Rangga dan Prana Berkolaborasi Menyelamatkan Tania

1115 Words
Ketika aku hampir benar-benar pingsan, pintu kamarku diketuk. Abizar sedang di kamar mandi, mungkin ingin membersihkan tubuhnya dari semua keringat busuk hasil dari perbuatan yang dia lakukan padaku tadi. Aku mencoba untuk membuka ikatan yang ada di tanganku, minimal sumbat mulut yang dipakaikan paksa kepadaku, aku berjibaku dengan waktu, khawatir Abizar keluar dari kamar mandi sebelum aku sempat memberitahu orang di luar yang mengetuk pintu kamarku, “Tania, kamu udah bangun? Ini aku bawakan bubur ayam, Tan.” Suara Prana, itu Prana. Aku mencoba menjerit walaupun tidak ada suara yang keluar, tapi aku berusaha untuk membuat suara agar Prana di luar tau kalo aku ada di dalam. Aku mencoba menendang kursi yang ada di meja kerjaku, seinci demi seinci aku berusaha untuk terus bergerak, dan berhasil, kakiku berhasil menggapai kursi, dan aku menjatuhkannya, timbul bunyi seperti yang aku harapkan, dan aku yakin Prana bisa mendengarku, “Tania, kamu kenapa, Tania.” Prana menggedor pintu kamarku, dalam hati aku terus berdoa semoga Prana terus menggedor pintu kamarku bahkan kalo perlu mendobraknya. Benar, gedoran pintu kamarku semakin kuat, tapi naas, Abizar keburu keluar dari kamar mandi, demi melihat kursi yang sudah jatuh, pintu yang digedor, dia mengeluarkan benda tajam yang dia sembunyikan di dalam kantung celananya, “Diam, jangan bersuara sama sekali.” Kemudian dia memakai kembali pakaiannya, setelah selesai, dia menghampiriku lalu mengancamku, “Aku akan buka ikatan di mulut dan tanganmu, tapi kamu janji tidak akan teriak, atau …” dia menodongkan benda tajam itu ke leherku, “Akan aku buat kulitmu tidak berbentuk lagi dan acak-acakan, paham?” aku mengangguk, gak apa-apa, aku akan menurutinya, biar Abizar melepaskan dulu ikatannya di tangan dan mulutku, baru setelah ini aku akan memikirkan cara lain, sambil terus berharap Prana berhasil mendobrak pintu kamarku. Benar aja, baru saja Abizar membuka ikatan di mulutku, pintu kamarku terbuka, Prana langsung mendorong Abizar ke pinggir, “Tan,” panggil Prana, aku menangis, aku malu, menunduk, karena melihat tubuhku tidak ditutupi sama sekali, Prana mengambil selimut yang ada di atas ranjang, tapi ketika Prana berusaha untuk membuka ikatan tali di pergelangan tanganku, tiba-tiba Abizar mendorong Prana, belum sempat Prana membuka ikatan di tanganku, dia jatuh terjengkang. Aku yang sudah bisa berteriak, berusaha sekuat tenaga berteriak, “Tolong, Mang Darma, tolong, tolong,” iya, aku berusaha sekuat tenaga, karena jujur saja napasku sudah hampir habis. Ketika Prana dan Abizar sedang berantem, ada beberapa tetangga yang jerit-jerit di luar, “Mang Darma, tolong, siapa saja, tolong, Teh Tania, ini tolong, ya Allah, Teh, tunggu, ya.” mereka hanya bisa berteriak dari luar, tidak ada yang berani masuk ke dalam karena posisinya Abizar memegang benda tajam tadi dan masih menyabetkannya ke sembarang arah, mungkin orang-orang di luar tidak berani masuk takut terkena sabetannya. Mang Darma datang dengan Ibu Kost, “Ya Allah, Teh Tania,” Ibu Kost melihat keadaanku yang benar-benar kacau. Prana yang melihat sudah rame orang di luar meminta salah satu dari mereka menelepon polisi, “Tolong telepon polisi.” Dan di tengah kekacauan tersebut, Rangga masuk ke kamarku, sekarang aku bisa melihat Rangga dan Prana sedang berusaha menjatuhkan Abizar. Kedua lelaki ini kompak, dan tidak berapa lama, Rangga berhasil menahan tangan Abizar, lalu mengambil benda tajam dari tangannya, dan mengikat kedua tangan Abizar menggunakan sarung bantal yang diambil oleh Prana. Rangga datang dan memakaikan kerudung di kepalaku, lalu melepaskan ikatan tanganku, “Udah aman, kamu tenang, ya.” aku mengangguk, kering sudah air mataku. Setelah diam sebentar, aku mengumpulkan kekuatan untuk ke kamar mandi, “Tan, jangan mandi dulu, ya. Pakai baju saja, kita langsung ke rumah sakit untuk visum, buat bukti nanti laporan ke polisi.” Ucap Prana. Aku mengangguk. Setelah berpakaian lengkap, Prana ngomong ke Rangga, “Pak Airlangga, saya bawa Tania ke rumah sakit untuk visum, Bapak di sini nunggu polisi datang, kita ketemu di kantor polisi, ya. Tolong nanti kabarin saya kantor polisinya yang mana.” Aku melihat Rangga mengangguk, “Oke. By the way, Rangga aja. Cukup Rangga.” Prana dan Rangga, dua pria yang kemarin saling berseteru dan perang dingin, hari ini keduanya menyudahi perang dingin itu demi menyelamatkanku. “Tan, tunggu di sini, mobilnya aku majukan ke sini,” aku mencegahnya, “Gak usah, aku bisa. Kamu tenang aja. Makasih, ya.” aku berjalan pelan, karena memang masih sangat perih aku rasakan di sekujur tubuhku. Setelah sampai di dalam mobil, aku diam, aku gak berani berkata apa-apa. Aku mengingat Prana tadi melihat bagian paling pribadi dari tubuhku, aku malu. Sungguh. Prana juga melihatku tanpa berkerudung, dia melihat auratku, dan karena mengingat kejadian itu, aku kembali menangis, benar-benar menangis sampai menjerit, ada sakit di hatiku yang tidak bisa aku ungkapkan, sesak rasanya dadaku. Prana menepikan mobilnya, “Tan, tenang Tania. Insyaallah kamu baik-baik aja. Sekarang kamu aman, ada aku. Kita hadapi ini sama-sama, ya. Aku di sini.” Aku menggeleng, “Aku kotor, Prana. Aku hina, aku malu. Kamu sudah melihatku tadi, melihat auratku, aku malu. Bagaimana bisa aku menatap matamu ketika kita berpapasan di kantor nanti, bayangan malu yang besar harus aku tanggung. Harusnya semalam aku nurutin kata-katamu, minimal aku harus lebih waspada. Maafkan aku karena tidak menggubris peringatanmu, maaf, aku menyesal, sungguh aku menyesal.” Prana mengambil tanganku dan menggenggamnya, “Tania, hei, lihat aku. Tan, tidak ada yang salah dan tidak ada yang harus disesali, ini adalah hal yang sudah harus terjadi, gak bisa kita tolak. Jangan malu sama aku, anggap tadi aku tidak melihatmu, ya.” genggaman tangannya menghangatkan hatiku, menenangkanku sedikit. Setelah aku tenang, Prana kembali menjalankan mobilnya menuju rumah sakit. Sesampainya ke rumah sakit, aku langsung dibawa ke UGD, Prana yang mengurus semuanya. Tadi sebelum sampai ke rumah sakit ini, aku minta Prana untuk memilihkan dokter dan perawat perempuan saja yang menanganiku, “Aku mau minta tolong lagi sama kamu, Prana.” Prana melihat ke arahku, lalu mengangguk, “Minta tolong apa Tan, insyaallah akan aku lakukan.” Aku mengutarakan keinginanku, “Aku minta nanti yang ngurus kasusku di rumah sakit dokter dan perawatnya perempuan, ya. Kejadian tadi benar-benar membuatku takut melihat lelaki.” Prana mengangguk. Tapi kemudian, ketika aku sedang berbaring untuk menunggu dokter memberikan instruksi apa yang harus aku lakukan untuk visum ini, seorang perawat pria masuk ke bilikku sambil membawa alat rekam jantung, dan aku teriak histeris, dalam bayanganku dia adalah Abizar yang mau menyakitiku, “Pergi. Jangan di sini, pergi, jangan sakiti aku, Pergi.” Prana yang mendengar aku berteriak, memelukku, “Tan, Tania, tenang. Ini aku, itu perawat hanya memasukkan alat ke ruangan ini aja. Aku udah bilang ke dokter di depan keadaanmu. Mereka sudah setuju, tenang, ya.” aku mengangguk, “Jangan tinggalin aku sendirian, Prana. Tolong, temani aku, ya.” Prana mengangguk dan mengusap punggungku, membuatku tenang dengan perlakuannya. Ya Allah, ampuni aku. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD