Puspa Mencoba Merayuku

1110 Words
Saat sedang menunggu Bapak dan Ibu dengan menghabiskan waktu ngobrol sama Rangga, pintu ruangan kamarku diketuk. Tapi bukan suster atau dokter yang nongol, melainkan wajah Puspa dan Joko, kakaknya Abizar yang terlihat. Rangga seperti meminta persetujuanku untuk membukakan pintu buat mereka, “Tan, mau terima mereka atau aku panggil satpam untuk usir mereka?” aku menggeleng, “Jangan panggil satpam. Kasih aja mereka masuk, aku ingin tau mereka mau apa, malam-malam datang ke sini.” Ketika pintu dibuka, Puspa menghambur ke arahku sambil menangis dan Rangga yang melihat hal tersebut menahan Puspa sebelum dia sampai ke ranjangku, “Gak usah drama. Duduk aja di sofa itu, Anda berdua gak saya izinkan untuk berada dalam jarak dekat dengan Tania.” Lalu Kak Puspa menengok ke arah Rangga dan mengernyitkan dahinya lalu bertanya, “Memangnya kamu siapa, kok bisa-bisanya melarang saya bertemu dengan Tania?” Rangga mengibaskan tangannya di depan wajah Puspa, “Kamu gak perlu tau siapa saya, yang pasti saya bisa membuat kamu dan suamimu juga kaki tanganmu merasakan dinginnya jeruji besi. Dan satu hal lagi yang pasti, saya bukan orang jahat seperti kalian. Silakan duduk di situ atau kalian akan saya usir paksa keluar dari ruangan ini.” Ucap Rangga sembari menunjuk sofa untuk mereka duduk. Sadar akan situasi yang tidak menguntungkan untuk mereka Joko yang melihat kejadian ini, menarik tangan istrinya dan mengajak Puspa duduk di sofa. Mereka diam beberapa saat, “Jadi, ada keperluan apa kalian datang ke sini?” tanyaku dengan nada tidak bersahabat dan wajah yang tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukaku terhadap kedua manusia ini. Dan drama dimulai, Puspa menangis lagi, saking serunya akting, dia sampe pura-pura menyusut idungnya, seolah ada sesuatu di sana, padahal aku bisa melihat idungnya kering, tidak ada apa pun. Puspa mencoba untuk mencairkan keadaan dengan menanyakan keadaanku, “Bagaimana keadaanmu, Tan? Kamu sudah makan malam? Tadi Kak Puspa ke sini sambil pesenin bubur ayam kesukaanmu, sebentar lagi sampai.” Aku memasang wajah lurus, kaku, dan tanpa ekspresi, kemudian menanyakan lagi ada perlu apa mereka ke sini, “Yah selain mental saya sedikit terganggu dan beberapa bagian tubuh saya yang memar juga sakit akibat ulah adikmu, saya baik-baik saja. Saya beri waktu sekali lagi untuk kalian menjawab ada perlu apa kalian malem-malem begini ke sini atau silakan keluar.” Joko berdehem, mungkin memberi tanda ke Puspa agar menyampaikan maksud dan tujuan mereka. “Alasan Kak Puspa dan Mas Joko ke sini, yang pertama adalah meminta maaf atas semua yang sudah dilakukan Abizar terhadapmu, Tan. Kak Puspa tau yang dilakukannya memang di luar batas. Tapi, Kak Puspa juga tau kamu adalah orang baik dan kita pernah jadi keluarga. Kedatangan Kak Puspa ke sini meminta kerelaan hati Tania untuk memaafkan Abizar.” Aku menatap Puspa, ada nyali juga perempuan ini ke sini, setelah apa yang dilakukan adiknya, apa yang dilakukan istri adiknya, masih ada muka juga dia mendatangiku, “Memaafkan Abizar dan istrinya? Tenang saja, seperti yang Anda bilang barusan bahwa saya adalah orang yang baik, saya sudah memaafkan mereka sebelum Anda datang ke sini.” Wajah Puspa mendadak cerah, mendung pura-pura yang tadi dia pasang mendadak sirna berganti dengan senyum menyebalkan yang pernah aku ingat. Rangga menatap ke arahku, “Tan,” mungkin Rangga ingin bertanya maksud dari memaafkan itu apa, “Iya, saya sudah memaafkan kamu, adikmu, dan adik iparmu yang luar biasanya nyalinya. Tapi saya akan meneruskan proses ini.” Seketika wajah Puspa berubah mendadak merah padam, “Kalo tujuan kalian ke sini untuk berdamai dengan saya, maaf, itu tidak akan pernah kalian dapatkan. Kalo sudah tidak ada lagi yang mau kalian bicarakan, silakan keluar. Kita bereskan saja urusan kita di depan meja hijau. Jangan buat saya jadi tambah kesal dengan kalian, silakan pergi.” Puspa rupanya belum menyerah, dia masih berusaha untuk mencoba meluluhkan hatiku agar membatalkan tuntutanku terhadap Abizar, “Tan, kita pernah jadi keluarga, Tania pernah jadi adik ipar Kak Puspa. Masa perkara seperti ini saja sampai harus kamu bawa ke meja hijau? Kita bisa selesaikan ini baik-baik secara kekeluargaan. Kak Puspa akan menuruti semua keinginan Tania, tapi tolong lepaskan Abizar dan istrinya dari tuntutan, ya. Kak Puspa mohon.” Aku mendecih, “Keluarga? Siapa? Aku? Jadi bagian dari keluarga kalian? Gak salah dengar tuh. Bukannya selama saya terlibat perkawinan dengan Abizar, selama kami berumah tangga, kamu, anak-anakmu, ibu kalian tidak pernah menganggap saya ipar apalagi menantu. Saya hanya jongos kalian yang kalian bayar di depan, dengan memberi saya mahar. Selebihnya, saya kalian jadikan mesin penghasil uang, pembantu yang tidak kalian bayar untuk mengurusi semua keperluan keluarga kalian, dan menjadi sasaran siksaan kalian. Itu yang kalian sebut keluarga? Setelah ada kejadian begini, kamu baru sebut saya keluargamu, kemarin ketika saya tinggal di rumahmu, pernah kamu memanggil saya keluarga, apa pernah kamu menganggap saya keluarga, saya diperlakukan tidak ubahnya orang yang numpang di rumah kalian.” Aku menarik napas kasar, “Rangga, tolong suruh mereka keluar. Urusanku dengan mereka sudah selesai.” Aku bilang begitu ke Rangga dan Rangga dengan sigap menggiring Puspa dan Joko keluar. Tidak berapa lama, makanan yang katanya mereka beli untukku datang, “Ini, sekalian dibawa saja. Sudah cukup kamu memberi Tania sesuatu yang bisa membahayakannya. Siapa yang bisa jamin kalo makanan ini aman dan tidak ada racun di dalamnya?” setelah menyuruh mereka keluar, Rangga menutup pintu dan menguncinya. Aku bisa melihat Puspa mengetuk pintu dan mencoba membuka pintu dengan memaksa beberapa kali ngejegrek-jegrekin pintu kamarku, “Abaikan saja. Kalo lima menit lagi mereka masih seperti itu aku akan panggil satpam. Kamu istirahat saja, Tan.” Aku mengangguk. Tidak berapa lama jeritan Puspa yang meminta untuk dibukakan pintu menghilang dan ketukan datang, Rangga yang bangun untuk melihat siapa yang datang, rupanya Prana, Bapak, dan Ibu. “Ngapain perempuan sama suaminya itu datang ke sini? Dia gak ngapa-ngapain Tania, kan? Kamu gak apa-apa, Tan?” aku mengangguk. “Tenang aja, kan ada aku. Mereka ke sini tadi minta Tania untuk mencabut laporan kita ke polisi dan membatalkan tuntutan yang sudah kita ajukan.” Rangga menjelaskan ke Prana, “Gak tau malu. Punya muka juga mereka berani ke sini. Manusia-manusia muka tembok.” Aku bisa mendengar Prana bicara dengan nada yang emosi. Bapak dan Ibu hanya diam, mereka tau, kalo mereka bicara bakal tambah runyam urusan. Tidak berapa lama Suster Ria masuk ke kamar dan membawa obat untuk aku minum mala mini. Setelahnya aku memutuskan untuk tidur. Aku bisa melihat Prana mengambil tempat di pojok ruangan dan membuka laptopnya, begitu juga dengan Rangga, dia membukan handphonenya, mungkin untuk mengecek kerjaan, sementara Bapak tidak berhenti berzikir, mulutnya terlihat komat kamit, dan Ibu membaca quran. Aku mengucap syukur, sekali lagi atas hadiah Allah untukku karena diberikan mereka sebagai orang-orang yang selalu ada dan siap sedia untukku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD