Monster itu Bernama Abizar

1300 Words
“Rumah acak-acakan banget, kayak kandang kambing.” Aku yang baru pulang dari pasar, mendengar ucapan seperti itu, rasanya ingin sekali mencakar mulut Abizar, “Apasih, Bi, aku baru balik dari pasar, nanti aku bereskan.” Ketika nyamperin Abizar ke depan, rupanya sudah ada Kak Puspa di sana, “Pantas aja, belakangan ini Abizar lebih sering makan di rumahku, tidur siang di sana, rupanya rumahnya udah kayak kapal pecah. Kamu ngapain aja, sih, Tan, rumah kok bisa begini? Jadi perempuan tuh harus serba bisa, serba bersih. Masa nyapu sama beresin rumah aja sampe gak kepegang.” Ini apaan sih, dateng-dateng Abizar bawa Kak Puspa begini, “Emang belum kepegang, Mbak. Seperti yang Mbak tau, sejak beberapa bulan ini aku ada usaha dimsum, memang belom besar, tapi setiap hari pesanan pasti ada. Ini rumah juga pasti aku beresin, kok, tapi nanti, tunggu semua kerjaanku selesai.” Abizar maju ke arahku, “Kamu, sama kakakku berani banget bantah, Tan. Harusnya kamu terima kasih, Kak Puspa ke sini, aku sengaja ajak dia ke sini, biar Kak Puspa tau, aku, adiknya ini gak diurus dengan benar sama kamu. Harusnya kamu seneng, ada Kak Puspa di sini, dia bakal ngajarin kamu, jadi istri yang becus.” Dengan tatapan melotot, marah, Abizar menatapku, dan lagi, sekali lagi aku hanya bisa diam. Setelah bicara seperti itu, Abizar ke ruang tamu, “Buatkan aku kopi, sekalian bikini pisang goreng.” Aku tidak menjawab, langsung menuju ke dapur, memasak air, dan meracik terigu yang aku bumbui penyedap rasa, irisan daun bawang, dan aku masukan satu butir telor. Sambil mengerjakan semua itu, kegiatanku dilatarbelakangi oleh suara Kak Puspa yang ngomel, “Rumah itu harus bersih, Tan. Jangan biarkan suami sering pergi keluar rumah begitu. Saya sih, gak ada masalah kalo Abizar tiap hari makan di rumah saya, tidur di rumah saya, tapi dia kan sudah ada istri, istrinya itu kamu. Jangan sampai Abizar malah bosan ada di rumah, gak nyaman tinggal di rumahnya sendiri, iya kalo dia perginya ke rumah saya, tapi kalo dia pergi ke tempat lain, apalagi sampai ada pandangan ke perempuan lain …” ucapan Kak Puspa menggantung, “Maksudnya Abizar terpikat perempuan lain, gitu, Kak?” aku mempertegas ucapannya, dia seperti tidak enak melihatku, membuang mukanya ke arah lain, tapi tetap meneruskan ucapannya, “Ya, saya sih gak berdoa seperti itu. Hanya saja, kita ini sebagai wanita harus bisa bikin suami senang, harus bisa bikin suami puas, baik puas perutnya karena makanan, puas di ranjang karena pelayanan kamu sebagai istrinya, dan puas pandangan matanya, karena penampilan.” Aku tidak menjawab, setelah air di kompor mendidih, aku tuang ke gelas, lalu mengantarkan kopi itu ke Abizar yang ada di ruang depan, “Mana pisang gorengnya? Cuma kopi, ya gak enak.” Aku hanya bilang, “Sebentar, tuan besar, lagi digoreng.” Lalu aku segera masuk, dan menggoreng bakwan tadi. “Masa suami cuma dikasih gorengan dari tepung gitu, gimana dia mau suka, Tan.” Aku meneruskan acara menggorengku, “Adanya ini, Mbak. Ya dinikmati saja.” Tidak berapa lama, Kak Puspa menanyakan pertanyaan yang sejak awal menikah tidak berhenti ditanyakan lagi, “Terus, setelah kamu keguguran karena hamil di luar nikah kemarin, masa sampe hari ini kamu belom hamil? Padahal Abizar cerita, loh, udah sering gituan sama kamu, gak kenal waktu, gak kenal tempat, bahkan dia juga cerita kalo cara dan gaya yang saya ajarkan dia praktekkan ke kamu, harusnya sih, kamu sudah hamil sekarang. Apa kamu jadi mandul, Tan, karena keguguran kemarin?” aku terperanjat, Abizar cerita urusan ranjang ke kakaknya? “Maksudnya Abizar cerita urusan ranjang kami ke Kak Puspa?” tanpa basa-basi, Kak Puspa mengangguk, “Iya lah, emangnya kenapa, saya kan kakaknya. Kalo dia cerita gitu kan, kami bisa kasih masukan, mungkin ada cara yang salah, mungkin kamunya gak tepat posisinya,” sekali lagi aku dibuat kaget, “Kami? Maksudnya kami itu, siapa, Kak?” ini yang tau cerita urusan ranjangku dan Abizar sebenarnya da berapa orang? Tanpa tedeng aling-aling, Kak Puspa dengan bangga bilang, “Abizar itu, sering minta saran sama saya, sama Mas Joko, dia sering sharing tentang apa-apa saja yang kalian lakukan di ranjang. Tenang Tania, ini semata karena saya perduli tentang masa depan keturunan adik saya, karena saya yakin di keluarga kami tidak ada yang mandul, jadi kemungkinan besar ada yang salah sama kamu, Tan.” Sungguh, emosiku sudah di atas kepala. Bisa-bisanya Abizar cerita tentang urusan ranjang kami ke Kak Puspa. Di mana sih, otaknya orang itu? “Kak, lain kali kalo Abizar cerita begitu ya nggak usah ditanggapi. Kan Kak Puspa tau, kalo urusan rumah tangga apalagi urusan ranjang itu aib yang gak boleh diumbar.” Wajah Kak Puspa berubah memerah, mungkin dia kurang suka dengan apa yang aku sampaikan, mungkin dia merasa aku membantahnya. Seketika di bangkit, lalu berjalan ke ruang depan tempat Abizar ngopi tadi, “Ayok anterin aku pulang, istrimu itu keterlaluan, aku lagi nasehatin dia biar jadi istri yang benar, kok bisa-bisanya dia malah marah sama aku. Aku gak mau lagi ke rumahmu ini kalo masih ada dia. Ayok cepet, lambat banget sih.” Lalu terdengar deru motor Abizar yang dilajukan kencang. Kenapa harus seperti ini kehidupan pernikahanku, kenapa aku harus dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan ini, kenapa aku harus dipertemukan dengan manusia-manusia seperti mereka, “Allah, sebesar apa sih dosaku, sampai Kau menghukumku seperti ini? Di luar sana, masih banyak manusia yang dosanya lebih besar dari aku, tapi kenapa Kau menghukumku sebegininya?” aku tidak sadar, gorengan yang aku masak, gosong. Bersamaan dengan itu, Abizar masuk ke rumah, “Kamu apa-apaan, sih, Tan. Kenapa kamu kasar gitu sama kakakku? Dia itu yang sering bantu kita, dia yang sering kasih aku makan, dia yang ngurus aku kalo aku di rumahnya. KAMU KENAPA?” Abizar dateng-dateng langsung nyamperin aku, “Ini lagi, masak begini aja gosong. Cuma goreng bakwan aja gosong, JADI ISTRI GAK BECUS!” aku diam, membereskan gorengan yang gosong, membuangnya ke tempat sampah. Sepertinya Abizar belum puas ngomel, dia kembali bicara, “Kalo kemarin-kemarin gak ada Kak Puspa, mungkin hari ini aku sudah gila, di rumah gak dapet perhatian kamu, di luar gak ada kerjaan, Tania, kamu dengar apa gak, sih yang aku omongin? TANIA!” aku menatapnya, tidak bersuara, capek. “Nyaut kalo diajak ngomong, Kak Puspa itu kakakku, bahkan uang yang kemarin-kemarin aku kasih ke kamu itu aku pinjam dari dia. Dia yang bantu aku.” Aku terkejut dengan ucapan Abizar, “Kamu pinjam dari Kak Puspa, Bi? Kenapa sampai harus minjem uang ke orang, sih. Aku pikir uang itu hasil usahamu dari jualan apa gitu.” Dia melihatku seperti mau menerkam, “Jualan apa? Kamu tau, kan, aku tidak kerja? Ikut aku!” dia menarik tanganku, kasar, menuju ke kamar kami. Dia melemparku ke atas ranjang, “Buka bajumu, layani aku.” Aku mencoba menolak, “Bi, aku harus bikin pesanan orang. Setelah selesai nanti aku akan …” tidak sempat menyelesaikan ucapanku, dia sudah menarik paksa bajuku, menjambak rambutku, “Puaskan aku, jangan bantah atau kamu akan dapat dosa karena tidak nurut sama suami dan tidak mau melayaniku.” Tidak ada lagi ucapan rayu mendayu keluar dari mulutnya, tidak ada lagi perlakuan lembut yang dia tampilkan dulu, ketika pertama kali kami bertemu, yang ada di depanku hanya monster, monster yang siap menerkamku, menyakitiku semaunya, kapan pun dia menginginkan, tidak bisa ditolak apalagi dibantah. Tidak ada lagi kebahagiaanku melayaninya, yang terbersit di benakku adalah pesanan orang-orang yang hari ini harus aku antarkan sebelum asar. Dan ini sudah hampir pukul dua belas siang. Di bawah sana Abizar sedang sibuk dengan kegiatannya, di sini otakku sedang berpikir keras, bagaimana caranya menyelesaikan pesanan tepat waktu dan mengantarkan ke tangan konsumen yang pesan tanpa terlambat, kalau tidak, bisa-bisa aku harus mengembalikan uang yang sudah mereka transfer ke aku, yang itu berarti hari ini tidak ada pemasukan sama sekali bahkan juga rugi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD