Pil Aneh

1135 Words
Keadaanku yang sedang tidak baik-baik saja dan takut banget sama sosok lelaki yang tidak aku kenal membuatku sunggu kesusahan banget. Belum lagi aku harus diam di rumah sakit selama beberapa hari, “Kita observasi dulu kondisi kejiwaan dan kesehatan tubuh Bu Tania, karena tadi perawat kami melaporkan ada beberapa luka robek di daerah sensitifnya akibat kejadian kemarin. Saya mau memastikan dulu.” Begitu Dokter Anastasia menjelaskan kepada Prana yang sejak kemarin, aku teriak histeris karena melihat perawat lelaki yang masuk ke ruangan, Prana tidak meninggalkanku sedetik pun, kecuali salat, “Aku di sini, jangan khawatir.” Aku mengangguk. Prana diam sejenak, sepertinya ada hal yang ingin dia utarakan, “Prana, ada apa?” benar, memang ada hal yang dia sampaikan tapi dia ragu, “Tan, kalo kamu sudah siap, pihak berwenang mau mengajukan beberapa pertanyaan. Untuk kasus Abizar.” Aku memejamkan mata mendengar nama tersebut. Aku harus kuat, kalo bukan aku tidak akan ada yang bisa membantu menyelesaikan masalah ini, “Besok. Insyaallah besok aku sudah siap, kasih aku waktu dulu hari ini untuk memantapkan hati.” Prana mengangguk, “Oke, Ibu sama Bapak …” aku menggeleng, “Tidak. Mereka tidak boleh tau,” terlambat. Ketika aku belum menyelesaikan ucapanku, Bapak menerobos masuk pintu kamarku diiringi Ibu yang menangis hebat. “Kenapa bisa begini, Tan? Kok bisa lelaki itu masuk ke kostanmu dan tidak ada yang tau, gimana keadaanmu, apa yang kamu rasakan, Tan? Jawab, Nak.” Aku bingung melihat Ibu yang seperti itu. Bapak, walaupun tidak bicara apa-apa, tapi dari pandangannya bisa aku lihat wajahnya mendung, tergambar jelas kalo dia menahan marah. Prana yang melihat ke arahku, “Pak, Bu. Ini Prana, teman kerjaku, yang kemarin membantuku, menyelamatkanku dari Abizar.” Prana langsung menghampiri Bapak dan mencium tangannya, setelahnya dia menghampiri Ibu, “Terima kasih, kasep. Makasih udah bantuin Tania.” Ibu memeluk Prana, seperti seorang ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan anak lelakinya, aku melihat mereka seperti udah akrab sekali. Waktu salat zuhur datang, Bapak dan Prana pamit mau salat di masjid, “Aku sama Bapak salat di masjid, ya, Tan. Kamu di sini sama Ibu dulu, gak apa-apa?” aku mengangguk. Setelah Bapak dan Prana pergi, Ibu menanyakan apa yang terjadi, aku bingung mau menceritakan darimana, yang pasti intinya saja aku bilang bahwa Abizar datang ke kostanku dan memaksa masuk ke kamar, “Abizar datang ke kostan, Bu. Aku yang lalai, padahal malam harinya Prana sempat bilang ke aku kalo dia mencurigai Abizar datang.” Ibu mengangguk, “Lalu, Prana itu, siapa, pacarmu, Nak?” aku menggeleng, “Bukan, Bu. Prana hanya rekan kerja yang kebetulan sedang lewat ke kostanku. Aku biasa ikut sama dia kalo lagi gak bawa mobil,” ketika belum selesai ucapanku, pintu kamarku diketuk, “Assalamualaikum, Tan.” Rangga yang nongol. Aku tau, dia yang mengurus proses pelaporan Abizar ke polisi dan dia yang memastikan bahwa Abizar akan diproses sesuai dengan yang seharusnya. Tapi karena aku tidak mau Ibu dan Bapak mengetahui detail kejadiannya, aku mencoba memberi kode ke Rangga, “Aman, kan, Ga?” sambil mengedipkan mataku sekilas. Aku melihat Rangga terdiam sebentar, lalu setelah memroses beberapa saat, kemudian dia menjawab, “Aman, Tan. Tinggal besok polisi akan ke sini untuk menginterogasi kamu, kamu udah siap?” lalu dia menghampiri Ibu dan mencium tangannya, “Tante, inget Rangga, gak?” Ibu yang sepertinya mungkin familiar dengan wajah Rangga mengernyitkan keningnya, “Saya Rangga, Tan. Dulu sering maen ke rumah Tante, makan sop ayam masakan Tante, duh rasanya masih terngiang sampe sekarang.” Ibu ber ah-oh ria, “Ya ampun, Ga. Apa kabarnya sekarang, kok bisa ketemu sama Tania di sini?” akhirnya Ibu dan Rangga ngobrol, aku mengambil handphoneku untuk mengetikkan pesan ke Rangga, “Jangan cerita apa-apa mengenai kejadian kemarin, jangan sampe Ibu dan Bapak tau.” Setelah memastikan Rangga membacanya dan menjawab pesanku, “Iya, Tan.” Aku mencoba untuk memejamkan mata, sungguh, kejadian ini benar-benar menguras semua energi dan tenagaku, tubuhku masih ngilu di beberapa bagian, terutama di bagian sana. Aku merasa masa depanku akan hancur karena lelaki itu, lelaki yang sakit jiwanya lebih parah daripada saat aku masih terikat hubungan pernikahan dengan dia. Entah sudah berapa lama aku memejamkan mata, aku bisa mendengar suara Prana dan Rangga sayup-sayup seperti sedang membicarakan sesuatu, “Aku sudah bilang ke Tania, besok polisi akan ke sini untuk menanyakan beberapa pertanyaan seperti yang aku sampaikan di pesan, tadi. Udah kamu sampaikan, Prana?” aku berdehem, bukan karena ingin mereka menyadari kalo aku sudah bangun, tapi memang tenggorokanku kering banget, haus, “Bu,” kalimat pertama yang keluar. Prana datang menanyakan apa yang aku butuhkan, “Kamu butuh apa, Tan? Ibu sama Bapak tadi katanya keluar sebentar.” Aku mengangguk, “Aku haus, Prana, boleh minta minum?” Prana dengan sigap mengambilkan air minum dan mengangsurkan gelas ke tanganku, “Kamu makan, ya, Tan. Dari kemarin kamu belom makan, kan?” aku menggeleng, “Aku gak napsu makan, Prana. Aku butuh istirahat, badanku sakit sekali.” Prana mengusap punggung tanganku, “Ya sudah, istirahat, ya. Kamu harus kuat, aku di sini,” dan Rangga pun menyahut, “Aku juga di sini, loh, halo.” Prana mengangguk, “Iya, Rangga juga di sini, kami di sini untuk menjagamu. Kamu harus kuat, aku dan Rangga sudah memasukkan laporan mengenai kasus ini ke polisi, kamu akan bersaksi di meja hijau.” Aku mengangguk, “Iya, aku kuat. Aku hanya butuh istirahat sebentar lagi, demi memulihkan tenagaku. Terima kasih, Prana, Rangga. Oiya, kamu gak kerja, Prana? Nanti Pak Anhar nyariin.” Aku melihat Prana menggeleng, “Gak usah memikirkan soal itu, aku sudah izin ke Pak Anhar untuk nemenin kamu di sini. Dia mengizinkan. Kalo gak mengizinkan dan aku dipecat juga, gak apa-apa, aku rela. Kamu yang paling penting sekarang, keadaanmu yang paling penting buatku.” Aku mengangguk, “Kalo kamu dipecat, kita biki perusahaan bareng-bareng. Kalo kamu sama Tania dipecat, project saya batalkan, kita bikin perusahaan bertiga, memecat kalian tuh sama aja seperti membuat berlian.” Rangga menyahuti ucapan Prana, “Nah, sudah ada jaminan. Tenang, Tan, Pak Anhar gak akan gegabah mengambil tindakan. Lagian ini kan kejadiannya emang urgent banget, rasanya gak mungkin kalo dia gak kasih izin.” Setelahnya suster datang membawakan beberapa butir pil yang harus aku telan, “Bu Tania, ini ada obat. Diminum, ya, Bu. Biar Ibu lekas sehat.” Aku mengangguk. setelah suster itu keluar, Prana menyodorkan gelas lagi ke tanganku, “Diminum Tan. Biar lekas sehat.” Setelahnya aku merasa kepalaku sakit banget. Tapi mataku rapet seperti tidak bisa dibuka, jadi aku memutuskan untuk memejamkan mata dan tidur kembali. Tapi di dalam tidurku, aku masih bisa mendengar suara Prana dan Rangga yang ngobrol, entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku sendiri. Entah apa memang begini reaksi obat atau ada yang tidak beres dengan tubuhku menanggapi obat yang baru masuk ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD