Part 03. Tawaran Pekerjaan

1725 Words
Wala terus melajukan mobilnya dengan kencang. Sesekali dia melirik ke belakang melalui kaca spion, berharap pria yang dia tahu adalah preman di kampungnya itu, maupun komplotannya yang lain, tidak ada yang mampu mengikutinya. "Terima kasih banyak sudah menyelamatkan aku, Bang. Untung saja ada kamu. Kalau tidak, entah sudah seperti apa nasibku." Dengan napas masih tersengal dan jantung berdebar tak beraturan, Zinnia mengungkapkan rasa bersyukur, bisa selamat dari cengkraman pria b***t yang hampir melecehkannya. "Tidak masalah, Mbak!" Wala hanya menanggapi dengan tersenyum. "Ini … diminum dulu supaya lebih tenang," lanjutnya sambil menyerahkan sebotol air mineral untuk Zinnia. Dengan cepat Zinnia meraih botol air mineral dari tangan Wala, lalu meminumnya hingga tak bersisa. Kerongkongannya terasa sangat kering setelah semua yang terjadi padanya. "Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa preman kampung itu bisa mengganggu Mbak Zinnia?" tanya Wala, masih merasa penasaran mengapa preman itu bisa mencoba memperkosanya. "Tadi dari yayasan aku hanya ingin jalan-jalan sebentar di area kampung ini. Aku tidak tahu dari mana datangnya orang itu. Tiba-tiba saja dia menarik tanganku dan membawaku ke semak-semak." Meski dengan mulut yang masih gemetar takut, Zinnia menceritakan semua yang terjadi sebelumnya. “Syukurlah, yang penting Mbak nggak apa-apa.” Wala menggangguk, menunjukkan rasa empati. "Apa Mbak ingin aku antar balik ke yayasan sekarang?" tanya Wala, mengingat letak yayasan sudah semakin jauh dia tinggalkan. "Jangan dulu, Bang! Aku takut laki-laki itu masih berada di tempat tadi," tolak Zinnia, masih merasa takut apabila pria itu akan mengganggunya lagi. "Lalu kita harus kemana?" Wala menautkan alisnya dan tampak bingung. "Kemana saja deh, Bang. Yang penting aku bisa aman dari laki-laki itu." Wala menekan keningnya dan sejenak berpikir. Dia tidak tahu, akan kemana membawa wanita itu pergi, padahal seharusnya dia berkeliling kampung untuk menjajakan tanaman hiasnya. "Mbak merasa sudah aman jauh dari laki-laki itu, tapi bagaimana kalau saya juga ternyata adalah laki-laki jahat sama sepertinya?" Wala terkekeh, sekedar menggoda Zinnia, untuk mengurangi ketegangan yang masih terlihat di wajah wanita itu. "Kamu mau memperkosa aku, Bang?" Bibir Zinnia tersenyum mencibir. Seketika dia ikut terkekeh mendengar perkataan Wala. "Tanpa harus memperkosa, aku mau kok, Bang. Wanita mana yang bisa menolak kalau diperkosa cowok seganteng kamu?" gurau Zinnia, membalas candaan Wala dan keduanya sama-sama tergelak dan tersipu sendiri dengan kekonyolan mereka. "Oh ya, Bang ... Sebenarnya tujuan Bang Wala mau kemana? Aku nggak enak, kalau gara-gara aku, pekerjaanmu jadi terhambat." Zinnia berujar, merasa sungkan karena merasa sudah merepot Wala. "Saya mau keliling kampung, untuk menjual tanaman-tanaman hias ini, Mbak. Pasar sepi sekali, saya belum dapat jualan sama sekali," jawab Wala jujur. "Apa aku boleh ikut bersamamu? Ini pertama kalinya aku datang di kampung ini. Aku juga ingin jalan-jalan sebentar disini. Yah … itu pun kalau kamu nggak keberatan sih, Bang." Zinnia menguraikan keinginannya dengan sedikit memelas. "Boleh-boleh saja, Mbak. Tapi AC mobil ini nggak dingin. Maklum mobil tua, Mbak. Pasti tidak senyaman mobil mewah milik Mbak," ungkap Wala kurang percaya diri dengan kondisi mobilnya, karena dia sudah bisa menebak seperti apa gaya hidup seorang janda dari seorang pria kaya raya seperti Mr Elliot Gerlach. "Tidak apa-apa, Bang. Udara di kampung ini masih sangat segar dan tidak ada polusi. Aku tidak butuh AC." Jawaban Zinnia justru terdengar enteng. Dengan perlahan tangan Zinnia meraih handle putar di pintu mobil, lalu menurunkan kaca mobil di sampingnya dan membiarkan angin yang berhembus menerpa wajahnya. Mobil itu pun terus melaju lambat menyusuri area perkampungan dan perumahan penduduk. "Bunga ... bunga ... bunga!" Sepanjang jalan yang mereka lewati, Wala terus berseru, mencoba menawarkan tanaman hiasnya, kepada siapa saja yang mereka temui di sepanjang jalan yang mereka lewati. Zinnia juga tetap setia duduk di dalam mobil Wala. Sebuah senyum tidak pernah lepas dari bibirnya, tatkala menyaksikan keuletan pria di sampingnya, dalam menggeluti pekerjaannya. "Suaramu nyaring juga ya, Bang? Bahkan lebih nyaring dari suara mainan lato-lato," sindir Zinnia dengan nada bercanda serta menutup telinga dengan kedua tangannya, mendengar teriakan Wala. "Suara lato-lato kalah sama suara saya, Mbak," balas Wala tidak mau kalah, ikut menimpali dengan segala kekonyolannya. Zinnia hanya tersenyum menyadari kesederhanaan serta kerja keras pria muda yang sedang bersamanya. Meski belum lama berkenalan, entah mengapa keduanya merasa cepat akrab. Lelucon serta guyon konyol yang sering terlontar dari mulut Wala, mampu membuat Zinnia merasa sangat terhibur. Hampir lebih dari satu jam mereka berkeliling kampung. Namun, tidak satu orang pun ada yang tertarik membeli tanaman hias dari Wala. "Huh, apes bener hari ini. Sudah keliling kampung juga masih belum ada pembeli sama sekali." Wala bersungut dan wajahnya menyiratkan kekecewaan. Hari itu dia tidak tahu lagi akan pergi kemana, untuk bisa menjual tanaman-tanaman hias yang dia bawa di bak mobilnya. "Sudah berapa lama kamu jualan bunga seperti ini, Bang?" tanya Zinnia, mencoba lebih akrab dengan Wala. "Sudah hampir dua tahun, Mbak. Peminat tanaman hias sekarang sudah tidak sama seperti di awal pandemi dulu," terang Wala, menceritakan kisah awal dia menjadi penjual tanaman hias, adalah karena dia kehilangan pekerjaan akibat pandemi yang sempat melumpuhkan ekonomi dunia. "Terus … sekarang apa kamu nggak ada minat ganti profesi, Bang?" "Mau jadi apa, Mbak? Saya ini cuma lulusan SMK. Cari pekerjaan sekarang susah." "Apa Bang Wala paham tentang landscaping?" Zinnia bertanya penuh keyakinan. "Tahu, tapi hanya sedikit, Mbak. Memangnya kenapa?" Wala balik bertanya dan belum bisa memahami arah pertanyaan Zinnia. "Kamu mau nggak bekerja denganku di kota? Kebetulan, kepala tukang kebun di rumahku baru saja mengundurkan diri,” ucap Zinnia, berharap Wala mau menerima tawaran sebuah pekerjaan darinya. "Hmm ... " Wala menyipitkan sebelah matanya, menatap ragu ke arah Zinnia. "Tapi saya tidak ingin pindah ke kota, Mbak. Saya senang tinggal di kampung ini. Lagipula, kalau saya pergi merantau ... kasihan emak, saya tidak mungkin meninggalkannya sendiri di kampung ini." Wala menolak secara halus ajakan Zinnia. "Tinggal di kampung ini saja, kamu tidak akan berkembang, Bang. Kalau tinggal di kota, kamu bisa dapat banyak pengalaman dan bisa belajar banyak hal di sana." Zinnia tetap mencoba membujuk. "Yang Mbak Zinnia katakan memang benar, tapi untuk saat ini saya belum ingin merantau ke kota, Mbak," tolak Wala lagi. Sejauh itu, dia belum ingin menerima tawaran dari Zinnia, meski terdengar menggiurkan. Hanya sebuah senyuman yang selalu dilengkungkan Zinnia di bibirnya. Dia juga tidak mau terlalu memaksakan keinginannya kepada Wala, apabila pemuda itu memang tidak bersedia menerima tawaran pekerjaan darinya. Mobil Wala terus melaju perlahan, hingga kini mereka sudah kembali ada tidak jauh dari Yayasan Cempaka Floria. "Sudah menjelang sore, Mbak. Saya akan antar Mbak Zinnia kembali ke yayasan saja." Karena sudah berniat pulang, Wala berharap Zinnia bersedia diajaknya kembali ke yayasan. "Baik, terima kasih banyak atas semuanya hari ini, Bang." Zinnia mengangguk setuju. Beberapa menit kemudian, mobil bak terbuka milik Wala akhirnya sampai di depan gerbang utama Yayasan Cempaka Floria. Wala turun dari mobilnya dan membukakan pintu bagian penumpang, lalu mempersilahkan Zinnia untuk turun. "Silahkan, Mbak. Kita sudah sampai.” Wala menengadahkan kedua telapak tangannya. Akan tetapi, Zinnia hanya diam tidak ingin turun dari mobil itu. Tangannya menyilang di d**a, sebab dia baru menyadari, jikalau blouse yang tengah dia kenakan robek, terkoyak oleh tangan kasar preman kampung yang mencoba memperkosanya. "Aku nggak mau turun, Bang. Aku malu, ternyata bajuku robek. Aku tidak mungkin masuk ke yayasan dalam keadaan seperti ini," sahut Zinnia dengan wajah tampak menahan malu. Pastinya dia akan sangat risih, apabila ada orang yang melihatnya mengenakan baju dengan kondisi robek dan sangat terbuka di bagian d*da. Wala mengerutkan keningnya melirik d*da Zinnia yang sengaja ditutupi dengan tangannya. Seketika Wala menelan ludah. Dari balik blouse yang robek, sekilas dia bisa melihat d**a padat, putih dan mulus milik Zinnia. Tentu saja semua itu membuat berbagai perasaan tidak karuan kini bergejolak mengisi jiwanya. "Lalu kita harus bagaimana, Mbak?" tanya Wala bergegas mengalihkan semua rasa salah tingkah. Zinnia tidak menjawab, hanya gelengan kepala yang dia tunjukkan, sebagai tanda dia pun tidak tahu harus berbuat apa. "Kalau begitu, Mbak Zinnia pakai baju saya aja. Maaf agak bau asem, tapi setidaknya, bisa menutupi bagian baju yang robek." Sambil terkekeh, Wala bergegas melepaskan satu persatu kancing kemeja flanel yang dikenakannya. "Aaaw!" Zinnia seketika menutup wajah dengan kedua tangannya, manakala Wala sudah melepaskan kemeja itu dari tubuhnya. Tetapi, dari celah-celah jarinya masih bisa terlihat kalau Zinnia tetap mengintip ke arah Wala. "Loh, ada apa, Mbak? Saya ‘kan tidak telanjang." Wala mengernyit heran. Walau dia melepas kemeja itu, tetapi tubuhnya masih tertutup kaos polos. Tidak seharusnya Zinnia merasa malu melihatnya, karena dia tidak sedang bertelanjang d*da. "Bukan itu, Bang!" Zinnia masih menutupi wajah dengan tangannya. "Itu ... resleting celana Bang Wala belum dipasang." Zinnia segera memalingkan wajahnya dan kian tersipu malu. "Ups!" Wala seketika menutup bagian celah pahanya dengan kedua tangan dan ikut merasa malu. Secepat kilat dia segera menarik ke atas resleting celananya. Akibat terburu-buru sewaktu mendengar teriakan Zinnia sebelumnya, dia lupa memasang resleting itu, setelah tadi dia buang air. "Sudah, Mbak," ucap Wala sambil menyerahkan kemeja flanel miliknya kepada Zinnia. Tangan Zinnia juga dengan cepat menyambar kemeja itu dari tangan Wala dan segera memakainya, untuk menutupi bagian dadanya. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Bang. Suatu hari, aku pasti akan mengembalikan kemejamu ini." Perlahan Zinnia turun dari mobil Wala, setelah dia memakai kemeja milik Wala. "Jangan berterima kasih terus, Mbak. Ini tidak seberapa." Wala tidak ingin Zinnia terus merasa sungkan terhadapnya. "Oh ya, Bang. Ku harap kamu pikirkan lagi tawaranku untuk bekerja di kota." Sebelum masuk ke yayasan, Zinnia mengutarakan lagi harapannya kepada Wala. "Ini kartu namaku. Kapan saja kamu berubah pikiran dan ingin bekerja ke kota, kamu hubungi saja aku." Zinnia menyerahkan sebuah kartu nama yang dia dapatkan dari saku blouse-nya kepada Wala. "Baik, tentu saja, Mbak." Wala mengangguk sambil meraih kartu nama itu dari tangan Zinnia. "Sampai jumpa, Bang. Aku sangat senang bisa bertemu dengan pria baik dan tampan seperti kamu." Zinnia melambaikan tangannya dan tersenyum, sembari melangkahkan kaki dengan cepat meninggalkan Wala. Wala juga terus menyunggingkan senyuman menatap ke arah Zinnia yang kian berlalu dari pandangannya. "Zinnia Michelia." Wala terpaku mebaca sebuah nama yang tercantum di kartu nama yang baru saja Zinnia berikan kepadanya. "Janda muda itu sangat cantik bagaikan 'Bunga zinnia'." Wala menggumam. Seketika dia membayangkan rupa dari bunga zinnia yang berwarna-warni nan indah. "Michelia.” Wala terus menggumam sendiri. “Dia juga sangat memesona seperti bunga cempaka nan harum, mekar mewangi." Pikiran Wala untuk sejenak menerawang. Nama indah yang dimiliki janda itu, serupa dengan indahnya bunga zinnia dan juga cempaka. Hingga beberapa menit berlalu, Wala masih mematung di tempatnya semula. Pesona seorang Zinnia, membuatnya sangat terkesan dan kakinya seakan tidak ingin beranjak dari tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD