Paket Misterius

1055 Words
Abizar dikenakan pasal berlapis, tindakan tidak menyenangkan, tindakan rudapaksa, dan juga ancaman terhadap korban. Sementara istrinya dikenakan hukuman pembantu kejahatan atas usahanya untuk mencelakakanku. Abizar sendiri dikenakan hukuman lima belas tahun penjara, sementara istirnya hanya dua tahun. Prana dan Rangga ingin mengajukan banding, mereka merasa hukuman itu belum sesuai dengan apa yang sudah dilakukan Abizar terhadapku, tapi aku sudah lelah dengan semua proses ini, tiga bulan aku harus bolak balik menghadiri sidang, pemeriksaan. Bukan hanya lelah hati karena harus berhadapan dengan pemeriksaan kepolisian yang tidak sebentar, lelah jiwa juga harus aku tanggung, karena harus mengingat lagi kejadian hari itu, membuatku seperti ingin menghilangkan saja ingatan khusus satu hari itu, dan lelah kaki, bolak balik belum lagi merepotkan Rangga dan Prana, karena mereka tidak mau membiarkanku pergi sendiri ke kantor polisi, “Kamu gak boleh pergi sendirian. Dengan kelakuan mereka yang seperti itu, tidak ada jaminan kalo keluarga mereka gak turun tangan juga ikut campur urusan ini. Itu istrinya aja bisa berani gitu hampir mencelakakanmu, kakaknya gak punya muka buat datengin kamu minta damai padahal jelas-jelas adiknya yang berulah. Aku sama Rangga akan bergantian nganterin kamu, kamu gak boleh pergi sendirian.” Begitu ucap Prana. * Lima bulan sudah sejak kejadian itu, aku tinggal di kontrakan yang dicari oleh Ibu. Jadilah sekarang aku, Bapak, dan Ibu tinggal di sini, rumah kontrakan yang dekat banget dengan kantor. Bahkan jalan kaki pun bisa, jadi sekarang Prana lebih sering untuk memarkirkan mobilnya di rumah dan berangkat ke kantor sambil berjalan kaki denganku, kecuali hujan, dia akan memaksaku untuk ikut dengannya. Sementara Rangga, setelah kejadian ini, dia memutuskan untuk pulang dulu ke Bogor untuk mengurus semua urusan kantornya, “Aku kembali dulu ke Bogor, setelah urusan di sana selesai, aku akan ke sini lagi. Coba dipikirkan tawaranku untuk ikut aku pindah ke Bandar Lampung, Tan. Kita buka usaha di sana.” Rangga masih mencoba untuk menawarkan untuk aku buka usaha di Lampung. Sejujurnya aku cukup tertarik dengan tawaran tersebut, hanya saja aku belum berani untuk melepaskan pekerjaanku yang sekarang, selain memang jabatan dan gajinya yang menurutku cukup untuk memenuhi kebutuhanku dan membantu Ibu juga Bapak di rumah, lingkungan kerjanya juga cukup menyenangkan untukku. Tidak ada sikut kanan kiri untuk mencari muka ke atasan atau mencoba untuk menjatuhkan satu sama lain karena mau mengincar suatu jabatan, di sini kami semua bersaing secara fair dan kantor pun menilai kinerja karyawannya dengan benar, tidak ada salah satu dari kami yang merasa dibeda-bedakan. Makanya tidak heran, hampir semua pekerja yang ada di sini adalah pekerja yang sudah lama, orang baru masuk karena memang dibutuhkan bukan karena menggantikan yang resign, dan kalaupun ada yang resign alasannya bukan karena tidak betah atau tidak puas dengan kebijakan kantor, rata-rata yang resign karena memang sudah uzur dan tidak sanggup lagi bekerja, pindah ikut suami, hamil dan melahirkan. Sedikit sekali yang resign karena tidak mau lagi bekerja di sini. Itu adalah pertimbangan paling berat untukku melepas pekerjaanku saat ini, walaupun jujur saja setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan ini membuatku sedikit bosan, tapi belum bisa membuatku teguh untuk resign. Lagipula Ibu dan Bapak juga sampe harus repot-repot cari kontrakan di dekat kantor demi mendukung aku yang ingin bekerja lebih cepat dari waktu yang sudah ditargetkan dokter, minimal nunggu sampai satu tahun dan kontrakan di sini habis. * Ketika sedang ruwet melihat laporan keuangan dari store yang ada di Jogja, tiba-tiba OB dari lantai satu nyamperin aku ke ruangan sambil membawa bungkusan, “Maaf, Bu Tania, ini ada kiriman lagi. Sama seperti kemarin, waktu saya tanya dari siapa, kurirnya bilang si pengirim tidak mau memberikan identitas. Hanya bilang dari penggemar Bu Tania, gitu.” Aku yang sebenarnya bingung ini kiriman dari siapa, mengambil bungkusan tersebut, kali ini isinya martabak telor kesukaanku, dengan secuil kata-kata, “Dimakan, ya. Tenang, ini aman dari racun dan hal-hal buruk.” Ketika sedang berpikir paket-paket yang beberapa hari ini berdatangan, tiba-tiba Prana muncul, “Cie, yang dapet penggemar rahasia mah, beda, uey.” Aku menengok ke arahnya, “Yakin, ini bukan dari kamu, Prana?” entah kenapa, tiba-tiba terlintas pikiran itu, “Kalo aku yang ngirim sih, pasti aku yang kasih langsung ke tanganmu, gak bakal aku sembunyikan, bahkan akan aku teriakkan ke seisi dunia. Aku tuh gentleman, gak bakal jadi pengecut gitu.” Aku tertawa melihat ulahnya, “Iya deh, iya. Percaya sama Bapak Prana yang gentleman.” Lalu dia juga tertawa, “Lagi ngetawain apa, sih, Mbak Tan, Pak Prana, bikin cemburu aja.” Nongol tuh tetiba si Banun yang baru balik makan siang bareng Yani. Aku langsung diam, Prana juga sepertinya tidak suka dengan ucapan Banun barusan, “Wah, ini sih rahasia antara saya dan Bu Tania. Orang lain gak boleh tau, ya, kan, Bu?” aku hanya mengangguk sekedarnya. Tidak lama, Banun langsung jalan lurus menuju ke kursinya dan duduk di sana tanpa bicara sepatah kata pun lagi. Hari ini, aku membutuhkan Yani dan Banun untuk lembur beberapa jam saja, maka aku meminta mereka untuk menemaniku lembur juga, “Yan, Nun, hari ini aku butuh kalian untuk membantuku menyesuaikan laporan penjualan dan laporan keuangan dari beberapa store. Tolong minta waktu kalian buat lembur, ya. Paling lama jam enam sore.” Yani langsung menjawab, “Siap, Mbak.” Sementara Banun diam saja, aku melihat ke arahnya, tapi tidak ada reaksi dari dia, Yani yang melihatku menunggu jawaban dari Banun, buru-buru menyenggol lengan Banun, “Nun, itu diajak ngomong sama Mbak Tania.” Banun seperti ogah-ogahan melihatku, “Harus, ya, Mbak? Selama ini kan Mbak lebih sering lembur sendirian atau ditemani Pak Prana.” Yani yang melihat hal tersebut langsung menyenggol kaki Banun dan bilang, “Nun, apaan sih.” Aku bangun dari kursiku nyamperin dia dan bilang, “Kalo kamu gak mau lembur, ya gak apa-apa. Tapi ini akan jadi catatan untuk saya buat evaluasi dan laporan ke Pak Anhar. Kamu masih dalam posisi sebagai karyawan kontrak, Nun. Aku gak tau ada masalah apa kamu sama saya, tapi pekerjaanmu, tingkahmu, loyalitasmu masih dalam pemantauan saya. Jangan melewati batas.” Ucapku dengan wajah lurus menatap wajahnya, ekspresi lempeng yang tidak menggambarkan ekspresi apa-apa. Hal barusan sukses membuat Banun menunduk. Aku tidak peduli, langsung bergegas keluar, untuk mencari udara segar sebentar, sumpek banget rasanya. Selama ini aku berusaha untuk mencoba dekat dan ngobrol dengan mereka, tapi kalo udah urusan pekerjaan, itu tidak bisa aku toleransi. Sekali-kali, harus diingatkan juga bahwa aku ini koordinator mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD