Mengalah

1250 Words
Aku yang sudah sebulan ini dipecat juga dari tempatku bekerja karena keseringan izin, akhirnya memutuskan untuk membuat bisnis kecil-kecilan, dari hobiku yang suka memasak, aku memulai untuk membuat dimsum, yang aku bagikan testernya ke beberapa teman di apotek, dan perusahaan tempat terakhir aku kerja. Untungnya, walaupun aku dipecat dari tempat lamaku kerja, teman-temanku di sana masih sering berhubungan. Aku juga mulai memposting dimsum jualanku ke media sosial yang aku punya. Sehari minimal lima sampai sepuluh porsi dimsum terjual juga sudah sangat bersyukur. Bersyukur, Ibu juga sering membantuku mempromosikan dimsum daganganku ke teman-teman pengajiannya, begitu juga Bapak, beberapa kali juga pernah pesan, “Untuk teman Bapak yang mau nengok anaknya di pesantren.” Iya, sedikit, tapi tetap aku syukuri. Alhamdulillah dari sini juga, sedikit banyak aku bisa membantu Abizar memenuhi kebutuhan rumah, ngasih ke Ibu walaupun sedikit. Usahaku memang masih bisa dibilang usaha rumahan, masih aku sendiri yang mengerjakan, tapi, sudah bisa aku andalkan, sekedar membeli beras atau gas kalo habis sebelum menerima gaji dari Abizar, atau mau beli jilbab yang aku suka, walaupun tidak mahal, tapi sekarang aku tidak lagi terlalu bergantung ke gaji Abizar. Hari ini, ketika aku sedang merekap pesanan dimsum untuk orderan hari ini, aku terkejut, masih jam sepuluh pagi, Abizar sudah ada di depan pintu, menggedor pintu rumah, dan aku melihatnya pulang ke rumah dengan keadaan wajah memar, baju yang sudah robek di sana sini, belum lagi handphonenya yang rusak, “Dasar, bos kampret, manusia gak tau diri. Udah bagus punya karyawan kayak aku. Eh, malah aku dipecat. b******k!” aku kaget, mendengar Abizar bicara seperti itu ketika sampai di depan pintu. Aku diam, tidak mau menanggapinya, karena dalam kondisi seperti ini Abizar akan sangat sensitif sekali, jadi lebih baik aku diamkan saja, sambil aku ambil tasnya, lalu memasak air panas untuk menyeduh kopi buatnya, lalu menyiapkan baju ganti, “Ganti baju dulu, Bi.” Tanpa menjawab ucapanku, dia langsung pergi ke kamar mandi. Ketika sedang meneruskan pekerjaanku, aku mendengar teriakan dari Abizar, aku yang terkejut, buru-buru nyamperin dia, dan bertanya dia kenapa, “Bi, kamu kenapa? Bi …” panggilanku dijawab bentakan darinya, “DIAM! Gak usah ikut campur, pergi sana.” benar, kan, kalo sedang seperti ini Abizar benar-benar tidak bisa diajak ngobrol. Setelah dia keluar dari kamar mandi, dia langsung duduk di ruang tamu, sambil ngopi dan ngerokok. Abizar merokok? Sejak kenal dengan dia, sampai tadi, ketika dia pulang aku tidak pernah melihatnya merokok. Karena heran melihat tingkahnya, mulutku otomatis bertanya, “Bi, kamu ngerokok? Sejak kapan, Bi?” dia tidak menjawab, hanya melihatku sekilas, aku meneruskan ucapanku, “Bi, kamu tau, kan, aku paling gak bisa ngehirup asap rokok, aku bisa batuk dan sesak,” benar saja, tidak berapa lama aku batuk, tenggorokanku sakit, dan mataku pedas, “Bi …” dia membanting gelas kopi yang baru saja aku antarkan, lalu dengan sengaja berdiri, dan menghembuskan asap rokok tepat di depan wajahku, lalu berteriak “BERISIK, gak kamu, gak bosku, berisik semua. Berani-beraninya kamu ngatur apa yang aku suka, apa yang aku lakukan. Kamu, coba kamu jadi perempuan gak usah berisik, gak usah ngatur-ngatur. Sekarang kamu udah bisa cari uang sendiri, kan? Jadi, lakukan apa yang kamu mau dan aku akan melakukan apa yang akum au, PAHAM?” dia pergi, aku ditinggalkannya dalam keadaan napas yang sesak dengan rumah yang masih penuh dengan asap rokok. Aku terduduk di lantai, menangis. Sebenarnya apa sih yang terjadi sama Abizar. Masa iya, karena kehilangan ibunya sampai membuat dia seperti itu. Perangainya berubah tiga ratus enam puluh derajat, aku seperti hidup dan tinggal satu rumah dengan lelaki yang tidak aku kenal sama sekali. Aku tidak sanggup berdiri, hanya mencari tembok untuk bersandar, mencoba untuk mengatur napasku, “Kuat, Tan. Hari ini ada pesanan dimsum yang harus dikerjakan, jangan lemah.” Aku mencoba memejamkan mata, menarik napas dalam, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya, aku lakukan hal ini berulang-ulang. Mengajak hati, otak, dan tubuhku bicara, meminta maaf pada semua anggota tubuhku yang tersakiti, “Maaf, ya, d**a, maaf, hidung, maaf mata, karena aku gak bisa jaga kalian, sekarang kalian sakit, maaf.” Sambil menangis, mengingat semua kejadian dan kekacauan dalam rumah tanggaku. Rasanya, tidak habis-habis cobaan yang aku alami. Aku mencoba mengingat lagi, dosa-dosaku terhadap Bapak dan Ibu, ketika ngotot untuk menikah dengan Abizar, yang awalnya aku gak pernah mau terima ucapan mereka, jika Abizar bukan lelaki yang baik, aku ngotot untuk menikah dengan Abizar, mungkin, ini yang mereka takutkan, mungkin insting mereka sebagai orang tua memang tidak bisa diacuhkan. Aku diam sekitar lima menit, lalu bangun, menutup pintu gerbang, dan mengunci pintu ruang tamu, lalu bergegas ke dalam, meneruskan merekap pesanan, lalu mengecek bahan-bahan yang akan dipakai untuk membuat pesanan dimsum hari ini. Sudahlah, aku tidak ada waktu untuk bersedih atau meratapi nasib lama-lama, semoga dengan ini, Allah membilas dosaku, mengampuni semua kesalahan yang aku buat ke Ibu dan Bapak. * “Mana kopiku, Tan. Daritadi aku nungguin ini.” Iya, ini adalah hobi baru Abizar, duduk di teras depan, merokok, lalu main game. Sungguh benar-benar perangainya seperti anak kecil. Beberapa kali aku menegurnya, “Bi, kamu gak nyoba masukin lagi lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan lain?” bukan jawaban yang aku dapat justru umpatan, “Kenapa, udah bosan kamu ngasih aku makan? Toh selama ini juga makanmu aku yang nanggung, listrik aku yang bayar, rumah ini, motor yang kamu pake untuk antar pesanan daganganmu itu motorku, apa pernah aku itung-itungan sama kamu?” aku diam saja, sudah, tidak membalas ucapannya. Ini sudah masuk bulan ke tiga Abizar tidak bekerja. Secara otomatis dia juga gak ada gaji bulanan. Sejak tidak bekerja sampai hari ini, praktis tidak ada uang bulanan tetap yang aku dapatkan, hanya dua atau tiga kali dia ngasih uang belanja, “Pakai ini, yang hemat.” Padahal sekali ngasih uang, Abizar hanya memberiku tidak pernah lebih dari satu juta. Total uang yang aku terima hanya sekitar dua juta tujuh ratus ribu rupiah, selama tiga bulan ini. Hasil dari penjualan dagangan dimsumku sekarang jadi andalan, alhamdulillah, sekarang semakin laris. Maka sejak Abizar tidak ada pekerjaan dan sumber pemasukan tetap, setiap hari sekarang aku membuka pesanan untuk dimsumku, yang sebelumnya hanya dua hari sekali buka pre order, tapi demi mencukupi kebutuhan rumah sekarang ini, setiap hari aku buka pre order. Sedikit tidur, demi memenuhi semua pesanan yang masuk. Hari ini, rencana mau ke pasar untuk membeli kebutuhan buat kulit dimsum, aku izin ke Abizar, “Aku ke pasar dulu sebentar, Bi. Mau beli bahan untuk kulit dimsum.” Tidak ada jawaban, dia merambet dompet yang aku pegang, “Minta uangmu, lima puluh ribu aja, rokokku habis.” Aku mencoba untuk memberinya pengertian bahwa uangnya hanya cukup untuk beli bahan-bahan hari ini, “Jangan, Bi. Ini modal untuk beli bahan-bahan buat dimsum, kalo kamu ambil aku gak bisa belanja, sementara pesanan sudah banyak yang masuk.” Bukan Abizar namanya kalo mendengarkan omonganku, “Diam, ini hakku juga, uangku kan uangmu, nah uangmu juga untukku.” Setelah mengambil uang modalku, dia melemparkan dompetku, dan mengambil kunci motor di tanganku, “Bi, aku kan mau ke pasar.” Dia tidak menengok ke arahku, hanya menstarter motornya, lalu langsung jalan, sambil teriak “Kamu pergi ke pasanya naek angkot aja. Aku ada urusan penting, gak usah manja gitu jadi perempuan.” Aku, sekali lagi hanya bisa mengehela napas panjang dan bertanya dalam hati, kenapa Abizar bisa berubah seperti ini, aku bertanya-tanya juga, apakah ini sifat aslinya, apakah selama ini, selama kami kenalan dia hanya menunjukkan sifat baiknya saja, apakah aku salah menikah dengannya? Akhrinya, pertanyaan itu, pertanyaan yang paling aku takutkan terlontar juga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD