Tentang Pernikahan

1065 Words
“Aku pakai ini, ya?” Prana menunjukkan sebuah earphone. Aku sedikit mengernyitkan kening tatkala lelaki di sebelahku tersenyum dan menyumpalkan benda mungil itu pada telinganya. “Mau nelpon?” tanyaku penasaran, “Jangan bawa mobil sambil nelepon gitu, ah. Terima aja dulu teleponnya, baru kita jalan. Aku gak buru-buru, kok.” Prana hanya menggeleng, dia tidak menjawab pertanyaanku, malah menghubungkan gawainya ke audio mobil dan memastikan perangkat audio mobil terkoneksi dengan gawainya. Kali ini lagu-lagu sendu dari Payung Teduh terdengar di speaker mobil. Sebelumnya Prana berseloroh jika mendengarkan musik di mobil membuat suasana berkendara semakin hidup dan mencegah ngantuk, tapi yang aneh, audio mobil idup, dan dia tetap menyumpal telinganya dengan earphone. Aku yang melihat hal ini, asli tidak paham, karena baru kali ini, satu mobil dengan manusia ajaib model gini. Karena melihat wajahku yang terlihat kebingungan, rupanya Prana menyadarinya, lalu dia bilang, “Gak usah bingung, Tania, nanti cepat tua.” Aku memutar mata mendengar perkataannya, lalu mengalihkan pandang melihat suasana di luar mobil masih sangat padat kendaraan bermotor, dan bilang ke Prana tanpa menatap wajahnya, “Aku memang sudah tua, itu mutlak, gak bisa ditutup-tutupi, kamu juga tau itu, kan?” dia malah menjawab dengan ucapan yang membuatku tersipu, “Jangan buru-buru jadi tua, Tan. Kita belum menikah.” Tapi kemudian aku sadar, aku tahu dia hanya bergurau, dan Prana gak tau, kalo ucapannya itu memberikan efek yang menyebabkan dua perasaan yang bertentangan. Satu sisi hatiku berlonjak senang, sisi lain menentang. Nyatanya pernikahan akan menyiksaku, nyatanya pernikahan tidak membuatku bahagia, dan itulah yang terjadi padaku, seperti ketika dulu saat tali pernikahan itu terjalin bersama Abizar. Melihat aku yang terdiam, terlihat oleh Prana melamun, mungkin, dia memanggilku, pelan, “Tania,” panggilnya, “Jangan anggap aku aneh, ya.” Mau tidak mau aku kembali meliriknya, terlihat lelaki itu kini tampak resah menatap lampu merah yang enggan berubah menjadi hijau. Wajahnya menyimpan gurat-gurat kecemasan yang sama sekali tidak aku mengerti. Mungkinkah dia ada janji temu dengan seseorang? Apakah dia sedang mengejar waktu, agar bisa tepat waktu untuk memenuhi janjinya entah dengan siapa, sesungguhnya, melihat Prana seperti ini, aku tidak enak hati karenanya. Tapi karena tadi dia memaksa, jadi, ya sudah, aku bisa apa, kalo Prana sudah memaksa dan keras pada pendirian dan pilihannya. Maka aku memilih diam dan mencoba menikmati saja perjalanan ini. Mengingat kembali ke belakang, tentang pernikahanku dan kisah sedih di balik itu yang melatari perjalanan pernikahan tersebut, membuatku memutuskan dengan hati mantap, bahwa pernikahan, satu-satunya hal yang sangat-sangat tidak ingin dan tidak akan pernah aku bayangkan saat ini. Intinya hatiku belum siap, terlebih mentalku. Kejadian kemarin, benturan dengan kakaknya Abizar, belum lagi bisik-bisik yang jelas terdengar mengenai tubuhku yang gemuk, mengenai aku yang belum bisa kasih keturunan, bisik-bisik mengenai aku yang sok jadi perempuan karir, yang tidak bisa menjadi ibu rumah tangga, bisik-bisik yang terdergar lebih jelas daripada desau angin. Bisik-bisik dari keluarga Abizar, yang sampai saat ini masih aku ingat, menancap sangat dalam di hati, bahkan lukanya masih terasa. Di tengah lamunanku yang jauh banget, aku mendengar Prana memanggil namaku, “Tan,” bisik Prana lagi. “Lagi mikirin masalah pernikahan, ya? Jangan dipikirin terlalu jauh, Tan.” Aku menjawab ucapan Prana, “Aku akan menikah lagi ketika aku siap, hatiku siap, mentalku juga siap. Kegagalan kemarin berhasil mengajarkanku untuk memikirkan semuanya dengan matang. Calon suamiku harus siap juga. Kami, aku dan dia siapa pun itu tidak harus pusing lagi dengan urusan uang katering, uang make up, puade, uang seserahan, gedung, baju pengantin, dan hal remeh temeh lainnya,” aku menjeda sejenak, Prana tetap fokus pada jalanan. Namun, aku tahu, dia mendengarkan, “Aku juga berharap menikah dengan seorang yang sudah mapan. Digaris bawahi, MAPAN,” tekanku, “Mapan ini bukan kaya raya, hanya mapan. Ngerti, kan, ya, Prana, mapan? Karena orang-orang suka salah tanggap mengenai ke-mapan-an ini. Mereka pikir aku pilih-pilih, milih yang mapan artinya aku milih pria kaya raya, yang terkesan aku matre,” aku melihat Prana mengangguk, dan dia menjawab, “Iya, aku paham, mapan.” Aku melanjutkan ucapanku, “Kenapa aku memilih pria mapan, karena aku gak mau lagi kejadian seperti di pernikahanku yang lalu. Jangan sampai setelah menikah masih disibukkan dengan urusan uang kontrakan atau KPR perumahan yang lamanya hampir seperempat abad.” Setelahnya aku diam. “Jika aku sudah memenuhi kriteria itu, bagaimana?” tanya Prana, “Lagian menurutku, syaratmu menikah dengan lelaki mapan itu gak ada yang salah, kok. Benar katamu, Tan. Jangan sampai setelah menikah ada keributan yang justru sumbernya dari uang. Walaupun, memang, setelah menikah, pasti ada aja jalan rezekinya, tapi tetap harus dipersiapkan dengan matang, kan?” aku mengangguk setuju. “Lalu, bagaimana dengan pertanyaanku tadi, jika aku sudah memenuhi kriteria itu, bagaimana?” aku diam sebentar, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, “Kamu memenuhi kriteria itu belum tentu aku memenuhi. Aku masih ingin bekerja dan mewujudkan mimpi-mimpi.” Lalu Prana menanggapi ucapanku, “Tapi aku gak akan membatasi mimpi kamu.” Percakapan ini sepertinya mulai serius, “Bukan masalah membatasi atau tidak. Yang aku inginkan aku bekerja tanpa merepotkan semua orang. Ngerti kan maksudnya? Gini lho ...” Aku serius dengan omonganku, sehingga aku berbalik dan memposisikan wajahku tepat menatap wajahnya, biar Prana paham, nikah itu gak maen-maen, hal-hal yang menyertai pernikahan ini juga bukan sekedar bahan becandaan, “Setelah resepsi selesai, akan datang lagi tantangan lain, punya rumah, setelah itu, anak. Aku yakin dan percaya, setiap orang menikah itu pasti menginginkan hadirnya anak. Nah, aku ingin suamiku, kelak, siapa saja, nanti yang jadi suamiku, bisa memenuhi semua kebutuhanku. Kalaupun nantinya aku terpaksa harus berhenti kerja, ya, otomatis, suamiku kelak adalah penyokong tunggal dalam kehidupan berumah tangga kami. Aku gak mau, dan jangan sampai, pernikahanku, kelahiran anak-anakku malah merepotkan orang tuaku atau orang tua suami dengan dititipi anak-anakku. Mereka sudah cukup lelah mengurus dan membesarkanku. Hari tua mereka terlalu berharga hanya sekadar untuk ngasuh cucu. Gitu.” Ada binar cerah di mata Prana, “Aku makin suka,” gumam Prana teramat pelan. Aku masih bisa mendengarnya, tetapi ragu, dan bertanya-tanya sendiri, apanya yang menarik dari ucapanku barusan? “Hah, Apa? Makin suka sama apa?” tanyaku, Prana tiba-tiba menggaruk hidungnya. Kulirik dengan ujung mata, lelaki itu tersenyum canggung lalu menggelengkan kepalanya, dan kami meneruskan perjalanan dalam diam. Aku baru sadar, jika diperhatikan, dari tadi Prana hanya akan menggunakan earphone ketika mobil berhenti di lampu merah atau di tengah kemacetan. Selepas itu, dia membukanya dan mendengarkan semua ocehanku tentang pernikahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD