AUTHOR POV
Rafael menutup pelan pintu utama rumahnya. Ia menyerit bingung saat beberapa pelayan berjajar di dekat pintu penghubung ruang tamu dan ruang makan. Beberapa diantaranya saling berbisik, seperti tengah membicarakan hal yang sangat menarik.
"Ada apa?" tanya Rafael dingin.
Semua pelayan itu terkejut dengan kedatangan Rafael. Mereka menggeleng lalu pamit undur diri. Rafael memilih berjalan menaiki tangga untuk menuju kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 22.15. Dan dia merasa sangat lelah.
"Tapi Rafael tidak mencintai Evelyn, Pa."
Rafael menghentikan langkahnya ketika mendengar keributan di kamar orang tuanya yang letaknya tak jauh dari kamarnya.
"Cepat atau lambat dia pasti akan mencintainya. Mereka pasti akan hidup bahagia.”
"Mama nggak yakin. Mama nggak mau mempertaruhkan kebahagian anak kesayangan Mama."
"Nyatanya kita sekarang hidup bahagia kan? Padahal dulunya kita juga dijodohkan. Sudah, Mama percaya saja sama Papa."
"Rafael mencintai gadis lain, Pa. Ini masalahnya beda. Mama yakin Rafael hanya mencintai gadis itu dan tidak akan bisa mencintai Evelyn."
"Mama mau belain gadis gila itu? Mama setuju Rafael sama dia? Toh dulunya Papa juga punya perempuan lain, tapi akhirnya Papa ninggalin dia demi Mama kan? Semua itu memang butuh waktu, Ma. Apalagi perempuan yang Rafael cintai itu punya banyak kekurangan seperti itu. Pasti tidak akan lama bagi Rafael untuk melupakannya."
"Dia itu tidak gila, Pa. Dia hanya tertekan. Dia punya masalah yang tidak bisa ia ungkapkan. Tapi ia pasti bisa sembuh, Pa. Rafael pasti akan berusaha menyembuhkannya."
"Tapi kita bahkan tidak tahu asal usulnya. Sudahlah. Mama jangan ikut campur soal perjodohan Rafael. Biar Papa yang urus. Papa tahu mana yang terbaik untuk anak Papa."
"Tapi, Pa...."
"Perjodohan Rafael tetap akan dilanjutkan meskipun kalian menentangnya. Ini demi kebaikan bersama."
'Brakkk....'
Rafael masuk ke kamar dan membanting keras pintu kamarnya.
Ini pertama kalinya ia mendengar perdebatan kedua orang tuanya hingga Papanya tega berbicara dengan nada tinggi pada Mamanya. Selama ini keluarganya selalu baik-baik saja.
Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengusap kasar wajahnya.
"Apa yang harus gue lakuin?" gumamnya. Dia tidak mau menjadi alasan keributan orang tuanya. Dia tidak mau kehangatan keluarganya musnah. Tapi, gambaran wajah Litha selalu muncul di benaknya. Gadis itu berhasil masuk ke hatinya yang paling dalam. Rafael mencintainya. Untuk pertama kalinya, Rafael jatuh cinta.
'Cklekk'
Rafael mengarahkan tatapannya ke arah pintu. Terlihat Devania melangkah masuk ke kamarnya. Rafael terdiam. Ia merasa bersalah pada adik kecilnya itu. Tak seharusnya Devania mendengar perdebatan kedua orang tuanya. Seharusnya ia tidak pernah mendengarnya. Devania duduk tepat di sebelah Rafael.
"Maaf. Gara-gara Kakak, mereka jadi seperti ini." ujar Rafael berusaha meredam emosinya. Gadis berusia tujuh belas tahun itu tersenyum.
"Mama akan baik-baik saja kok. Kami mendukungmu. Kami tahu, Kakak sudah dewasa untuk menentukan pilihannya sendiri,"
Rafael sempat ternganga. Benarkah kata-kata itu keluar dari mulut Devania? Yang ia tahu, Devania adalah anak yang tidak pernah bisa serius. Ia gadis bodoh dan ceroboh yang selalu membuatnya kesal.
"Kenapa, Kak? Kok ngelihatin aku kayak gitu?" Devania.
Rafael menggeleng. Ia menarik adik kecilnya itu ke dalam pelukannya. Ia membelai rambut panjang adik yang sangat ia sayangi itu.
"Makasih ya!" bisiknya. Devania mengangguk lalu membalas pelukan kakaknya.
“Iya, lagian Dev seneng Kakak udah tahu cinta-cintaan. Udah kayak manusia beneran. Dev jadi yakin kalau Kakak emang tergolong Homo sapiens.”
Rafael sontak langsung melepaskan pelukannya. Ia menatap tajam sang adik yang memiliki mulut pedas itu. Sementara Devania balas menatapnya dengan lipatan tebal di keningnya.
“Memang kemarin-kemarin Kakak ini spesies apa?” Rafael.
“Manusia juga. Tapi manusia purba, Homo erectus.” balas Devania dengan nada santai tanpa dosa sama sekali.
Rafael menghela napas. Jika saja ia tidak mengingat perdebatan kedua orang tuanya di luar sana, mungkin saat ini ia sudah memulai keributan dengan adik tunggalnya itu.
*
"Rafael! Mau kemana kamu?" tegur papa Rafael yang bernama Bisma ketika melihat putranya turun dari tangga pagi-pagi sekali.
"Mau makan di luar, Pa." jawab Rafael seenaknya.
Bisma tahu anaknya berbohong. Ia menatap tajam Rafael dan menyuruhnya makan di rumah pagi ini. Terpaksa, Rafael menurutinya. Beberapa menit kemudian, Mawar turun dari tangga dan menghampiri Rafael yang duduk dengan Bisma.
"Devania belum disini? Biar Mama panggil dulu ya?" pamit Mawar. Rafael dan Bisma mengangguk mengizinkannya begitu saja.
"Rafael, Papa minta kamu tidak menemui perempuan itu lagi!" titah Bisma tegas. Rafael tahu, yang dimaksud Bisma adalah Litha.
"Tidak, Pa. Rafael mencintainya. Ini pertama kalinya Rafael jatuh cinta. Dan Rafael tidak akan melepaskannya." balas Rafael.
"Kamu sudah ketularan gila perempuan itu, Rafael? Kamu membangkang perintah Papa hanya demi perempuan itu?"
"Pa, Rafael sangat menghormati Papa. Rafael selalu menuruti perintah Papa. Untuk satu ini, biarkan Rafael memohon. Demi perempuan yang Rafael cintai."
"Bagaimanapun, perjodohanmu dan Evelyn akan dilanjutkan. Untuk apa kamu mempertahankan dia yang cepat atau lambat tetap akan pergi?"
Rafael terdiam. Tidak. Ia tidak akan membiarkan Litha pergi lagi. Gadis itu harus selalu disisinya. Litha hanya tercipta untuk Rafael.
"Hay semua!" sapa Devania membuyarkan ketegangan Rafael dan Bisma. Gadis itu mencium pipi ayahnya, kemudian duduk di samping kakaknya. Sepertinya ia sengaja mengakhiri perdebatan ayah dan anak itu.
"Hari ini di sekolah Devania ada pertandingan basket. Devania pulang telat dikit nggakpapa kan, Pa?"
"Jam berapa kamu mau sampai rumah, Dev?" tanya Bisma lembut. Bisma memang selalu luluh pada gadis kecilnya itu. Baginya, Devania adalah malaikat kecilnya. Putri kesayangannya.
"Mmm...mungkin jam enam atau setengah tujuh." balas Devania.
"Jam enam tepat kamu harus sudah sampai rumah, okey?" Bisma.
Devania tampak berpikir. Beberapa detik berikutnya ia mengangguk.
"Iya aja deh, Pa." balasnya.
"Tapi, kalau mau pulang jam segitu, hari ini biar dijemput supir ya sayang? Bahaya kalau kamu naik bus jam segitu." Bisma. Devania berdecak kesal.
"Jam segitu masih ada bus lewat kok, Pa. Devania naik bus aja ya?" Devania.
"Tidak, Dev. Atau Papa akan membatalkan izin Papa tadi?" ancam Bisma.
“Papa benar, Dev. Toh ini demi keamanan kamu. Mama nggak suka ya, anak gadis keliaran sampai malam tanpa pengawasan.” sambung Mawar.
"Iya deh iya." akhirnya Devania mengiyakan perkataan kedua orang tuanya.
Mawar dan Rafael melihat gadis itu sebagai gadis yang manja, ceroboh dan selalu membuat ulah yang membuat mereka kewalahan. Tapi tidak dengan Bisma. Baginya, Devania adalah malaikat kecilnya. Gadis yang ceria, cerdas, cantik dan baik hati. Sama persis dengan ibunya, Mawar saat masih muda. Dia tidak seperti putri pengusaha lain yang menjadikan sekolah sebagai ajang pamer kekayaan. Devania lebih sederhana. Bahkan dia pulang-pergi ke sekolah hanya dengan bus atau terkadang angkutan kota. Itu ia lakukan sejak kelas tiga SMP. Bisma sempat melarangnya. Tapi bukan Devania namanya jika tidak bisa meluluhkan hati ayahnya.
*
Pagi ini Rafael gagal menemui Litha. Di kantornya ada rapat mendadak mengenai rencana kerja sama dengan perusahaan terbesar di Korea. Dan Bisma mengharuskan Rafael sampai di kantor sebelum pukul 07.30. Di jam makan siangpun, ia nyaris kehilangan waktu istirahatnya. Ia hanya makan di dalam ruangannya. Sementara matanya terus fokus pada file perusahaan di monitor komputernya. Dia benar-benar sibuk hari ini. Matanya sampai terasa pedih karena terlalu lama memandangi perangkat komputer seharian.
Pukul 20.50, Rafael selesai mempelajari file yang akan dibahas pada meeting besok pagi. Ia melirik arlojinya kemudian berdecak kesal menyadari jika ia terlambat menemui Litha hari ini. Ia meraih ponselnya, berniat untuk menelfon Bu Laras untuk menanyakan keadaan Litha, tapi ternyata ponselnya mati.
"Astaga!" pekiknya kesal.
Rafael segera bangkit dari duduknya dan berjalan cepat ke arah parkiran. Suasana kantor sudah sepi. Hanya ada dirinya dan beberapa OB yang masih ada disana.
"Maaf, Pak," Rafael menghentikan langkahnya saat seorang OB berdiri di hadapannya.
"Ada apa?" Rafael.
"Pak Bisma tadi berpesan, jika Anda harus segera pulang setelah mempelajari berkas yang Beliau berikan. Beliau ingin memberi tahu Anda strategi agar rapat besok berjalan lancar dan membuahkan hasil yang baik untuk perusahaan." terang OB itu.
"Hmm. Makasih." balas Rafael singkat kemudian kembali melangkah.
Setelah membuka kunci mobil secara otomatis, ia segera menaiki kendaraan roda empat berharga fantastis itu. Ia memukul keras stirnya.
"Gue harus apa sekarang?" pekiknya.
Ia bingung. Ia sangat merindukan Litha dan khawatir dengan keadaan gadis itu. Tapi, ia juga tak bisa membantah perintah ayahnya. Apalagi, ini atas nama perusahaan.
Setelah hampir lima menit berpikir, Rafael memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Ia tidak ingin masalah antara dia dan ayahnya menjadi tambah runyam karena hal ini. Ia akan menelfon Bu Laras setelah bicara dengan ayahnya. Semoga pembincangannya dengan sang ayah tidak memakan waktu yang panjang, karena Rafael sangat merindukan dan mengkhawatirkan keadaan Litha. Gadis yang seharian ini tidak dapat ia temui.
Rafael menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia memejamkan matanya karena rasa kantuk yang tidak bisa lagi dia tahan. Pria berusia dua puluh enam tahun itu bekerja terlalu keras hari ini. Dan ia baru bisa bernapas lega pada pukul 23.55. Padahal besok rapat akan dimulai pukul 08.30. Pria itu kembali membuka matanya ketika teringat sesuatu. Litha.
Rafael menegakkan tubuhnya dan segera meraih handphone yang telah ia charge. Ia menelfon ke nomor apartemennya.
Sekali
Dua kali
Tiga kali
Rafael tidak pernah menyerah. Ia terus berusaha menghubungi Bu Laras untuk sekedar menanyakan keadaan Litha.
"Halo"
Rafael menghela napas lega mendengar suara Bu Laras di ujung sana.
"Halo, Bu. Ini saya Rafael..."
"Tuan, maafkan saya, Tuan. Saya mohon maaf!" Rafael menyerit ketika pekerjanya itu memotong ucapannya dan langsung minta maaf. Ada apa sebenarnya? Kenapa hatinya tiba-tiba tidak tenang?
"Ada apa dengan Litha?" tanya Rafael dengan nada dingin.
"Nona...Nona Litha.. Nona Litha...."
"Ada apa dengan Litha?" bentak Rafael.
"Nona Litha di usir oleh anak buah Tuan Bisma, Tuan. Maaf. Maafkan saya yang..."
Tut.......
'Brakkks'
Rafael membanting kasar pintu kamarnya. Ia berjalan cepat ke arah kamar orang tuanya. Tapi, langkahnya terhenti saat ibunya memanggilnya dari arah belakang. Mawar berjalan mendekati Rafael dan menyerit ketika melihat aura kemarahan pada putranya itu.
"Ada apa, Raf?"
"Ma, Papa mengusir Litha dari apartemen aku. Aku harus tanya langsung ke Papa. Apa alasan Papa melakukan itu, dan dimana Litha sekarang." Rafael. Mawar menahan lengan anaknya yang hendak pergi.
"Raf! Jangan bicara dengan Papamu dengan kemarahan seperti ini! Mama tidak mau kalian ribut." Mawar.
"Ma, Rafael nggak mau kehilangan Litha. Rafael harus tanya ke Papa." Rafael.
"Raf, dengarkan Mama! Untuk kali ini tolong dengarkan Mama! Mama benar-benar nggak mau dua orang yang sangat Mama cintai bertengkar. Kamu tega membiarkan Mama menyaksikan pertengkaran kalian, Raf?" ucap Mawar dengan nada lirih dan rapuh.
Rafael tampak berpikir. Tentu saja ia tidak ingin melukai hati wanita yang paling dicintainya itu. Dia tidak ingin wanita itu menangis karenanya. Tapi...bagaimana dengan Litha? Rafael menahan cekalan tangan ibunya lalu bergegas pergi menuruni tangga.
"Raf! Rafael! Kamu mau kemana, Raf!"
"Rafael"
Rafael tidak menghiraukan teriakan Mawar yang berlari menyusulnya. Ia segera masuk ke mobilnya dan mengendarainya dengan kecepatan di atas rata-rata.
"Apapun yang terjadi aku harus menemukanmu, Litha. Aku tidak akan membiarkanmu pergi dari hidupku." gumam Rafael sembari mencengkram erat stir mobilnya. Pria itu membelah sepinya jalanan di malam hari hanya untuk mencari gadisnya, Talitha.
*
Waktu menunjukkan pukul 05.20. Namun Rafael belum juga menemukan Litha. Ia masih terus mengendarai mobilnya tanpa tujuan yang jelas. Ia tidak menghiraukan dering ponselnya. Ia hanya meliriknya sekilas membaca nama yang tertera di layarnya. Mom. Ini sudah yang ke-18 kalinya Mawar menghubungi Rafael. Tapi sekalipun, Rafael tidak pernah mengangkatnya. Rafael meminggirkan mobilnya ketika merasakan kantuk yang tak tertahankan. Dan lagi, dering ponsel kembali mengusiknya. Kali ini, nama yang tertera di layar handphone pintar itu adalah nama Devania.
"Hmm... Dev," saut Rafael dengan mata setengah terpejam.
"Kakak dimana sekarang? Mama khawatir sama kakak."
"Aku sedang mencari Litha."
"Lalu bagaimana, sudah ketemu?"
"Belum. Aku masih mencarinya."
"..."
"..."
"Pulang, Kak! Mama khawatir! Nanti pulang selolah Devania bantu cari Kak Litha, Dev janji."
"..."
"Kak, Kakak denger Dev kan? Apa perlu sekarang Dev sama supir jemput Kakak? Kakak dimana?"
"Okey Kakak akan pulang." Putus Rafael yang tidak ingin adiknya berkeliaran di pagi buta seperti ini.
Setelah menghela napas panjang, akhirnya Rafael menyalakan kembali mesin mobilnya dan mengendarainya menuju kediaman keluarganya. Bagaimanapun juga ia tak boleh egois. Dia tak ingin membuat mama dan adiknya kesusahan.
*
"Dari mana kamu, Rafael?" tanya Bisma ketika melihat Rafael masuk dari pintu utama rumahnya.
"Mencari Litha yang udah Papa usir." balas Rafael.
"Untuk apa kamu mencarinya?" Bisma.
"Karena Rafael cinta sama Litha. Rafael mau Litha selalu di samping Rafael, Pa. Cuma Litha." Rafael.
“Jangan gila kamu, Raf! Dia itu wanita tidak waras. Untuk apa kamu menginginkannya? Papa sudah jodohkan kamu dengan gadis se-sempurna Evelyn. Apa itu kurang?" bentak Bisma.
"Pa, sudah! Ayo sarapan dulu!" lerai Mawar yang tak ingin perdebatan ayah dan anak itu semakin panas.
"Selamanya Rafael hanya akan mencintai Litha, Pa. Tidak peduli bagaimanapun keadaan dia." Rafael.
"Raf!" tegur Mawar agar putranya itu berhenti berdebat dengan ayahnya.
"Terserah kamu. Papa hanya melakukan apa yang terbaik buat kamu. Karena Papa ini Papa kamu. Dan Papa wajib mengupayakan kebahagiaan kamu." balas Bisma dingin.
"Raf, kamu mau kemana?" tanya Mawar lembut ketika putra kesayangannya itu melenggang ke arah tangga.
"Mandi, Ma. Rafael gerah." balas pria berperawakan tinggi itu.
Setelah menutup pintu kamarnya, Rafael merebahkan diri di atas tempat tidur. Matanya terpejam. Ia merasa sangat lelah.
Detik demi detik berlalu. Tapi Rafael masih terjaga. Meski matanya terpejam, namun otaknya masih terus memikirkan Litha. Dimana gadis itu berada? Bunyi pesan masuk di handphonenya, memaksa Rafael kembali membuka matanya.
'Dad'
“Ingat, sebelum pukul 8 kamu harus sudah sampai kantor untuk persiapan meeting.”
Rafael menghela napas panjang kemudian berjalan ke arah kamar mandi.
'Semoga meeting nanti berjalan cepat dan aku bisa segera kembali mencari Litha. Litha, where are you?' batin Rafael.
*
Rafael memijat pangkal hidungnya saat merasakan pandangannya mulai kabur. Meeting dengan kolega bisnisnya baru saja selesai sekitar lima menit lalu.
'Brakkks'
Rafael terpenjat saat mendengar pintu ruangannya di buka secara kasar. Siapa gerangan yang berani melakukan hal tersebut pada CEO di perusahaan ini? Dan dia adalah.... Bisma. Ayahnya. Sekaligus komisaris dan pemegang 80% saham perusahaan Renandi.
"Kamu mengecewakan Papa, Rafael." desis Bisma.
"Maaf, Pa." Baiklah. Rafael mengakui kesalahannya. Ia tidak fokus saat meeting tadi sampai ayahnya harus beberapa kali menegurnya. Bahkan clien nya sempat menanyakan mengenai kesehatan Rafael dan kesiapannya dalam meeting tersebut.
"Kamu hampir saja menggagalkan kerja sama perusahaan kita dengan perusahaan terbesar di Korea Selatan itu, Rafael! Bagaimana nasibnya tadi kalau Papa tidak ada di ruangan itu? Semua akan gagal."
"Rafael minta maaf, Pa."
"Ada apa dengan kamu sebenarnya, hah? Om Rudy bilang kinerja kamu di Australia sangat baik. Dan dia yang merekomendasikan jabatan ini untukmu." Bisma.
"Rafael hanya sedang merasa lelah, Pa. Sekali lagi Rafael minta maaf."
"Lelah? Karena gadis gila itu?" tanya Bisma sarkastik. Rafael mengangkat kepalanya. Ia merasa tidak terima dengan ucapan ayahnya.
"Dia tidak gila, Pa. Dia hanya memiliki masalah yang tidak kita pahami. Dia hanya tertekan." bela Rafael.
"Sampai kapan kamu akan tergila-gila pada gadis itu, Rafael? Kamu sudah Papa jodohkan, dan kamu tidak bisa menolak perjodohan ini." Bisma.
"Pa, sekali ini saja! Izinkan Rafael menentukan pilihan Rafael sendiri. Rafael sangat mencintai Litha, Pa." Rafael. Bisma menghela napas panjang.
"Papa hanya ingin anak Papa bahagia. Papa hanya ingin kamu dan Devania mendapatkan pasangan yang terbaik untuk kalian. Berapa kali Papa harus jelasin itu, Raf? Dimana ada orang tua yang rela anaknya menikah dengan perempuan tidak waras disaat ada perempuan baik-baik yang bibit, bebet, bobotnya jelas mencintai anaknya?" ujar Bisma sedikit melembut.
Rafael terdiam. Ia mencerna kata-kata ayahnya. Sekalipun, ayahnya tidak pernah menempatkan ia di posisi yang salah. Ayahnya selalu memberikan yang terbaik untuknya, Devania, dan Mawar.
"Semoga ini terakhir kalinya kita memperdebatkan hal ini, Rafael. Papa pergi sekarang." lanjut Bisma.
Rafael menyandarkan punggungnya di kursi. Matanya kembali terpejam. Rasa pusing yang ia rasakan semakin bertambah. Apa yang harus ia lakukan? Handphonenya berdering. Tapi Rafael hanya meliriknya sekilas, dan memilih mengabaikannya. Ia ingin beristirahat sejenak. Sepuluh atau lima belas menit saja, ia ingin mengistirahatkan otaknya.
'Tok tok tok'
Rafael memaksa matanya untuk kembali terbuka saat terdengar suara ketukan pintu.
"Masuk!" ujarnya malas. Tak lama, sekertarisnya masuk dan berjalan ke arah meja kerja Rafael.
"Maaf Pak, saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Bisma. Katanya nanti jam lima Bapak harus sudah sampai rumah. Karena jam tujuh akan ada jamuan makan malam dengan keluarga Nona Evelyn di restoran Swarda." ujar sekertaris Rafael.
"Hmm..."
"Kalau begitu, saya pamit undur diri, Pak." Setelah pintu ruangannya kembali tertutup, Rafael mengacak-acak rambutnya frustasi.
"Litha...kamu dimana?" lirihnya. Ia melirik arlojinya sekilas kemudian bangkit dan berjalan cepat ke arah lift. Ia memutuskan untuk kembali mencari Litha. Ini masih jam dua. Itu artinya Rafael masih punya waktu tiga jam sebelum ia harus pulang.
Ia mematikan handphonenya. Kemudian mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Matanya terus menengok ke kanan dan kiri, menyusuri setiap sudut jalan mencari sosok Litha.
"Aku harus mencarimu kemana, Litha?"
Rafael masih tidak menyerah. Dia menahan segala rasa lelahnya demi mencari Litha. Semoga usahanya berhasil, dan ia dapat membawa pulang kembali Litha ke apartemennya.
*
Malam menjelang. Rafael melangkah gontai mengikuti kedua orang tua dan adik tunggalnya.
"Rafael, Devania, cepatlah! Mereka pasti sudah menunggu." teriak Bisma pada kedua anaknya. Devania mengangguk kemudian menggandeng tangan kakaknya agar berjalan lebih cepat.
"Tadi kenapa nggak jadi nyari Kak Litha sama Dev? Dev kan udah nelfon Kakak berkali-kali, malah nggak diangkat." omel Devania.
Rafael terdiam. Tatapannya kosong. Seakan ia baru saja kehilangan hal terpenting dalam hidupnya, jiwanya.
Keluarga Renandi kini tengah duduk berhadapan dengan keluarga Chlair. Tomy Chlair. Adalah pengusaha nomor satu di Perancis. Ia adalah pewaris tunggal perusahaan keluarga Chlair setelah kakaknya, Tanaya meninggal dalam sebuah kecelakaan tragis. Perusahaan tersebut memang sedang mengalami masa-masa sulit lima tahun terakhir. Tapi, popularitasnya tetap jadi perbincangan sehingga banyak perusahaan asing yang ingin bekerja sama dengannya. Tomy dan istrinya, Era, memiliki putri tunggal bernama Evelyn Chlair. Dialah gadis cantik yang sebentar lagi akan menjadi tunangan Rafael.
"Hay Rafael! Lama Om tidak berjumpa denganmu. Bagaimana kabarmu?" sapa Tomy.
"Baik." jawab Rafael singkat.
"Evelyn sering mengunjungimu di Australia, bukan? Bagaimana hubungan kalian sekarang?" Bisma. Rafael diam. Ia sama sekali tidak tertarik dengan pertanyaan ayahnya. Pertanyaan retoris.
"Kami semakin dekat, Om. Ya memang Rafael orangnya sedikit pendiam dan cuek, tapi dia baik kok sama Evelyn." sambung Evelyn. Bisma tersenyum ke arah Evelyn.
"Kamu memang gadis yang baik. Cocok untuk Rafael." pujinya.
"Baiklah, bagaimana kalau kita makan dulu? Sepertinya pesanan kita segera datang." sambung Era. Semua mengangguk setuju kecuali Rafael. Ia masih terus diam membeku. Pikirannya hanya tertuju pada Litha.
'Dimana ia sekarang?'
'Sedang apa dia?'
'Apa dia sudah makan?'
Rasanya sangat sulit bagi Rafael untuk menahan kekhawatirannya itu.
Acara makan telah selesai. Kini kedua keluarga kelas atas itu tengah berbincang ringan mengenai hal-hal yang tidak terlalu penting.
"Iya Om, jadi kalau di Australia itu memang Evelyn yang selalu mendatangi Rafael. Dia itu pekerja keras, Om. Pokoknya Om beruntung banget punya putra seperti Rafael." Evelyn. Bisma tertawa kecil, begitupun Tomy dan Era.
"Benar begitu, Rafael? Tapi harusnya sebagai pria kamu yang harus datang duluan. Kasian Evelyn." saran Bisma lebih seperti perintah.
"Tidak masalah, Pak Bisma. Lagian, kan memang Evelyn kesana untuk menemui Rafael. Dia juga tahu kalau Rafael sangat sibuk. Jadi dia harus menerima konsekuensinya." balas Tomy.
"Iya, Om. Evelyn sama sekali tidak keberatan. Malahan, Evelyn sangat bangga punya calon suami pekerja keras seperti Rafael." Evelyn sembari tersenyum manis.
"Kak Evelyn senyum karena bangga dengan Kak Rafael, atau karena merasa di bela Papanya Dev?" ceplos Devania.
Kini semua mata tertuju pada Devania. Pertanyaan yang baru saja Devania lontarkan berhasil membuat suasana menjadi hening seketika.
"Eee...ya karena Kakak bangga dengan Kakakmu lah, sayang. Kak Rafael itu orang yang sangat hebat," jawab Evelyn dengan sedikit terbata. Devania tertawa garing.
"Lagi pula, sebenarnya Kak Rafael ini baik kok, walau kadang terkesan agak dingin." lanjutnya. Devania kembali tertawa.
"Dev, kamu ini tertawa kenapa sih?" tegur Mawar merasa aneh dengan putrinya.
"Ya habis, Kakaknya masih aja PD buat bohongin kita. Jelas-jelas Kak Rafael nggak respect sama dia. Masih aja ngomongnya nglantur. Lagian Dev ini adeknya Kak Rafael. Dari orok juga udah barengan, jadi Dev jauh lebih tahu sifat Kak Rafael daripada dia. Termasuk penolakan Kak Rafael secara tidak langsung ini." jawab Devania polos seakan ia baru saja melihat sebuah drama komedi yang sangat lucu.
"Devania!" tegur Bisma. Ia mulai geram dengan kepolosan putrinya itu. Devania mengalihkan pandangannya kepada sang ayah. Dan bingung ketika melihat raut kemarahan di wajah itu.
"Ada apa, Pa?" bingungnya. Bisma menghela napas panjang menghadapi sikap putrinya itu. Rasanya sangat sulit ketika ia hendak memarahi gadis kecilnya itu.
"Berbicaralah lebih sopan pada Kak Evelyn! Dia kan calon kakak kamu juga." ujar Bisma kepada anak gadis kesayangannya itu.
"Sudah-sudah! Tidak apa-apa, Pak Bisma. Lagian Devania cuma bercanda aja. Jangan di anggap serius, kasihan dia." lerai Tomy.
Kini Devania menatap pria paruh baya itu dengan tatapan protes. Bercanda? Ia tak merasa melakukannya. Baru saja Devania ingin melontarkan kata-kata pedasnya, ia terpekik karena cubitan dari ibunya.
"Diam! Jangan bicara macam-macam! Nanti Papa marah." bisik Mawar kepada Devania.
"Dev, Kakak pengen deh jalan-jalan sama kamu. Disini Kakak nggak ada teman." ujar Evelyn.
"Boleh. Kemana?" tanya Devania.
"Gimana kalau besok kita shopping? Nanti kita beli baju, sepatu, tas yang keren-keren. Gimana? Nanti Kakak yang bayar deh." Evelyn.
Devania memperhatikan penampilan Evelyn. Tak lama berselang, ia menunjukkan ekspresi gelinya.
"Kenapa Dev?" Tanya Era heran
"Nggak deh, Kak. Selera kita beda soal style. Devania nggak PD kalau disuruh pakai baju kayak kurang bahan gitu. Papa Devania kan kaya, masak baju aja kayak kurang bahan. Malu dong entar." jawab Devania spontan.
Rafael yang sedari tadi diam kini tidak bisa menahan tawanya. Ia benar-benar takjub dengan adik ajaibnya ini. Sungguh. Devania bukanlah orang jahat. Dia hanya terlalu polos dan jujur. Spontanitasnya memang wajib diacungi jempol.
"Dev!" geram Bisma. Ayah dua anak itu benar-benar merasa malu dengan keluarga Chlair.
"Maaf. Bukan maksud Devania seperti itu." ujar Bisma meminta maaf.
"Dev, ini udah malam loh. Besok kamu sekolah kan? Lebih baik minta tolong Pak Budi anterin pulang dulu deh!" ujar Mawar kemudian.
"Iya deh, Ma. Yaudah. Om, Tante, Kak, Devania pamit dulu ya?" pamit Devania.
"Pa, biar Rafael antar Dev ya? Ini sudah malam. Nggak tega kalau biarin Dev cuma pulang sama Pak Budi." ujar Rafael.
Bohong.
Bukan itu alasan sebenarnya Rafael. Ia hanya sudah berada di batas rasa muak dengan perbincangan malam ini. Apalagi, setelah Devania menjulurkan lidah ke arahnya seakan gadis itu baru saja lolos dari sebuah siksaan.
"Tidak bisa, Rafael. Kamu kan sudah lama tidak bertemu dengan Om Tomy dan Tante Era." Bisma.
"Bye kakak! Dev duluan ya!" ujar Devania sebelum mencium pipi Rafael dan berlari kecil keluar dari restoran.
Rafael menghela napas panjang. Tinggalah ia seorang diri yang harus merasakan siksaan batin malam ini.
'Kenapa Dev harus pergi saat aku merasa ia memiliki mulut yang cukup berguna?' batin Rafael merutuki nasib buruknya.