Nostalgia Rangga

1260 Words
Setelah beres salat isya, aku mengambil sepatu yang dititipkan di tempat penitipan barang yang ada di depan masjid, ketika sedang memakai sepatu, dari kejauhan aku lihat Rangga sudah bersandar di mobil saat aku keluar dari masjid, lelaki itu terlihat santai dengan rambut yang kini dibasahi bagian depannya. Ada banyak kalimat yang ingin sekali aku gumamkan kepadanya, ada banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku, meminta untuk dikeluarkan, tapi alih-alih menanyakan semua itu, mengutarakannya ke Rangga, aku memilih diam, mengabaikan isi kepala yang berisik ini, dan tidak satu pun yang tercetus dari bibirku. Setelah masuk ke dalam mobil, Rangga menyambutku dengan pertanyaan “Ke mana kita, Tan?” tanya Rangga, aku maklum karena dia tidak paham dengan kota Bandung. Setelah mikir beberapa saat akhirnya kuputuskan untuk makan di salah satu restoran kesukaan Prana. Setiap pergi bersama dalam urusan pekerjaan biasanya Prana mengajakku makan di sana. Hah? Kok Prana, sih, ini otak kenapa, tadi mikir Rangga, sekarang inget Prana, suka takjub dan heran sendiri dengan isi kepalaku yang random ini. “Jalan aja, biar aku jadi google map.” Ucapku pada Rangga, tapi sepertinya dia tidak setuju dengan ide tersebut, “Idih,” sanggah Rangga, pungkasnya, aku menawarkan solusi, “Atau aku yang nyetir gimana?” tanyaku. Rangga menggeleng keras, “Big No. Kayak bukan laki aja disetiri cewek. Yodah Mbak google Map, hayok, setelah ini ke mana lagi kita?” aku tertawara, “Baik, Pak Supir, setelah dua ratus meter belok kiri, nanti setelah itu di depan ada …” Rangga memotong omonganku, “Di depan ada jodoh, gak, Mbak Google?” aku menanggapinya, “Saat ini, hilal jodoh Anda belum terlihat, mungkin seribu atau dua ribu tahun lagi baru terlihat.” Rangga melihat ke arahku, lalu kami tertaawa, “Udah jadi mumi kalo lamanya segitu tahun, Tan. Kelamaan jadi jomlo, bisa jadi kayak besi karatan aku.” Setelah sampai di tempat makan yang kami tuju, kami makan dalam diam, iya, aku dan Rangga sama-sama orang yang lebih banyak diam ketika makan, karena selain kami memang laper banget, yang kedua, kami menganggap ngobrol ketika makan itu bikin makan jadi gak fokus dan gak sopan, entah bagaimana pendapat orang lain, tapi menurut kami begitu. Ketika sudah selesai makan, piring kotor bekas kami makan dirapikan Rangga, sampahnya dijadikan satu dalam satu piring. Lalu ditumpuk dan disimpan di salah satu sisi meja, seperti kebiasaan lamanya, dia selalu bialng, “Jangan mentang-mentang kita bayar lantas makan di restoran seenaknya. Setidaknya membereskan piring bisa membantu meringankan pelayan. Juga anggap saja berbuat baik kepada sesama.” Iya, itu kebiasaan lama Rangga yang rupanya masih bertahan sampai sekarang. Setelah selesai makan, aku dan Rangga memilih untuk pindah tempat ke coffee shop yang tidak jauh dari tempat kami makan tadi, “Caramel latte, dengan sirup caramel yang banyak, cheese cake, terus untuk saya kopi hitam panas dan red velvet cake. Ada lagi, Tan?” aku menggeleng, “Cukup, Ga.” Setelah membayar, kami lalu mencari tempat duduk yang tidak terlalu berisik tapi tetap bisa melihat lalu lalang orang, “Kamu masih inget gitu, Ga, semua minuman dan makanan kesukaanku.” Dia mengangguk, “Jangankan makanan dan minuman kesukaanmu, kebiasaanmu yang suka ngelamun dan ngomong sama diri sendiri aja aku ingat. Kamu masih sering melakukan itu, Tan?” aku mengangguk, “Masih, Ga.” Lalu kami saling diam, hening, sibuk dengan pikiran masing-masing, tidak berapa lama kemudian, pelayan membawakan pesanan kami, “Tan, sudah saatnya kamu move on, jangan sendirian terus. Aku aja bisa move on dari kamu, masa kamu enggak.” Aku diam, dadaku rasanya ingin meledak mendengar ucapan Rangga, “Move on dari apa, Ga? Dulu itu kan cuma cinta monyet, aku juga gak pernah menganggap serius hubungan kita dulu. Lagian sebenarnya kita emang sepertinya cocok jadi sahabat seperti sekarang ini. Lebih nyaman, gak kebayang kalau kita jalin hubungan di luar yang namanya persahabatan. Aku bukannya belum move on.Kegagalan mempertahankan pernikahan beda dengan menjalin hubungan kayak anak-anak ABG yang baru pacaran.” Rangga mengaduk-ngaduk minumannya yang tersisa seperempat gelas. Memperhatikanku saat bicara. Barulah setelah aku terdiam dia mulai mengutarakan apa pendapatnya, “Menurutku, seorang yang pernah gagal satu kali belum tentu akan gagal di waktu berikutnya. Pasti akan ada kesempatan untuk memperbaiki dan memulai dari awal. Jadi, kalo kamu gak mau nyoba dari sekarang, kapan kamu bisa membuka hatimu? Atau …” aku menunggu terusan dari jawabannya itu, “Atau apa, Ga?” dia menatapku dengan wajah seriusnya, “Kamu mau coba memulainya lagi denganku, perlahan aja, Tan. Jangan anggap aku pacarmu, minimal anggap aku teman dekatmu, biar kamu bisa bangun lagi kepercayaanmu sama laki-laki.” Aku terdiam, apa yang diucapkan Rangga ini, kalau dipikir-pikir omongan ada miripnya dengan omongannya Prana. Atau mungkin karena lelaki terlalu berpikir sesimpel itu, mereka akan menghabiskan kecewa, air mata, dan sedihnya, lalu memulai hubungan yang baru. “Aku liat ada seseorang yang mencoba berusaha untuk ngedeketin kamu, Tan. Gak mau dicoba?” celetuk Rangga. Gerakanku mengunyah es batu terhenti seketika. “Tau dari mana? Jangan sok tahu deh, tempe aja.” Rangga ngikik gak jelas, “garing tau gak sih, Tania tuh gak cocok buat becanda.” Aku cemberut, “Punya wajah judes gak enak juga ya, giliran ramah dan mencoba baik dikira garing, serius udah sering itu.” Dia nyeletuk lagi, “Makanya jangan terlalu judes juga. Coba membuka diri, siapa tahu dengan begitu kamu gak akan ngerasa sendiri lagi.” Aku menghela napas, tahu darimana Rangga kalau aku selalu merasa sendiri? Memang benar kesepian adalah teman sejatiku. Saat berstatus jadi istri orang pun rasanya aku kesepian. “Nanti aku coba, deh,” jawabku asal. “Jangan jauh-jauh dulu, itu aja yang ada di depan mata. Aku tahu, Prana suka sama kamu,” ungkap Rangga. Udah kayak cenayang aja ini anak. Namun, emang bener, sih. Gak bisa dipungkiri cinta Prana memang benar adanya, tetapi ada keraguan dalam hatiku. Aku menggelengkan kepala, “Jangan ngada-ngada, Ga,” elakku. Kupalingkan wajah karena malu. Obrolan kami berlanjut random. Hingga hari semakin larut Rangga mengantarku kembali ke Indekos. Lalu dia pulang ke hotel naik ojek Online, padahal aku sudah menawarkan diri untuk mengantarnya dan pulang sendiri. Sayang dia bersikeras menolak. Setelah mandi, membersihkan badan, dan memilih daster untuk bisa istirahat dengan nyaman, di atas kasur, kurebahkan badan karena lelah dan kenyang, jangan tanya berapa banyak makanan yang dipesan Rangga, tumis kangkung saja dua porsi. Katanya mengingatkan dia pada masa lalu, sepanjang perjalanan Rangga terus-terusan memberi nasihat dan petuah agar aku sedikit membuka hati. Karena bagi Rangga, penyesalan pasti ada jika aku terus-terusan mengelak dan menghindari pernyataan cinta Prana. Meski lagi-lagi aku berkata tidak, ada rasa menyusup dalam hati. Rasa takut ditinggalkan, karena benar apa kata Rangga bisa saja Prana menyerah dan mencari laki-laki lain. Jika sudah seperti itu aku akan terus menjalani hidup dengan kesendirian. Dan ketika kami akan berpisah tadi, dengan serius Rangga menawarkan menjalin hubungan denganku, “Aku serius, ayok kita pacaran. Untuk kamu latihan, biar bisa buka hati dengan lelaki lain, kalo setelah ini aku dicampakkan karena kamu ketemu sama jodohmu, aku rela.” Aku ketawa ngakak, dapet ide darimana sih, anak ini, ngomong begitu, “Gak, deh. Nanti kalo cinta beneran, sukanya keterusan, gimana?” dia ikutan ngakak. Dan begitulah malam ini kami akhiri dengan janji, besok kami akan bertemu lagi, “Besok kita nonton, ya. Aku gak mau, ya, nunggu kamu kelamaan kayak tadi, loh, Tan. Aku bakal datengin kantor Pak Anhar, dan meminta kamu untuk pulang cepat, kalo sampe kamu lembur lagi.” Aku mengalah dan menjawab, “Iya-iya, khusus untuk kamu, besok aku akan tegas untuk menolak kalo dikasih kerjaan sampe aku harus lembur. Hati-hati, ya, di jalan.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD