. Aku memang belum pernah diajak ke rumah calon suami, karena selama ini memang hanya sebatas pacaran saja. Tapi sejauh yang aku tau, dari teman-temanku, ketika mereka diajak ke rumah calon mertuanya, pertanyaan semacam ini gak pernah ditanyakan. Aku mencoba menarik napas pelan, menenangkan hati, mencoba menjawab satu persatu pertanyaan ibunya Abizar, “Saya kerja di sebuah apotek, Bu, sebagai staf administrasi. Selama ini, sebelum bertemu Abizar, saya memang pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan beberapa pria, tapi hubungan kami ya, hanya sebatas jalan, makan, dan pegangan tangan. Saya bisa, sih, masak, tapi memang tidak jago-jago banget, dan pasti gak sejago Ibu atau Kak Puspa. Ya, kalo sebatas tumis menumis, buat sop ayam, bikin sambel, saya bisa. Mungkin nanti, jika saya direstui menjadi istri Abizar, saya bisa belajar masak lebih banyak dari Ibu, masakan apa saja yang Abizar suka, makanan apa yang Abizar tidak suka.” Setelah menjawab pertanyaan itu, aku seperti sedang menunggu vonis hukuman, sesi perkenalan ini lebih seperti siding untukku. Abizar, dia tidak mendampingiku di sebelahku, dia duduk diapit Kak Puspa dan suaminya, sementara ibunya Abizar duduk sendiri, di singgasana. Seperti permaisuri yang ditakuti rakyatnya, tidak ada yang berani buka suara ketika ibunya bicara, termasuk Abizar. Selama ini, dia selalu menggenggam tanganku, menjagaku, selalu memastikan keamanan dan kenyamananku, tapi sekarang, dia beda. Dia seperti anak mami yang nunut, nurut, manut, sama ibunya, gak berkutik sedikit pun, dia seperti membawaku masuk ke dalam sebuah ruang pengadilan, lalu meninggalkanku di kursi pesakitan, tanpa memberi tahu, apa yang harus aku siapkan. Aku pasrah, kalo memang mereka tidak menyukaiku, ya, sudah. Sekitar lima, sepuluh menit kemudian, Kak Puspa yang mencoba bertanya, seperti mengorek informasi, “Lalu, nanti, setelah menikah, kamu bakal berhenti kerja, kan? Ngurus rumah, ngurus suami? Kalian gak ada niatan menunda momongan, kan? Karena kebiasaan di keluarga kami, malam pertama itu, pengantin wanita harus masih virgin, perawan. Karena besoknya, saya, sebagai kakak tertua dan pertama di dalam keluarga ini, akan bertanya ke Abizar, apakah ada tanda-tanda kalo kamu perawan atau sudah tidak perawan sebelum menikah dengan Abizar.” Aku lebih terkejut lagi dengan ucapan Kak Puspa, apalagi ini, perawan gak perawan? Ya, aku mah belum pernah berhubungan seperti suami istri sebelumnya, tapi masa iya, urusan ranjang, jadi konsumsi keluarga? Dengan menahan marah, aku mencoba menjawab pertanyaan Kak Puspa, “Aku ikut apa yang diputuskan Abizar untukku, jika titahnya aku harus berhenti kerja, asalkan Abizar bisa membiayai rumah tangga kami, memenuhi kebutuhan saya, insyaallah saya siap berhenti kerja. Untuk ngurus rumah, ya, sekedar nyapu, ngepel, saya bisa, lagian untuk urusan ini, saya bisa berbagi tugas dengan Abizar, kan?” Kak Puspa tertawa, “Gak bisa. Urusan ngurus rumah, masak, nyuci baju, bersihin kamar mandi, itu urusan kita, para wanita. Suami adalah raja yang harus dilayani, dia gak boleh turun tangan dalam hal urusan rumah tangga.” Aku diam, mencoba untuk mencerna semua ini, “Lalu bagaimana, kamu bersedia, kan, untuk saya pastikan dulu kalo kamu masih perawan?” aku mengangangguk lemah. Kak Puspa meneruskan ucapannya, “Lelaki itu tugasnya hanya tiga, menafkahi keluarga, menghamili kamu, dan nurut sama ucapan ibunya. Begitu titah Ibu kepada kami, semua anak-anaknya. Dan dengan begitu, terbukti, kami, saya, kakak lelaki Abizar, Bahrul, memiliki keluarga yang baik, bahagia, dan dikarunia anak-anak yang sehat. Setelah menikah, kamu harus tinggal di sini dulu, minimal dua tahun, untuk saya, dan keluarga memastikan, bahwa kamu memang memperlakukan adik saya, anak Ibu, dengan baik, mengurusnya, dan menghormatinya sebagai suami dan kepala keluarga.” Astaga, blak-blakan banget mereka ini. Ketika kami sedang ngobrol, ada suara jeritan dari kamar, aku kaget, “Eh, kenapa?” lalu Abizar tergopoh-gopoh, mendatangi asal suara, aku bisa mendengar dari tempat aku duduk, Abizar bilang, “Ssstt … ada tamu, kenapa sih? Calon istri Om.” Yang di dalam itu nyaut, “Halah, baru calon. Cakep, gak? Gw laper, laper, laper, makan-makan-makan. Gw mau makaaan.” Aku bingung, itu suara kayaknya anak perempuan muda, aku tidak bertanya, hanya diam, karena melihatku bingung, Kak Puspa menjelaskan, “Itu, anak perempuan saya, Celine namanya, ponakan kesayangan Abizar, manja, memang.” Aku mengangguk, gak paham. Tidak lama setelahnya, Abizar keluar dari kamar tersebut, dan bilang ke Kak Puspa, “Itu, si Celine, laper katanya.” Dan Kak Puspa mengambil uang dari dompetnya, lalu memberikannya ke Abizar, “Nih, seratus ribu. Tanya dia mau makan apa, terus beliin, ya. Tania, di sini dulu, gak apa-apa, kan?” aku yang bingung melihat fenomena di depanku, lagi-lagi hanya bisa mengangguk. “Iya, Kak, gak apa-apa.” Lalu Abizar kembali ke dalam kamar anak Kak Puspa, terdengar teriakan dari dalam, bener-bener teriak, “Gw mau makan sushi, sushi loh, ih, bego banget. Sushi yang kemaren itu, kan lu yang beliin Om.” Aku mendengar itu, benar-benar tidak habis pikir, sama omnya sendiri, dia bisa lu-gw begitu? Gak ada sopannya. Abizar ini, anak bungsu di keluarga ini atau pembantu rumah tangga, sih, ya? aku diam, melihat Abizar menuju garasi, mungkin niat hatinya mau pake mobil, tapi dari ruang tamu sini, Kak Puspa berteriak, “Pake motor aja, sayang bensin.” Abizar yang tadi udah bawa kunci mobil, balik lagi ke dalem, tergesa-gesa, nyari kunci motor, karena gak ketemu-ketemu, dia nanya, “Di mana sih, kuncinya?” suami Kak Puspa yang menyahuti, “Itu, di sebelah televisi, liat pake mata, buta?” deg. Astaga, pria ini, memang kasar banget mulutnya, tadi, aku yang jadi sasaran mulutnya, sekarang Abizar. Ketika berjalan keluar, sambil melewati tempatku duduk, Abizar bilang ke aku, “Tunggu, ya, gak lama, kok.” Aku mengangguk. rasanya ada yang salah dengan perlakuan keluarga Abizar kepada dirinya, rasanya dia tidak dianggap dan dihormati seperti yang dibicarakan barusan. Mulai dari kakaknya, kakak iparnya, sampai ponakannya, yang masih kecil, maksudnya pasti umurnya jauh lebih tua dari Abizar, berani, loh, berteriak ke Abizar. Ada apa dengan keluarga ini, kok seperti keluarga tidak berpendidikan. Dan ketika aku sedang berpikir tentang semua hal ini, anak Kak Puspa, yang lelaki tadi, masuk, dan ikut nimbrung ngobrol sama kami. Dia menghadapkan mukanya ke arahku, dan dengan lantang bertanya, “Tante, emang berat badannya berapa, kok gendut banget?” sambil ketawa. Aku terkejut, anak dan orang tua, mulutnya sama-sama mengandung sampah. Aku tertawa, tertawa menahan malu dan marah, “Kepo ih, emang kenapa?” dia lalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi, “Emang ada, baju pengantin yang muat sama Tante?” aku benar-benar terdiam dibuatnya. Kak Puspa yang mendengar anak bujangnya bertanya seperti itu ke aku, tidak meminta maaf atau menyuruh anaknya meminta maaf ke aku, justru dia ikut menimpali, "Iya, juga, ya. Tapi nanti Tania pasti bisa kurus lah, diet dulu kalo mau nikah. Bisa-bisa nanti harga jait bajunya bakal mahal, ini, Tan, kalo kamu gak diet dan masih segini badannya." Nusuk banget, sakit? Enggak, malu, sih, lebih tepatnya. Diejek, dihina seperti itu, iya, aku akui memang aku gemuk, tapi kok malah ini yang jadi bahan omongan sekarang, ini bukan perkenalan lagi, lebih ke penghakiman dan persidangan. Ketika sedang mencoba ngobrol dan mengalihkan omongan dari topik seputar tubuhku, Abizar pulang, dan langsung masuk, membawa bungkusan ke dalam. Aku bisa melihat kegiatan Abizar di dalam dari tempatku duduk, dia mengambil piring, sudah lengkap dengan sendok, garpu, dan teko air minum, juga gelas. Lalu tidak lama, terdengar dia memanggil keponakannya tadi, "Celine, hayok, makan, itu udah ada di meja semua makanan yang dipesan." Lalu si ponakan keluar, terdengar olehku, "Ish, ya udah, sih, ngapain juga harus kenalan." Mungkin dia dipaksa Abizar untuk menemuiku, atau kenalan denganku, tapi yang dipanggil Celine tetap ke depan, lalu dengan wajah yang sepertinya malas melihatku, dia menyodorkan tangannya, "Celine. Anak pertamanya Puspa dan Joko, model iklan di i********:. Ini toh, calon tanteku." Dengan tatapan yang sulit aku jelaskan. Entah mengejek, menghina atau apa, susah diungkapkan, yang pasti tidak lama setelah itu, dia berlalu masuk ke dalam, mungkin langsung makan. Ketika kami mulai ngobrol lagi, tiba-tiba dari dalam ada teriakan, "Ih, ini tuh gak enak, beli di mana sih, Om, gak beli di tempat biasa, ya, budek ya? Tadi kan minta yang biasa." Abizar menyahut dari tempatnya duduk, "Iya, itu tempat beda. Soalnya yang tempat biasa, tutup." Kak Puspa malah memarahinya, "Kamu, aneh banget. Kan dibilang di tempat biasa, ngapain dibeli kalo bukan di tempat itu?" Ketika Abizar mau menjawab, Ibu berdehem, lalu mereka berdua diam. "Ngobrol yang fokus, masih mau dilanjutkan atau tidak?" begitu Ibu bertanya, lalu setelahnya obrolan berlanjut, sampai azan magrib berkumandang, aku pamit, "Aku pulang dulu, Bu, Kak Puspa, Mas. Nanti magrib di rumah saja." Setelah berpamitan dengan mereka, Abizar mengantarku pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD