Part 12

1393 Words
“Papa menjodohkanku dengannya,” gerutu Sonia dengan bibir cemberut setelah ia berhasil menyeret sang kakak menjauh dari perbincangan kedua orang tuanya, Liam, dan Evans. Kemudian tatapan Sonia pada Lana semakin menajam dan diselimuti kecurigaan yang semakin menguat. “Apa kalian saling mengenal? Jangan bilang kau terlibat dengan perjodohan ini, Lana.” Lana mendelik. “Aku tak tahu apa yang kau bicarakan, Sonia. Aku mengenal Evans, ya. Tapi aku sama sekali tidak tahu tentang perjodohan kalian. Aku bahkan terkejut menemukan dia menjadi calon adik iparku.” Mata Sonia memicing, tetapi perlahan kecurigaannya mereda. Lana paling tak bisa berbohong. Ekspresi kakaknya itu memang segamblang dan sepolos itu. “Lalu bagaimana kalian saling mengenal?” “Kami terlibat sedikit kecelakaan, aku menabrak mobilnya.” “Ah, yang hari itu?” Lana mengangguk. “Dia pria yang baik.” “Itu hanya semakin memperjelas bahwa dia bukan pria yang baik.” Mata Lana menyipit tak terima. “Lihat saja, kau membuang Liam dengan pria baik yang mencampakkanmu di hari pernikahan. Itu menjelaskan bagaimana caramu menilai seseorang, Lana.” “Ck, diamlah, Sonia,” delik Lana tersinggung. Tak bisa menyangkal di saat hatinya pada Dennis pun masih dipenuhi keraguan seperti ini. Setidaknya ia butuh konfirmasi atau pernyataan secara langsung dari Dennis, sebelum memutuskan untuk memercayai apa yang sudah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia butuh memercayai Dennis dengan semua keraguan yang tak menyerah untuk merayapi dadanya. Ia masih harus mencari di mana Dennis. “Ya, aku tidak hanya akan diam. Aku harus pergi.” Sonia bergegas pergi ketika menemukan wajah Evans muncul dalam pandangannya. Tepat ketika Sonia menghilang di antara kerumunan para tamu, Evans muncul dengan dua gelas di tangan kanan dan satu gelas di tangan kiri. “Ke mana adikmu?” Lana mengedipkan matanya dua kali dan menjawab dalam cengiran saat menyadari Sonia yang hilang dalam sekejap ternyata karena kemunculan Evans, “Toilet.” ‘Mungkin,’ lanjut Lana dalam hati. Evans tetap memasang senyum lebarnya untuk Liana sembari mengulurkan segelas minuman ke arahnya. “Jadi aku punya dua gelas untuk dihabiskan,” ucapnya mengangkat kedua gelas di tangan kanan dan kirinya. Meminum gelas di tangan kiri dalam satu tegukan setelah menyentuhkan gelasnya di gelas Lana. “Sebelumnya kau berhutang penjelasan padaku. Kemarin, seharian penuh kau mengabaikan panggilanku.” “Ah, maafkan aku. Aku benar-benar tidak melihat panggilanmu, dan saat melihatnya aku terlupakan,” sesal Lana. Evans mengangguk. “Tidak apa-apa. Aku hanya mengkhawatirkanmu. Kita bertabrakan di lobi dan kau … kau …” Evans berhenti, mencari kosa kata yang tepat. “… kau …” “Terlihat kacau? Ya, aku memang sedang kacau saat itu.” Evans menampilkan senyum empatinya. “Kuharap sekarang kau sudah sedikit lebih baik.” Harapan Evans membuat Lana mendesah pelan. ‘Tidak sedikit pun,’ jawab Lana dalam hati. Hening sejenak. Kemudian Lana teringat perjodohan Sonia dan Evans. “Aku tak tahu ternyata kau mengenal kedua orang tuaku.” “Lebih tepatnya, keluarga kita yang saling mengenal.” “Oohhh.” Lana manggut-manggut. “Jadi?” “Jadi?” Salah satu alis Evans terangkat dengan humor, kemudian bergerak naik turun yang membuat Lana tertawa pelan. “Jadi kau dijodohkan dengan adikku?” Evans menghela napas panjang. Ya, semacam itu. Entah kenapa para orang tua suka sekali membuat pengaturan semacam ini tanpa memedulikan hak kami sebagai anak. Kami sudah dewasa, kan?” Lana hanya meringis. Kedua orang tuanya sudah memberinya kebebasan semacam itu dan di sinilah ia berakhir. Sebagai istri dari mantan kekasih yang sudah ia campakkan. Dan hal itulah yang mendorong kedua orang tuanya melakukan perjodohan tersebut pada Sonia dan Evans. Karena tak ingin Sonia salah pilih pasangan, dan Lana hati tetap merasa ia tak pernah salah memilih Dennis sebagai pasangannya. “Sejujurnya aku sempat terkejut ketika kau memperkenalkan diri sebagai putri Leans Group. Dan jujur saat itu aku berpikir kaulah yang akan dijodohkan dengannku.” Evans kemudian meringis. “Sebelum suamimu datang. Liam Isaac.” “Dan ternyata adikku yang dijodohkan denganmu,” senyum Lana. “Bagaimana menurutmu dia?” “Hm, cukup manis dan menggemaskan. Meski … apakah menurutmu dia bisa dijadikan istri? Tampaknya dia tak suka hidupnya diatur sebuah pernikahan. Dia terlihat terkejut ketika kedua orang tuamu memperkenalkan kami.” Lana tak tahu harus menjawab apa. “Kau ingin jawaban yang jujur atau tidak?” “Hmm …” Evans menyentuhkan telunjuknya di dagu. “Keduanya.” Lana terkikik. “Dia belum ingin menikah, tapi aku harus berkata ya karena mama dan papaku menginginkan perjodohan ini berjalan dengan lancar. Terutama setelah apa yang kulakukan pada mereka.” Seketika Lana menyadari kata-katanya yang terlalu dalam. “Maaf.” Evans menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Mungkin kau butuh sekedar teman untuk berbagi hal yang mengganggu pikiranmu.” Lana bisa merasakan ketulusan dalam tawaran yang diajukan oleh Evans. “Terima kasih, aku sangat menghargainya.” “Ya, aku juga senang.” “Berhenti tentangku. Apakah kau akan melanjutkan perjodohan kalian?” Sekali lagi Evans mendesah, kemudian tertawa. Dan Lana ikut tertawa. “Aku tak tahu harus berkata apa.” “Ya, aku juga sama. Tapi aku berharap yang terbaik untukmu dan Sonia.” “Oke. Terima kasih untuk harapanmu.” Evanas mengangkat gelasnya. “Minumlah.” Lana pun menyesap minumannya sedikit. “Tunggu.” Evans mengulurkan tangan dan menyeka bekas minuman di ujung bibir Lana menggunakan ibu jarinya. Dan tepat pada saat itulah, seseorang muncul menyela keduanya.  “Bolehkah aku mendapatkan istriku kembali?” Liam menarik pinggang Lana mendekat dan menempel di tubuhnya dengan posesif. Evans menarik tangannya, menatap Liam dengan ketenangan yang begitu terampil. Sama sekali tak tergoyahan oleh tatapan menusuk Liam yang semakin menajam. Evans pun mengangguk, mempersilahkan Liam dan Lana melangkah pergi dengan senyum lebarnya. Cukup lama pria itu tertegun menatap punggung pasangan tersebut bergerak semakin jauh hingga di telan kerumuman. “Jadi dia akan menjadi adik iparmu?” “Aku tidak tahu.” “Tidak tahu?” Liam menoleh dengan salah satu alis yang terangkat tinggi. “Sonia belum siap menikah.” “Dan bukan berarti dia bisa menggoda calon kakak iparnya, kan?” Lana berhenti, menoleh ke samping dan menatap wajah Liam penuh tanya. “Apa yang kau katakan, Liam?” Liam menggeleng. “Aku hanya berkata-kata saja. Jangan diambil serius.” Lana pun tak membalas meski tahu benar apa yang dikatakan oleh Liam bukan sekedar kata-kata ringan. “Kita pulang sekarang.” Liam menyeret Lana keluar dari pintu ballroom hotel dengan langkah Lana yang sedikit terseok karena gaun malamnya yang jatuh menyentuh lantai dan sepatu haknya yang tinggi. *** Ponsel Lana bergetar, memecah keheningan yang bertahan sejak keduanya naik ke dalam mobil. Lana pun merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Menatap nama Juan di layar ponselnya yang berkelap-kelip. Lana melirik ke arah Liam, yang seketika membalas tatapannya. “Kenapa kau menatapku?” Lana menelan ludahnya dan menggeser tombol hijau di layar ponselnya sebelum menempelkannya di telinga. “Ya?” “Maafkan aku menghubungimu lagi, Lana.” “Tidak apa-apa. Apakah ada sesuatu yang ingin kau bicarakan denganku lagi?” Juan tanpa mendesah berat sejenak sebelum menjawab lagi. “Sepertinya aku menemukan sesuatu. Salah satu temanku bertemu dengannya di Singapore. Sepertinya mereka terlibat sesuatu yang meminta bantuan pada teman kami.” Wajah Lana memucat. “Mereka?” Bukankah ini artinya Dennis memang tidak pergi seorang diri. “Ya, Lana.” Lana diam sejenak, menelan ludahnya yang terasa seperti gumpalan batu di tenggorokan. “Ke mana mereka pergi?” “Singapore.” “Singapore?” “Ya.” “B-bagaimana?” “Aku tak tahu persisnya, Lana. Hanya ini yang bisa kuberikan untukmu. Aku akan mengirim alamat mereka di sana.” “Ya, terima kasih banyak, Juan.” Panggilan terputus, dan lama Lana menatap layar ponsel wanita itu dalam genggamannya. Liam yang duduk di sampingnya hanya melirik dingin ke wajah Lana yang diselimuti gelayut. Bahkan setelah menjadi istri dan ia memiliki tubuh wanita itu, Lana tak juga menoleh kepadanya. Pikiran dan hati wanita itu masih saja dipenuhi oleh pria lain. Liam menyadarkan diri dari lamunannya, menepis segala macam pemikiran tersebut memenuhi kepalanya. Saat itulah ponselnya berdering, menampilkan nama Marisa. “Ya, sayang?” Lana tak bisa menahan wajahnya untuk tidak berputar menoleh ke samping. “Aku harus mengantar istriku pulang lebih dulu.” Cubitan kecil terasa meremas hati Lana, lagi. Dan cubitan itu semakin terasa ketika mereka sampai di halaman apartemen, Lana turun dan Liam langsung pergi. Lana pun bergegas naik dan membersihkan diri sejenak sebelum berbaring tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD