Rahasia Prana

1065 Words
“Enggak, Tan, enggak ada maksud apa-apa, aku hanya menyimak dengan seksama apa yang kamu bilang barusan, soalnya mau aku catat, aku ingat-ingat, biar tidak lupa.” Ucapnya lagi, rupanya masih meneruskan topik pembicaraan kami yang tadi, “Untuk apa?” tanyaku, keheranan. “Ya jelas, donk, untuk mempersiapkan diri menjadi suami yang kamu impikan, untuk memenuhi semua harapanmu untuk suamimu kelak, biar aku jadi lelaki idamanmu.” Ujar Prana dengan santainya. Jujur ada sedikit lonjakan yang terasa dalam perutku. Bisa-bisanya Prana berpikiran sejauh ini, padahal sebenarnya, tadi itu aku hanya mengemukakan pendapat tentang kesiapan menghadapi pernikahan. Bukan memberi kode hingga dia berpikir ingin menikahiku. “Siapa yang bilang aku nerima kamu jadi suamiku? Memangnya aku akan menikah denganmu? Ke-PD-an banget kamu.” ucapku. “Gak tau, lihat saja nanti. Aku sih pengennya iya.” Demi menentramkan hatiku yang berbunga-bunga sekaligus bingung, galau, ah … entah apa deh ini namanya, aku lalu menutupinya dengan bertanya, “Ngapain bahas pernikahan, sih?” Aku protes, Prana tersenyum dengan memancarkan ketenangan jiwa dari wajahnya. Perempatan terakhir sebelum mobil berbelok menuju kawasan indekosku, Prana kembali menutup telinganya. Kali ini dia juga menaikkan suhu AC karena rasanya memang sudah dingin. Antrean kendaraan di perempatan ini lumayan padat. Malam terus beranjak naik. Dengan perhitungan kasar, aku mengira-ngira jam berapa akan sampai di indekos, dan jam berapa Prana akan sampai di rumahnya. Hal ini tidak dapat dibiarkan begini terus. Tidak seharusnya pula aku selalu bersamanya. Berbahaya untuk hatiku, hatinya, untuk kami berdua. “Sebetulnya kamu yang memulai, Tan. Tiba-tiba membicarakan pernikahan.” Ucapnya lagi, dan aku menatapnya serius, bukannya tadi lelaki itu yang memulai. Bagaimana bisa jadi aku yang memulai semuanya? “Aku bilang, kamu jangan menganggapku aneh, tapi kamu malah jawabnya tentang pernikahan.” Ucapnya sambil tersenyum, senyum apa itu, senyum ngece, senyum ngeledek, atau senyum merayu, sih. Ya Allah, senyum aja bisa banyak gitu macamnya, jadi serba salah aku dibuat cuma karena perkara senyum aja. “Hah, iya, tah?” tanyaku dengan suara pelan, aku mengingat kembali awal mula percakapan kami. Mungkin aku memang terpancing untuk membicarakannya karena memang pengalaman kurang menyenangku mengenai pernikahan atau aku membahas ini karena lelaki yang jadi lawan bicaraku adalah Prana, jadi, ini mana yang bener, sih, ya. Ini ada apa sebenarnya dengan hatiku. Kalian yang baca tulisanku ini, jangan marahin aku, ya, karena jujur, aku bingung. Prana, lelaki ini sukses membuatku bingung sendiri dengan perasaanku. Kurasakan wajahku memanas, dan aku yakin wajahku sekarang memerah, dan aku berharap rona wajahku bisa disembunyikan, karena saat ini aku sedang sangat malu. Namun, sepertinya Prana menyadari itu. Mobil menepi tepat di depan gerobak penjual batagor. Padahal beberapa saat lalu selepas meeting kami mapir di rumah makan padang. Aku melihat Prana turun dari mobil, bicara dengan penjual batagornya, mungkin memesan beberapa menu untuk disantap, lalu masuk ke mobil, dan melanjutkan pembicaraanya, “Mungkin kamu pikir aku aneh, musik terdengar di speaker mobil, tapi aku malah pakai earphone. Akan kuceritakan satu rahasia kepadamu,” ucapnya. Dia berhenti sejenak kala penjual batagor mengantarkan pesanannya. Kami tetap dalam mobil dengan kaca yang dibuka lebar-lebar. “Kalo kamu penasaran dan mau tau, jujur saja, sebenarnya benda-benda ini hanya sedikit membantu. Aku masih bisa mendengar apa yang tidak ingin aku dengar. Namanya Misophonia, kondisi neurofisiologis di mana penderita memiliki reaksi negatif yang tidak proporsional terhadap suara tertentu. Aku tidak dapat mengendalikan reaksi yang timbul karena ketakutan ini. Dalam hal ini aku tidak suka mendengar suara klakson. Bunyi bising kendaraan yang ngebut, diselingi dengan klakson yang ditekan berkali-kali, dan dengan keras.” “Astagfirullah, pantas tadi kamu tersiksa banget waktu aku nyetir. Maaf, Prana, aku sungguh minta maaf.” Aku terkejut mendengar penjelasannya. “Bukan, karena cara menyetirmu, tapi aku tersiksa karena mati-matian melawan reaksi yang ditimbulkan. Orang-orang misophonia cenderung emosional. Hal yang paling umum adalah amarah yang memuncak. Dan aku berusaha agar tidak marah sama kamu.” Aku terpaku pada pemandangan di depanku. Bukan Prana, melainkan orang-orang yang sedang antre jajan batagor. Meski begitu, diriku dipenuhi dengan rasa ingin tahu, mengapa bisa terjadi begitu. Seberapa mengganggukah suara klakson bagi Prana. Bukankah berkendara tanpa menyalakan klakson sama saja dengan makan sayur tanpa bumbu penyedap. “Aku tahu kamu penasaran,” sambungnya. “Kalau aku cerita, berjanjilah hanya kamu yang tahu, hanya sedikit orang yang tahu dan paham dengan kondisiku. Sebagian besar keluargaku dan sekarang ketambahan kamu.” Aku keheranan, “Kenapa cuma aku? Emang ini aib banget, ya?” Jujur aku semakin heran. “Bukan aib, tapi dulu, aku sering jadi bahan ledekan, karena fobiaku ini, aku pernah disebut cemen, lemah. Ya, mungkin maksud mereka itu cuma bercanda, tapi ini serius buatku. Dan kenapa hanya kamu yang aku kasih tau, bahkan orang-orang di kantor juga gak ada yang tau, ya itu karena aku percaya sama kamu. Percaya kalo kamu gak akan ngeledekin aku karena kondisi fobiaku ini.” Jawabannya sangat mantap. “Kalau begitu ceritakan.” Kalimat itu tiba-tiba meluncur begitu saja. “Kejadiannya sudah lama sebenernya aku rangkum aja, ya. Wahyu, tetangga depan rumah sekaligus teman bermainku ketika masa kecil beranjak dewasa, dia bercerita bahwa dia sudah lancar mengendarai mobil. Dia juga dipercaya menggunakan mobil ayahnya, karena sudah beberapa kali mengendarai mobil itu sendiri, meskipun didampingi ayahnya. Singkat cerita, namanya remaja masih coba-coba masih penasaran, aku akhirnya termakan omongan dia. Pada waktu yang sudah disepakati, aku dan Wahyu janjian bahwa dia akan mengajakku keliling kampung dengan mobilnya. Padahal Wahyu belum punya SIM, orang umur kita aja baru lima belas tahun. Wahyu terlalu angkuh menuruti gejolak mudanya, dia memacu kendaraannya hingga terjadilah hal yang hingga saat ini masih aku ingat. Kucing hitam lewat gitu aja, Wahyu harus banting stir ke kiri, mobilnya tabrakan.” Dia menarik napas sebentar dan minum, mungkin seret karena sambil ngunyah batagor, “Belum selesai, sebentar aku habiskan dulu batagornya.” lanjutnya. “Karena peristiwa itu, Wahyu meninggal karena terjadi benturan yang cukup keras di kepalanya yang menghantam ke stiir. Kami terjebak dalam mobil, bunyi klakson seperti lolongan yang menyambut kematian Wahyu saat itu, belum lagi asap yang disebabkan karburator mobil yang terbakar, menyebabkan orang-orang yang melihat kami menjerit histeris, saling bersahutan. Hingga saat ini, di kepalaku masih terdengar suara klakson itu, suara bising orang-orang berteriak saling bersahutan.” Prana menutup ceritanya. Aku tidak tahu harus bagaimana. Lelaki yang kini berjalan keluar mengembalikan piring batagor itu ternyata menyimpan sebuah rahasia, cukup kelam dan menyedihkan. Walaupun terlihat santai menjalani hidupnya, Prana ternyata memiliki kesedihan sendiri yang tidak dia ungkapkan ke orang lain. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD