Tukang Ngadu

1110 Words
“Kamu barusan marah sama Banun, Tan?” ketika aku sedang berdiam diri di sini, di roof top kantor yang memang sering jadi tempat pelarian para pekerja yang sedang bosan atau lelah dengan kehidupan kantor, pekerjaan, atau sekedar menghabiskan makan siang dalam damai. Tidak ada peraturan tertulis di sini, hanya saja, seperti sudah sepakat bahwa tempat ini adalah tempat healing paling murah, jadi, siapa pun yang naik ke tempat ini tidak akan berisik, tidak akan ngobrol dengan suara kencang apalagi cekakak-cekikik. Kalaupun ada interaksi, hanya sekedar berbisik atau bicara pelan sekali. Kehadiran Prana yang tiba-tiba membuatku terkejut, “Apaan, sih. Bikin kaget aja.” Prana menatapku lurus tanpa ekspresi, menyadari bahwa dia menunggu jawabanku, akhirnya aku mengangguk, “Iya. Barusan aku menegurnya, kenapa, kamu gak suka, ya, kalo gebetanmu aku tegur?” Prana tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya menarik napas dalam dan memejamkan mata, lalu merebahkan tubuhnya di bangku yang ada di sebelahku. Aku menunggunya buka suara, semenit dua menit berlalu dalam hening, karena tidak ada tanggapan dari dia, aku juga memutuskan untuk diam saja. “Harusnya, kalo ada masalah jangan langsung marah gitu, Tan. Kan bisa dikasih tau baik-baik, kasian tuh, Banun lagi nangis di mejanya.” Aku menganga, melongo kebingungan, aku lalu mendorong tubuh Prana, sampai dia hampir terjatuh, “Pergi sana. Kalo kamu ke sini hanya mau nasehatin aku. Sebelum kamu ke sini, kamu udah nanya apa belum sama dia, kenapa aku sampai menegurnya?” Prana menangkap tanganku, “Tan, kamu jangan begini. Tania yang aku kenal itu walaupun galak, tapi gak pernah sampai bikin orang lain nangis.” Aku mencoba melepaskan tanganku dari genggaman Prana, “Lepas. Aku gak akan pernah menegur orang kecuali dia memang sudah kelewat batas. Dan kamu, sana, pergi. Redakan sana tangis gebetanmu, dia pasti sengaja nangis begitu karena nyari perhatianmu. Dasar gak peka.” Prana terdiam sebentar, lalu bangkit. Aku tidak melihatnya, memalingkan wajah ke arah yang lain. Entah kenapa Prana kok jadi ikut-ikutan masalah seperti ini, dugaanku sih, karena dia tidak mau Banun jadi sedih, kan yang selama ini aku tau, Prana seperti tarik ulur ke Banun, dan Banun pun seperti menaruh harapan ke Prana. Setelah sekitar lima belas menit aku berada di sini, udara bersih juga sudah penuh mengisi paru-paruku, aku memutuskan untuk turun, baru sampai anak tangga ke empat atau ke lima, OB yang biasa ada di lantai satu berpapasan denganku, seperti terburu sesuatu, “Alhamdulillah. Bu Tania, dipanggil sama Pak Anhar, saya nyari Bu Tania kemana-mana.” Aku agak bingung, tumben Pak Anhar sampe nyuruh OB nyari aku keliling kantor, pasti ada sesuatu yang urgent. Aku mengucapkan terima kasih ke OB tersebut, lalu bergegas turun ke lantai tiga, ke ruangan Pak Anhar. Sebelum masuk ke dalam, dari kejauhan aku bisa mendengar suara Banun yang menangis, hatiku jadi jengkel banget, anak ini, mau maen-maen rupanya sama aku. Dengan tatapan lurus, tegas, aku masuk ke ruangan Pak Anhar, “Permisi, Pak. Tadi kata OB, Pak Anhar nyariin saya, loh, Nun, kamu ngapain di sini? Ada masalah apa, Pak?” Pak Anhar memintaku untuk duduk, “Duduk, Tan. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin, ya.” Aku mengernyitkan dahi, masalah apa? aku tidak merasa ada masalah dengan Pak Anhar, pekerjaan, atau jangan-jangan … “Sekitar sepuluh menit yang lalu, Banun masuk ke ruangan saya sambil nangis. Dia bilang kamu meminta dia untuk lembur, tapi dengan cara memaksa. Kamu juga mengancam dia karena dia masih karyawan kontrak, dia seperti mendapat tekanan dari kamu.” Aku menatap Pak Anhar, lurus, “Oo … begitu. Terus dia cerita, gak, Pak, kalo tadi dia bilang kalo saya biasanya lembur sendiri. Lalu dia nanya ‘Harus, ya, Mbak?’ yang maksud dari ucapannya adalah, seperti menanyakan keseriusan saya meminta dia untuk lembur?” Pak Anhar menggeleng, “Banun hanya bilang bahwa kamu mengancamnya karena dia masih karyawan kontrak.” Aku tertawa, “Wah, pandainya anak ini memutar balikkan fakta. Sebentar, Pak, sekalian aja, deh, saya laporan mengenai kinerjanya.” Banun menatapku, “Mbak, kita kan lagi bahas mengenai ucapan Mbak tadi.” Aku menatap tajam ke arahnya, “Loh, iya. Saya juga lagi bahas itu, saya kalo bicara akan menyampaikan faktanya juga, biar Pak Anhar tau, manusia model apa, kamu.” Aku keluar ruangan, lalu mengambil data absensi yang setiap bulan pasti aku minta ke bagian HRD, untuk mengecek kehadiran, jam datang, jam pulang, izin, sakit, kehadiran tanpa keterangan dua orang yang jadi timku, Yani dan Banun. Lalu aku juga mengambil beberapa pekerjaan yang dari minggu kemarin aku minta untuk Banun selesaikan tapi sampai sekarang belum beres juga, dan terakhir, aku mengajak Yani ikut aku ke ruangan Pak Anhar, “Yan, kamu tau Banun di mana?” Yani menggeleng, “Tadi sih dia izin mau ke toilet katanya, tapi belum balik-balik dari tadi.” Aku menghela napas, “Kamu ikut saya ke ruangan Pak Anhar. Banun ada di sana.” Tercetak jelas di wajah Yani, “Banun ngapain ke ruangan Pak Anhar, Mbak?” aku berjalan sambil menjawab pertanyaan Yani, “Ngadu!” Yani tidak bersuara, tapi aku bisa mendengar dengan jelas langkah kakinya mengikutiku di belakang sambil menggumam, kecil tapi bisa aku dengar, “Banun cari masalah aja, ih.” Setelah sampai di ruangan Pak Anhar, aku duduk di depan Pak Anhar, “Jadi, sebelum saya evaluasi pekerjaan Banun, saya mau Bapak mendengar juga saksi yang saat itu ada di waktu dan tempat kejadian. Yani, coba ceritain, apa yang tadi terjadi.” Lalu Yani menceritakan dengan detail, apa yang aku ucapkan, apa yang Yani sampaikan, dan juga apa jawaban Banun. Setelah selesai, aku bertanya, sekedar untuk mengkonfirmasi ke Pak Anhar, “Kalo begitu kejadiannya, menurut Bapak, apakah saya yang terlalu keras atau cara menjawab Banun yang gak sopan? Selama ini saya mencoba berusaha untuk ngobrol sama mereka, Yani dan Banun karena saya mau mereka menganggap saya tidak hanya sebagai koordinator tapi juga teman. Tapi, mereka juga harus paham, bahwa ada batasan yang harus mereka sadari bahwa mereka, bagaimana pun keadaannya adalah tim saya, mereka harus nurut mengenai apa yang saya ucapkan, apalagi itu berkenaan dengan pekerjaan. Apakah saya salah?” Pak Anhar terlihat sedang berpikir, mungkin mencari kata-kata yang pas dan cocok untuk menanggapi persoalan ini, “Banun yang kurang tepat berucap dan bertindak. Seharusnya, kalo itu berkenaan dengan pekerjaan, apalagi selama ini Tania tidak pernah cerewet meminta kalian berdua untuk lembur, ya, harus mau. Kalaupun tidak berkenan untuk lembur, harusnya disampaikan dengan bahasa yang baik, bukan seperti itu.” Aku merasa puas dengan jawaban Pak Anhar. Setelah itu, aku melihat wajah Banun terkesiap, dia seperti kaget mendengar jawaban Pak Anhar, mungkin dia merasa sudah di atas angina, tadi. Jadi ketika Pak Anhar menanggapi dan mengeluarkan ucapan yang di luar ekspektasinya ini, dia terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD