Telepon Subuh-subuh Buta

1245 Words
Setelah kami puas berkeliling kemarin, walaupun tidak semua tempat yang sudah kami rencanakan bisa kami datangi, tapi paling gak, dari pertemuan kami kemarin aku dan Rangga bisa mengingat kembali kejadian-kejadian kami di masa lalu yang menyenangkan, yang tidak pernah pusing mengenai uang, mengenai apa yang dipikirkan orang lain mengenai kami, tidak juga pusing memikirkan besok kami akan melakukan apa, yang ada hari-hari ketika kami masih sama-sama jadi siswa siswi sekolah menengah itu adalah belajar, jajan, kumpul dan ngobrol-ngobrol, “Satu hal yang bikin kita pusing kala itu adalah ketika harus ujian akhir semester dan ujian kenaikan kelas.” Begitu ujar Rangga kemarin, aku mengangguk setuju, “Betul banget. Aku yang pusing karena harus menyelesaikan soal matematika dan kamu yang gak berhenti gangguin aku, untuk minta contekan jawaban ujian Bahasa Inggris, kamu ingat, gak, sampe kamu pernah hampir dikeluarin dari kelas gara-gara ketauan bolak-balik ke mejaku dengan alasan minjem penghapus, padahal lihat jawabanku,” Rangga tertawa, “Itu aku malu banget, loh. Pak Supriyadi tuh, kerjaannya. Lagian kok beliau tau aja, ya, niat aku ke mejamu itu karena mau nyontek. Padahal udah sebisa mungkin aku gak nunjukin kalo aku nyontek.” Aku menimpali lagi, “Ya mana ada guru yang gak curiga sama kelakuanmu, aku juga kalo jadi guru pengawas gitu, pasti bakal curiga lah, kalo kamu bolak balik gitu.” Lalu kami tertawa, lepas. Seperti tidak ada beban. Mood yang baik, sangat baik malah, untuk memulai hariku besok, dan mala mini juga mataku seperti sudah tidak bisa diajak kompromi lagi, sejak tadi, sudah kriyep-kriyep, minta tidur, padahal biasanya, jam-jam segini mataku masih ngejreng. Pukul setengah tiga subuh, aku terbangun seperti sudah ada alarm di dalam badanku, secara otomatis bangun dan bergerak sendiri, keheningan malam tidak pernah gagal membuatku khusyuk untuk salat, menumpahkan semua rasa yang aku rasakan, semua kejadian yang aku alami. Sejak bercerai dengan Abizar, aku memang menjadikan Allah tempatku berbagi, tidak hanya sebagai tempat berkeluh kesah, tapi juga sebagai tempatku membagikan rasa yang aku rasakan, sedih, senang, bahagia, kecewa, patah hati, semua. Tidak ada yang luput dari curhatku ke Allah. Semua ini aku lakukan karena Ibu. Iya, Ibu yang memintaku untuk mulai membiasakan salat tahajud, “Selain janji Allah akan bangunkan kamu rumah di surga firdaus, Allah juga menjanjikan bahwa jika kamu mengalami kesulitan Allah yang langsung bantu, jika ada yang mau jahatin kamu di manapun, pasti Allah lindungi, dan semua langkahmu Allah yang tuntun langsung, Tan. Itu janji Allah kalo kamu ngerjain tahajud. Mulai aja dari dua rakaat salat tahajudnya dan satu rakaat witir. Nanti kalo udah terbiasa, naikan lagi jumlah rakaatnya, dua rakaat salat tahajudnya tiga rakaat witirnya, terus begitu, sampe kamu nyaman. Ingat, yang dicari dalam salat itu khusyuknya, bukan banyak-banyakan rakaatnya. Ya, kalo kamu khusyuk dan jumlah rakaat yang dikerjakan banyak juga jadi nilai lebih, tapi kerjakan dengan tenang, biar hati kamu juga tertaut ke Allah.” Dan pesan itu yang selalu aku pegang sampai sekarang. Kalaupun males banget, tidur baru sebentar banget, minimal dua rakaat tahajud dan satu rakaat witir aku kerjakan, sebisa mungkin gak aku tinggal salat sunah tahajud dan salat sunah duha ini. Karena benar kata Ibu, kalo aku lagi buntu ide, lagi mentok banget dalam hal kerjaan, pasti ada aja jalan yang gak diduga-duga. Sekitar satu jam aku menghabiskan waktu di atas sajadah, ngobrol sama Allah, aku lipat sajadahku, dan sambil menunggu azan subuh, aku membuka handphoneku, menemukan beberapa chat dari Pak Anhar yang meminta laporan penjualan, lalu dari Ibu bos yang meminta laporan yang tadi tidak selesai aku kerjakan, nanti jam sepuluh pagi ditunggu, lalu chat dari Yani. Setelahnya aku melihat story w******p yang jarang banget aku buka dan entah kenapa kok tangan ini tergerak untuk membukanya. Story Rangga yang pertama kali muncul, memajang foto gelas kopi kami berdua tadi, lalu memajang foto sepatuku, dengan caption, “Sepatu si dia, cinta pertama yang baru ketemu lagi.” Aku tertawa, captionnya jahil banget, dan aku scrolling terus ke bawah, sampai menemukan story status Prana, dia memajang foto mesin kopi yang ada di pantry, tulisan captionnya membuatku bertanya-tanya, “Di pantry ini, di depan mesin itu, dan pada jam ini, biasanya …” dan jam dia update story itu setelah aku ingat-ingat, jamnya tepat ketika aku meninggalkan dia di ruangan, sendirian. Prana kenapa sih, biasanya dia gak pernah se-melo ini. Cuma karena aku pulang duluan, udah pasang status begitu. Lalu aku tutup story tersebut, sambil memikirkan apa yang tadi aku lihat. Apakah Prana memasang status itu untukku atau untuk Banun? Tapi, yang biasanya masih di kantor jam segitu kan aku, yang biasa lembur dan beberapa kali ketemu dengan Prana di pantry demi mengisi gelas kopi yang sudah kosong, ya, aku. Namun kemudian aku menggelengkan kepalaku, kayaknya gak mungkin deh, tapi masa iya sih, kalo iya apa artinya dia kehilangan teman lembur atau dia gak suka aku ninggalin dia lembur sendirian atau jangan-jangan … yak, handphoneku berdering, membuatku kaget. Subuh-subuh handphone berdering tuh bikin sport jantung, karena jauh dari Ibu dan Bapak, aku suka parnoan, khawatir ada apa-apa sama mereka, ketika aku melihat nama si penelpon, tertera tulisan “Rangga’s calling” lah, ini orang ngapain subuh-subuh nelepon begini, dia kenapa? Dengan deg-degan aku mengangkat teleponnya, “Assalamualaikum, Ga, kenapa?” yang di seberang sana malah terkekeh, “Pasti masih merem nih, terima telepon aku,” aku mengelak dari tebakan Rangga, “Enak aja, enggak, ya. Udah dari pukul tiga tadi aku bangun, kamu nelepon aku kenapa? Kamu sakit? Kamu kenapa?” bukannya menjawab pertanyaanku Rangga malah ketawa, “Loh, emangnya kalo nelepon kamu harus ada apa-apa, Tan, harus kenapa-napa dulu baru boleh nelepon, gitu?” aku langsung menjawab ucapan Rangga, “Ya, bukan gitu. Subuh-subuh itu jam keramat buatku, jadi kalo ada yang nelepon pikiranku udah parno, khawatir yang nelepon kenapa-napa, gitu.” Rangga diam, aku diam, tapi kemudian aku bertanya lagi, “Ga, beneran gak kenapa-napa?” dia berdehem, “Ehm … kenapa-napa, sih.” Aku jadi beneran khawatir, “Ga, jangan bikin takut, deh. Kamu kenapa?” hening, aku menunggu satu menit, dua menit, “Aku keinget kamu terus, Tan. Tawamu itu terngiang, gak berubah masih sama seperti saat kita sekolah dulu,” aku tersipu, untung aja Rangga gak bisa lihat, kalo enggak dia pasti bisa ngeliat pipiku yang memerah karena bisa kurasakan wajahku memanas, “Itu aja, sih, sama mau bangunin kamu subuhan, kalo kesiangan, kan berabe.” Aku tertawa, lepas, sampe lupa kalo ini tuh masih subuh buta, “Kamu tuh, udah bikin orang khawatir, terus bikin orang ke-GR-an, eh, sekarang malah bilang bangunin subuhan. Kalo salat mah, gak kudu dibangunin atuh, udah kewajiban, kan selama ini, sebelum kamu dateng juga aku mah salat, ya, salat.” Tidak lama, Rangga bersuara lagi, “Kamu tuh, Tan, bikin aku kecewa aja, deh. Bilang gitu, kamu seneng aku bangunin, biar aku gak ngerasa sia-sia bangunin kamu, ih.” Akhirnya aku mengalah, “Iya deh, iya. Makasih, loh, Ga, kamu udah bangunin aku salat subuh. Aku gak kebayang kalo kamu gak nelepon, mungkin sekarang aku masih ngorok, ileran.” Aku mendengarnya tertawa, “Nah, gitu, donk.” Lalu azan subuh terdengar dari masjid di dekat kostanku, “Ga, udah azan, nih. Aku salat dulu, ya. Aku tutup teleponnya.” Rangga pun menjawab, “Yes, ini aku juga udah di jalan mau ke masjid. Besok, jadi, kan, kita jalan lagi, janji. Aku jemput kamu jam setengah lima, ya.” dan begitulah, obrolan kami selesai sampai di situ. Aku takbir mencoba memfokuskan diri mengabaikan hatiku yang berbunga dan bibirku yang senyum terus dari tadi karena ulah Rangga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD