bc

Janda Bolong dan Rahasia Pewaris Sultan

book_age18+
1.0K
FOLLOW
8.4K
READ
HE
boss
drama
bxg
campus
city
secrets
naive
like
intro-logo
Blurb

Bukan ranah di bawah umur. Masih bau kencur, harap mundur dengan teratur!

"Tidak semua janda itu bolong, karena janda bolong hanyalah sebutan untuk satu jenis tanaman hias, bernama latin monstera adansonii."

Cakrawala Semesta, seorang pemuda sederhana dengan ribuan pesona. Berjualan tanaman hias keliling adalah profesi yang dia lakoni, selama tinggal di kampungnya.

Bertekad memperbaiki kehidupan serta mengikuti desakan sang ibu, pemuda yang akrab dipanggil ‘Wala’ itu, memilih pergi merantau ke kota dan bekerja sebagai tukang kebun di sebuah kediaman mewah, milik seorang janda muda kaya raya, bernama Zinnia Michelia.

Demi meringankan beban hutang, Wala terpaksa menerima sebuah tawaran dari Zinnia, wanita yang menjadi majikannya tersebut.

“Apa Bang Wala mau mengajariku cara bercocok tanam?” Pertanyaan Zinnia terdengar ambigu, seraya tersenyum genit menatap wajah pemuda rupawan di hadapannya.

Dalam kasus berbeda, berada di kota itu juga membawa Wala secara tidak sengaja mengetahui jati dirinya.

Bagaimanakah kelanjutan hubungan Wala dengan Zinnia, setelah dia tahu akan identitasnya, yang ternyata adalah seorang pewaris sultan?

chap-preview
Free preview
Part 01. Perkenalan Awal Sebuah Kisah
Tepuk tangan para pengunjung terdengar riuh, usai sebuah pidato pembukaan acara pameran bonsai akbar, yang disampaikan seorang pria executive muda, CEO dari perusahaan kenamaan, Semesta Corporation. Dengan langkah tetap terlihat berwibawa, pria itu lantas turun dari atas panggung. Ditemani seorang asisten kepercayaannya, dia hendak berkeliling melihat ke setiap stand pameran yang diselenggarakan di sebuah hall terbesar di kota tersebut. "Ups ... sorry!" Tiba-tiba dia terkesiap, ketika seorang bocah laki-laki berusia sekitar tiga tahun, terlihat menunduk dan memohon maaf, dengan kata-kata terdengar sangat menggemaskan. Secara tidak sengaja, bocah yang sedang berjalan dari arah berlawanan itu, menabraknya. Bersamaan itu pula, ada sesuatu terasa lengket sekaligus dingin, terinjak oleh kakinya. "Hei, es krim kamu jatuh!" Bergegas pria itu berjongkok, menyetarakan posisi dengan bocah yang terlihat memasang wajah sedih, karena es krim yang belum habis dimakannya, terjatuh mengenai sepatu pria tersebut. "Siapa namamu, Boy?" Si pria bertanya dan merasa sangat terkesima menatap wajah imut bocah manis di hadapannya. "My name's Ambara. Just call me Bara." Bocah itu memperkenalkan namanya, sembari mengulas senyum yang tampak kian menggemaskan. "Ambara ... namamu sangat bagus." Pria itu ikut tersenyum. "Kenalkan namaku Cakrawala, panggil saja Wala," ujarnya, menirukan gaya bocah itu memperkenalkan diri, seraya mengulurkan tangan kepada Ambara. Akan tetapi, jantung Wala seakan berpacu tidak seperti biasa, tatkala dia memperhatikan wajah Ambara dengan lebih seksama. "Mengapa wajah anak ini sangat mirip denganku?" **** "Bunga ... bunga ... bunga ...." "Bunganya, Bu! Bunga, Mbak!" Seorang pemuda dengan rahang tegas, hidung mancung, kulit bersih serta beribu daya pikat maha sempurna lainnya, berdiri di sebelah mobil bak terbuka dan sibuk menjajakan aneka jenis tanaman hias yang dia jual. Hari itu pemuda itu menggelar lapaknya di pinggir jalan, di depan sebuah pasar tradisional yang ada di kampung tempat tinggalnya. Hari sudah semakin siang. Matahari kian terik menyinari jagat raya. Pasar yang sebelumnya ramai, berangsur-angsur mulai sepi. Pemuda penjual tanaman hias itu menyeka peluh yang menetes di keningnya. Kemeja flanel bermotif kotak-kotak dan berwarna abu-abu yang tengah dikenakannya, juga tampak sedikit basah oleh keringat. "Sudah sesiang ini, tapi belum satupun bunga ini laku terjual." Pria itu menggerutu dengan wajahnya yang tampak lelah. "Kalau bunga-bunga ini tidak ada yang terjual, aku harus cari uang dimana? Emak pasti akan marah kalau aku pulang tanpa membawa hasil." Sambil meneguk sebotol air mineral, pria itu menghela napas panjang. Beberapa bulan belakangan ini, peminat tanaman hias memang tidak seperti dulu lagi. Seiring kian menurunnya animo masyarakat akan tanaman hias, kian menurun pula penghasilan yang didapatkan pemuda kampung bernama Cakrawala Semesta tersebut. 'Wala' seperti itu orang-orang biasa memanggilnya. Kehilangan pekerjaan akibat pandemi melanda dunia, Wala beralih profesi menjadi penjual tanaman hias keliling. Di pasar itulah, setiap pagi dia biasa membuka lapak di atas mobil bak terbuka miliknya. “Jangan pulang sebelum kamu bawa banyak uang, Wala! Emak sudah bosan hidup miskin! Hutang banyak dan untuk makan saja kita sangat susah.” Kata-kata Mak Ratna, yaitu ibunya, selalu terngiang di telinga Wala. Namun apa daya, angka rupiah yang dia dapat dari pekerjaan yang dia lakoni, kini bahkan tak mampu mencukupi biaya makan sehari-hari. Di awal pandemi, banyak orang mengisi waktu di rumah saja dengan merawat aneka jenis tanaman hias. Bisa dikatakan, saat itu adalah masa kejayaan Wala. Hampir setiap hari lapaknya tidak pernah sepi. Pembeli yang kebanyakan para wanita dan emak-emak, selalu menantikan kehadirannya di pasar itu. Meski berpenampilan sangat sederhana, tetapi Wala memiliki paras sangat sangat menawan. Hal itulah yang membuat banyak kaum hawa begitu mengidolakannya. Akan tetapi, kini semuanya tak lagi sama. Jenis-jenis tanaman hias yang sempat menjadi trend dan bernilai fantastis, bahkan sudah tidak laku lagi dijualnya. Tanaman hias yang sebelumnya pernah viral dan digadang-gadang bisa dibandrol seharga satu unit mobil kategori low MPV buatan Jepang itu pun, kini sudah tak lagi trending. "Hari ini, bawa bunga apa aja, Bang?" Wala melebarkan senyuman, ketika seorang wanita tiba-tiba mendekati lapaknya dan terlihat memperhatikan tanaman-tanaman hias yang ada di bak mobil. "Eh, Mbak Rosa ... kok tumben, Mbak?" Wala menyapa wanita itu dengan senyum ramah, karena sebelumnya wanita itu adalah salah seorang langganan, yang biasa membeli tanaman hias darinya. "Iya nih, Bang. Sudah beberapa bulan hujan nggak turun, tanah sangat gersang seperti hatiku tanpa sentuhan kasih sayang," ujar wanita yang bernama Rosa itu dengan senyum genitnya, seolah sedang menggoda Wala. Wala hanya tersenyum tipis dan memalingkan wajah dari tatapan nakal wanita dengan lesung pipit menghias pipinya itu. Ucapan ambigu ibu muda yang sudah memiliki seorang anak tersebut, juga sangat mudah bisa dia pahami. Bukan hanya hari itu saja, setiap kali bertemu, Rosa memang selalu menunjukkan sikap genit terhadapnya. Maklum saja, Rosa sudah lama tinggal jauh dari suaminya yang merupakan seorang pekerja kapal pesiar dan hanya pulang setiap delapan bulan sekali. Tak salah bila banyak yang beranggapan bahwa Rosa adalah wanita haus belaian, tanpa kehadiran suami bersamanya. Tak jarang Wala merasa risih dengan tingkah ganjen wanita itu, yang seolah selalu saja ingin mencari perhatian darinya. "Oh ya, hari ini aku bawa banyak jenis bunga nih. Mbak Rosa, tinggal pilih saja mau yang mana." Dengan cepat Wala mengalihkan semuanya dari Rosa. "Ada aglaonema, anthurium, caladium, adenium, monstera ... pokoknya hari ini semua ada, Mbak," sambung Wala seraya menunjuk semua tanaman hias yang tertata rapi dalam polybag dari bak mobil, serta mempromosikan dagangannya. "Bunga miana ada nggak, Bang?" tanya Rosa lagi, tetapi tatapannya tidak pernah berpaling dari wajah Wala, yang tentunya membuat Wala menjadi semakin salah tingkah. "Oh … ada, Mbak. Ada miana jenis red velvet, rainbow, bolu pandan, bolu nanas ...." "Ihh, Bang Wala jualan bunga apa jualan kue sih, Bang?" kekeh Rosa sambil terus menunjukkan senyum genitnya, menatap wajah pria tampan di hadapannya. Wala masih hanya tersenyum, tanpa berniat menjawab pertanyaan Rosa yang kian senang menggodanya. "Bang Wala, kok kamu ganteng banget sih?" Rosa kembali bertanya dan semakin berani terang-terangan memuji pemuda yang begitu memesona di matanya. "Sewaktu kecil, emak kamu kasih imunisasi apa, kok bisa sih gedenya seganteng dan setampan ini?" sambungnya sambil terus memandangi Wala dengan tatapan penuh hasrat tersembunyi. "Vaksin rabies, Mbak," sahut Wala slengean, membuat Rosa seketika terkekeh mendengar jawaban konyol dari Wala. Sewaktu Rosa masih sibuk memilih bunga, dari kejauhan tampak sebuah premium hatchback mendekat dan melaju lambat, melintas tepat di depan posisi Wala berjualan saat itu. "Wah ... mobil siapa itu? Tumben ada mobil mewah seperti itu lewat di jalan kampung ini?" Wala menggumam dan sangat takjub. Akan tetapi, hanya selang beberapa meter, tiba-tiba mobil itu berhenti dan lampu mundur di mobil tersebut juga terlihat menyala. Wala mengerutkan keningnya, karena mobil itu kini berhenti tepat di depan lapak jualannya dan pintu bagian kemudi juga terbuka lebar. Wala ternganga ketika yang pertama kali terlihat adalah sepasang kaki jenjang mengenakan high heels berwarna perak turun dari mobil tersebut. Seorang wanita dengan rambut panjang dicat dark brown dan memakai kacamata hitam, keluar dari mobil itu, lalu berjalan mendekat ke arah Wala. "Permisi, apa saya boleh numpang tanya?" Wanita itu tersenyum ramah dan langsung bertanya kepada Wala. Sama seperti Wala, Rosa serta merta ikut menatap wanita itu tanpa berkedip. Selain paras yang sangat cantik menawan, wanita itu juga terlihat ramah dan bertanya dengan bahasa sopan. "Saya sedang mencari alamat ini. Apa masih jauh dari sini?" Melihat Wala dan Rosa tidak menjawab dan hanya memandangnya dengan mulut ternganga, wanita itu mengulang bertanya sembari menunjukkan sebuah kartu nama ke hadapan Wala. Tanpa memberi kesempatan Wala untuk mengambil kartu nama dari tangan wanita itu, Rosa bergegas menyambarnya lebih dulu. "Oh, Yayasan Cempaka Floria. Saya tahu, Mbak!" seru Rosa setelah membaca sebuah alamat yang tercantum di kartu nama itu. "Iya, betul, Mbak." Wanita itu mengangguk. "Alamatnya tidak jauh dari sini, Mbak. Tinggal lurus terus, perempatan di depan sana belok kanan." Rosa menjelaskan alamat yang tengah dicari oleh wanita itu dengan sangat rinci. Tentu saja sangat mudah baginya menjelaskan, karena di kampung itu semua orang pasti tahu tentang Yayasan Cempaka Floria. Sebuah yayasan sosial yang didirikan oleh seorang pria bule asal Belanda, bernama Elliot Gerlach. Yayasan Cempaka Floria adalah yayasan yang sedia membantu anak-anak putus sekolah untuk bisa terus belajar serta memberikan pelatihan keterampilan tambahan untuk warga di kampung itu, yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi berkepanjangan. Karenanya, siapa yang tidak mengenal Elliot Gerlach. Bule lanjut usia yang kini sudah tiada itu, bagai seorang pahlawan di sana. Dia adalah orang yang sangat dermawan serta peduli dengan kesusahan warga kampung, akan sulitnya mendapat pendidikan dan juga pekerjaan yang lebih baik selama pandemi. "Ngomong-ngomong, Mbak ini siapa ya? Tumben saya lihat di kampung ini?" sela Wala, menimpali penjelasan dari Rosa tentang alamat yayasan itu. "Perkenalkan saya Zinnia, Bang. Saya istri dari almarhum Mr Elliot, pendiri Yayasan Cempaka Floria. Setelah Mr Elliot meninggal, mulai sekarang, saya yang akan mengurus yayasan," sahut wanita yang mengaku bernama Zinnia itu, sambil melepaskan kacamata hitamnya serta menjulurkan tangan untuk bersalaman dengan Wala. "Saya Wala, Mbak." Wala menjabat tangan Zinnia dan tersenyum manis kepadanya. Jantung Wala berdegup kencang, ketika tatapan matanya dan mata wanita itu bertemu. Wala sangat terpesona akan kecantikan Zinnia yang bak bidadari, baru saja turun dari kahyangan. Tanpa sadar, tangan Wala dan tangan Zinnia saling berpegangan cukup lama. "Hmm ... cantik sekali jandanya Mr Elliot ini," batin Wala berdecak kagum. Kekaguman yang sama juga tampak di wajah Zinnia. Paras rupawan nan maskulin seorang Wala, membuatnya sangat terkesima dan seakan sangat betah untuk memandangi, meski penampilan pria tersebut terlihat sangat sederhana. "Saya Rosa, Mbak." Rosa yang merasa tidak senang melihat cara Wala dan Zinnia saling bertatapan, bergegas menyela dan meraih tangan Zinnia agar lepas dari tangan Wala. "Baik, terima kasih banyak atas informasinya, Mbak Rosa. Saya permisi," pungkas Zinnia dan segera kembali masuk ke dalam mobilnya untuk menuju alamat yang dia cari. Saking terpesonanya, mulut Wala terus menganga. Hingga mobil yang dikendarai Zinnia sudah tidak terlihat lagi pun, dia masih terpaku menatap ke ujung jalan. "Ushh, sampai segitunya kamu memperhatikan wanita itu, Bang! Lihat tuh, ilermu netes!" Rosa mendengus kesal dan menepuk kedua tangannya di hadapan Wala, sehingga menyadarkan Wala dari lamunan kekagumannya. "Aah, iya, Mbak. Jadi ... mau beli bunga yang mana nih?" tanya Wala gugup dan segera mengalihkan kembali ke barang jualannya. Rosa hanya tersenyum masam. "Nggak jadi beli, Bang. Lain kali aja!" serunya sambil berlalu begitu saja dari lapak tanaman hias milik Wala. Wala langsung menggelengkan kepala melihat tingkah Rosa. Sedari awal, dia pun sudah menduga, kalau wanita itu datang menghampiri lapaknya, bukan untuk membeli bunga, melainkan hanya ingin menggodanya saja.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

My Secret Little Wife

read
114.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
199.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
217.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
18.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook