LITHA POV
Aku terus berjalan tanpa arah tujuan. Pakaian mahal yang Rafael belikan untukku kini berubah menjadi lusuh. Alas kaki terakhirkupun telah hilang dua hari yang lalu. Aku lapar. Ini hari ketiga aku tidak makan. Aku duduk di depan sebuah warung makan. Berharap belas kasih dari sang pemilik warung.
"Kamu ngapain disini? Bikin pelanggan saya jijik aja."
Namun, yang ku dapat hanya cacian. Aku kembali berdiri dan meneruskan langkahku yang semakin terasa berat. Sudah dua minggu aku kembali hidup di jalanan. Makan hanya ketika ada orang yang mengasihaniku. Dan tidur di emperan toko atau di depan rumah peribadahan.
Anak-anak SD sering menggoda dan mengataiku 'gila'. Itu membuatku sakit. Tapi itulah kenyataannya. Di saat seperti itu, aku memilih lari. Rafael. Apa kabar dia sekarang? Sudah dua minggu aku tidak melihatnya. Apa dia baik-baik saja? Apa dia mencariku? Tidak mungkin. Aku yakin dia sudah melupakanku. Lagi pula, aku teringat ucapan Om Bisma. Sebentar lagi Rafael akan bertunangan dengan gadis yang sepadan dengannya. Pastilah aku akan cepat terlupakan.
'Brakkk'
Aku terpenjat ketika mendengar suara benturan keras. Aku menolehkan kepalaku ke belakang, dan mendapati mobil yang baru saja menabrak pohon hingga kondisinya ringsek. Aku menyipitkan mataku. Dan beberapa detik kemudian, mataku terbelalak.
"Rafael!" pekikku.
Aku kenal dengan mobil itu. Dan setelah menajamkan penglihatanku, ternyata benar. Aku melihat sosok Rafael di dalam mobil itu. Aku berlari ke arah mobil itu dan segera membuka pintu kemudi. Benar. Dia adalah Rafael.
"Rafael!"
"Raf, Rafael bangun!" Aku menepuk pipi Rafael berkali-kali. Tapi ia tak kunjung membuka matanya. Aku berusaha mengeluarkannya dari dalam mobil. Kemudian, aku membaringkannya di atas rerumputan tidak jauh dari pohon yang ia tabrak.
"Rafael!"
Sungguh. Aku sangat takut melihat ia tidak sadarkan diri seperti ini. Apalagi dengan kening yang berdarah dan luka-luka di tangannya. Aku takut dia kenapa-kenapa. Apa yang harus ku lakukan?
"Rafael, bangun, Raf!" Aku menggoncangkan tubuh lemah itu. Air mataku tidak dapat berhenti menetes. Hingga kemudian, senyumku merekah ketika melihatnya mulai membuka mata.
"Rafael!" pekikku senang.
"Lit...tha..." lirihnya.
Tangannya terulur untuk membelai pipiku. Jemarinya menghapus air mataku. Aku memejamkan mataku untuk sesaat. Merasakan lembutnya tangan Rafael yang ada di wajahku. Aku sungguh merindukannya.
"I..ini benar ka..mu, Litha?" tanyanya. Aku membuka mataku kemudian mengangguk. Aku menggenggam erat tangan Rafael yang ada di wajahku. Air mataku masih terus menetes.
"Ak..aku merin..dukan..mu, Lit...tha." ungkapnya lirih. Hatiku terasa hangat. Benarkah Rafael merindukanku? Dia tidak melupakanku?
"Ak..aku me..rin..dukan mu." ulangnya. Detik berikutnya, mata Rafael kembali terpejam. Tidak. Ada apa dengannya? Apa yang harus ku lakukan?
"Raf! Rafael, bangun, Raf!"
"Rafael!"
Aku kembali menggoncangkan tubuh Rafael. Semakin lama semakin keras. Tapi ia tidak kunjung membuka matanya. Aku mengecek napas dan denyut nadinya. Dan keduanya terasa sangat lemah.
"Rafael, bangun, Raf! Aku mohon bangun!"
"Astaga! Apa yang harus aku lakukan?"
Aku sangat bingung. Aku tidak tahu apa yang harus dan bisa aku lakukan. Membawa Rafael ke rumah sakit? Bagaimana caranya?
"Rafael!"
Aku menolehkan kepalaku ketika mendengar pekikan ayah Rafael dari arah belakangku.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada anak saya?" bentaknya sembari menatapku tajam.
Om Bisma mendorongku menjauh dari Rafael. Sementara itu, Tante Mawar langsung menangis histeris dengan Devania yang setia di sampingnya.
"Setelah gagal mendapatkannya, kamu mau membunuhnya? Hah?!" Om Bisma menatapku nyalang. Aku mundur beberapa langkah karena ketakutan.
"Dasar pembunuh!" tudingnya.
'Kau ini anak pembawa sial. Orang tuamu mati karena kamu. Semua salahmu.'
'Dasar pembunuh! Kamu telah membunuh orang tuamu sendiri.'
'Semua kesialan yang terjadi pada keluarga ini adalah karenamu. Kamu itu pembawa sial!'
'Pembunuh!'
Bayangan itu kembali muncul. Membuat kepalaku terasa sangat pusing. Aku berpegangan pada pohon di sampingku. Aku menyadari sesuatu. Om Bisma dan Tante Mawar memapah Rafael ke dalam mobil mereka.
Kali ini, aku tidak ingin berpisah dengan Rafael. Aku mengumpulkan keberanianku dan memaksakan langkahku untuk menghampiri mereka. Aku menahan lengan Tante Mawar yang baru saja membuka kursi samping penumpang.
"Tante, Litha ikut." ujarku.
"Masuk, Ma!" suruh Om Bisma tegas. Tante Mawar menatap iba padaku. Air matanya semakin deras mengalir. Aku tahu. Di dalam hatinya, Tante Mawar ingin membawaku bersamanya. Aku juga mendengar suara Devania di mobil yang meminta ayahnya untuk mengizinkanku ikut.
"Pa, biarkan Kak Litha ikut, Pa! Kak Rafael butuh Kak Litha." ucap Devania.
"Masuk, Ma!" ulang Om Bisma.
'Brukk'
Aku merasakan perih di kakiku ketika tubuhku harus kembali beradu dengan aspal. Om Bisma mendorongku dan memaksa Tante Mawar untuk segera masuk ke mobil. Mobil itupun melaju kencang tanpa mempedulikanku yang terus berteriak memohon.
Lagi. Aku harus berpisah dengan Rafael. Apalagi dengan kondisi Rafael yang seperti itu. Rasanya sangat sakit. Suara Rafael yang mengatakan jika ia merindukanku terus terngiang.
"Aku juga merindukanmu, Rafael. Aku sangat merindukanmu." isakku.
Ku rasa, berpisah dengan Rafael bukanlah keputusan yang tepat. Awalnya, ku kira hanya aku yang akan menderita, dan Rafael akan baik-baik saja. Tapi nyatanya, aku salah. Aku melihat kepedihan di mata Rafael. Aku telah menyakitinya.
Arrrrrgggghh
"Maafkan aku, Rafael!"
Aku menyesal. Harusnya, disaat Om Bisma mengusirku aku tetap bertahan. Atau setidaknya aku bersembunyi di suatu tempat. Harusnya aku menunggu Rafael, bukan malah meninggalkannya. Kenapa aku ini bodoh? Maafkan kebodohanku ini, Rafael. Maaf. Karenaku, kamu jadi terluka.