Nasi Uduk Untuk Semua

1080 Words
Azan isya berkumandang, Bapak pamit untuk salat di masjid rumah sakit, dan Ibu salat di ruanganku, “Kunci pintunya. Kalo bukan Bapak, Prana atau Rangga yang masuk, jangan dibukakan pintu. Nanti Bapak titip juga sama perawat yang ada di luar.” Ibu dan aku mengangguk. Sebelum Bapak keluar dari ruangan, ada suster yang masuk, “Malam, Bu Tania, Pak, Bu.” Dokter Anastasia masuk ke kamarku bersama seorang suster yang terlihat suster senior, karena tampak suster ini sudah berumur, “Ini Suster Ria, mulai hari ini Suster Ria ditugaskan untuk mengantarkan obat dan mengurus semua keperluan Bu Tania sampai nanti Bu Tania keluar dari rumah sakit ini. Jadi, selain Suster Ria dan saya, tidak akan ada yang saya berikan izin untuk masuk ke kamar Bu Tania. Petugas kebersihan pun, nanti akan diantar dan ditunggui oleh Suster Ria. Saya mewakili pihak rumah sakit, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian yang menimpa Bu Tania, ini kelalaian saya. Tindakan ini juga saya ambil sebagai bentuk dari tindakan pencegahan agar kejadian seperti kemarin dan kejadian yang tidak diinginkan lainnya terjadi.” Penjelasan dari Dokter Anastasi membuat Bapak akhirnya bisa pergi ke masjid dengan tenang, “Ingat, kunci pintunya.” Setelah Bapak keluar dari kamar, Ibu mengunci pintu, dan ke kamar mandir, mungkin untuk mengambil air wudu. Aku mencoba untuk menarik napas panjang, aku juga akan salat, barengan sama Ibu, tapi karena belum memungkinkan untukku turun dari ranjang dan ambil air wudu di kamar mandi, jadi aku memutuskan untuk tayamum. Setelah selesai Ibu keluar dari kamar mandi, kami salat isya berjamaah. Tepat ketika Ibu mengucapkan salam, Rangga dan Prana datang. Ibu memangkas doanya, sementara aku masih mencoba menyelesaikan zikir dan berdoa. “Nasi uduknya langsung diborong nih, Tan. Kamu harus makan yang banyak, karena aku sama Prana nungguin nih nasi dibungkus lumayan lama.” Rangga datang dengan wajahnya yang ceria. Setelah melipat mukena, aku mengangguk, “Pasti aku makan yang banyak. Suster sama dokter di luar udah dikasih semua, Ga?” Rangga mengangguk, “Beres, sesuai pesanan.” Dan tidak berapa lama Bapak masuk, kami makan malam sambil ngobrol. “Tadi Dokter Anastasia ke sini. Ngasih tau bahwa sampe Tania keluar dari rumah sakit ini, dia hanya menugaskan satu suster, Suster Ria namanya, untuk ngurus semua keperluan Tania. Jadi, mengurangi kemungkinan hal yang buruk seperti kemarin terjadi. Sebagai bentuk tanggung jawab dia dan rumah sakit juga katanya.” Rangga yang mendengar hal tersebut menanggapi, “Tapi saya sudah berencana untuk melaporkan kelalaian rumah sakit ini, Pak. Karena kalo sampe kejadian kemaren membuat Tania kenapa-kenapa, kan kita yang rugi.” Aku mencegah Rangga, “Gak perlu, Ga. Toh akunya gak kenapa-kenapa. Gak usah bikin masalah baru, deh. Lebih baik fokus aja dulu sama urusan Abizar dan kroni-kroninya. Mereka yang harus kamu pastikan mendapat hukuman setimpal.” Rangga menatapku, mungkin dia memastikan bahwa aku yakin dengan ucapanku, “Serius. Aku gak mau ada masalah baru, Ga. Sudah cukup dengan permintaan maaf Dokter Anastasia dan mencarikan satu suster jaga untukku.” Akhirnya Rangga menyerah. Setelah selesai makan, Bapak dan Ibu pamit sebentar untuk mengambil baju ganti di rumah, “Bapak sama Ibu pulang dulu, ya, Tan. Mau tarok baju kotor dan ambil baju ganti.” Aku bilang ke Bapak dan Ibu kalo mereka gak perlu balik ke rumah sakit, “Bapak sama Ibu istirahat aja di rumah. Toh aku sudah sehat, mungkin besok atau lusa juga aku udah boleh pulang ke rumah. Kasian Bapak sama Ibu bolak balik ke rumah sakit, tidur juga jadi kurang, nanti malah sakit.” Tapi, bukan Bapak namanya kalo menuruti apa yang aku ucapkan, “Gak usah cerewet. Dengerin omongan Bapak sama Ibu.” Akhirnya aku mengalah. “Biar aku antar, Pak, Bu.” Prana menawarkan diri, aku menimpali, “Jangan nolak kalo yang ini, aku beneran marah kalo Bapak sama Ibu nolak dianterin sama Prana pulang.” Dan Bapak menyetujuinya. Setelah mereka pulang, Rangga membuka percakapan, “Tan, kamu sudah siap ngadepin siding? Di sana semua kejadian bakal ditanya, kamu akan dipaksa mengingat setiap detil kejadian kemarin, kamu yakin kamu sanggup?” aku diam, kelebatan kejadian kemarin, ketika Abizar mengetuk pintu, mendorong paksa aku masuk, hingga kejadian itu, membuat air mataku kembali jatuh. Rangga yang melihatku seperti itu, mendekat ke ranjang, dia duduk di sampingku, “Tan. Kalo kamu gak kuat, di persidangan nanti, kamu bisa meminta untuk tidak melihat langsung Abizar. Aku yang akan mengusahakan persidangan tanpa harus menampakkan wajah Abizar langsung.” Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku, mencoba menghabiskan air mata yang jatuh tanpa bisa aku tahan. Beberapa menit berlalu, aku mencoba untuk tenang, “Aku kuat. Gak apa-apa, biarkan persidangan berjalan sebagaimana mestinya, aku harus menghadapi ini dan menerima kejadian ini sebagai salah satu bagian dari perjalanan kehidupanku.” Rangga mengangguk, “Baiklah. Besok, polisi akan ke sini, mereka akan memulai penyelidikan dengan meminta keterangan darimu.” Aku mengangguk, “Tapi tolong bantu aku, jangan sampai Bapak dan Ibu ada di dekatku, ketika polisi ke sini. Aku gak mau mereka mengetahui secara detail kejadian yang menimpaku. Biarlah mereka hanya tau sedikit tentang kejadian ini, aku gak mau membuat mereka merasa sedih lagi dengan mengetahui yang sebenarnya terjadi.” Rangga mengangguk, “Aku akan pastikan itu.” Aku meneruskan ucapanku, “Semakin sedikit Bapak dan Ibu tau tentang kejadian ini, malah semakin baik untuk mereka. Kelihatan di depan saja mereka kuat, padahal aku tau mereka hancur ketika mengetahui aku disakiti oleh lelaki yang mereka memang tidak suka. Bapak dan Ibu tidak pernah setuju dengan pernikahanku dengan Abizar.” Dan setelah obrolan itu, Rangga mengalihkan pembicaraan dengan memberi tahuku bahwa dia akan pindah ke Lampung, “Mungkin, tahun ini, aku akan pindah ke Lampung, Tan. Aku mau buka kantor cabang di sana, kalo kamu mau join, aku bakal seneng banget, loh. Itung-itung kamu ganti suasana dan melupakan kejadian yang tidak menyenangkan di Bandung ini.” Aku tersenyum, “Lampung tuh nyebrang pulau. Makan waktu perjalanan yang lumayan, Bapak sama Ibu gak mungkin aku tinggal, Ga.” Lalu Rangga memberikan ide yang di luar perkiraan, “Ya, Bapak sama Ibu diajak pindah aja sekalian ke Lampung. Nanti aku bantu carikan rumah untuk kalian, aku yang beliin rumah deh, buat kamu, itung-itung untuk mahar.” Aku terbelalak, “Apaan, sih. Mahar apa? Jangan ngaco gitu kalo ngomong.” Rangga tertawa, tertawa seperti tawa khasnya, tawa yang tidak ada beban, tawa yang mampu memikatku dan membuatku jatuh hati terhadapnya. Rangga yang sekarang adalah Rangga yang dulu aku kenal dalam bentuk pria dewasa yang bahkan jauh lebih tampan dan justru sekarang jauh lebih menyenangkan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD