Part 11

1404 Words
Liam baru membiarkan Lana terbebas dari cengkeraman di lengannya ketika pria itu selesai mendapatkan kepuasan dari tubuhnya. Mungkin pria itu tidak bersikap kasar seperti yang dilakukan seperti malam sebelumnya, tetapi sentuhan pria itu benar-benar seperti orang yang kelaparan. Membuat Lana benar-benar kewalahan. Dengan satu lengan menutupi d**a dan dengan lengan lainnya, Lana meraih handuk bersih yang ada di pinggiran bath up. Ia melilitkan handuk tersebut di tubuhnya sebelum melangkah keluar dari bath up dengan wajah merah madam. Antara malu dan kemarahan yang berusaha ia pendam rapat-rapat. Beruntung pria itu tak menahannya. Entah berapa banyak lagi sakit hati yang harus ia dera sebelum dosa-dosanya kepada pria itu lunas dan Liam membebaskannya dari belenggu pernikahan ini. Tiga bulan, dan hatinya sudah seremuk ini bahkan belum cukup satu minggu mereka menjalani ikatan ini. Langkah Lana menuju pintu kamar mandi terhenti ketika menginjak kemeja Liam yang dilempar sembarangan ke lantai. Lana membungkuk, memungut kemeja putih pria itu dan membeku ketika menemuan noda merah yang ada di kerah kemeja tersebut. Lana tak akan salah mengenalinya noda merah tersebut adalah warna lipstik. Dan jika ia tak salah ingat, warna merah membara ini sama persis dengan lipstick yang dipakai Marisa. Sekali lagi hati Lana serasa digerus. Sedangkan Liam baru saja melilitkan handuknya sendiri di pinggang ketika menyadari keterpakuan Lana di depan wastafel. Pria itu melangkah mendekat dan mengikuti pusat perhatian wanita itu. Keningnya berkerut tak ingat bagaimana noda lipstick Marisa bisa ada di sana, tetapi yang menjadi perhatiannya adalah kepucatan di wajah Lana. “Kenapa? Apakah itu mengganggumu?” Lana mengerjap dua kali dan terbangun dari kebekuannya. Menelan gumpalan di tenggorokannya tanpa meneteskan sebening air matanya. Ia tak bolah terpengaruh oleh hal semacam ini. Liam bisa melakukan apa pun sesuka pria itu tanpa perlu memedulikan dirinya sebagai seoran istri. Lana mengangkat wajahnya yang dipenuhi kepedihan. Kemudian kembali membungkuk untuk mengambil celana dan pakaian dalam Liam lalu memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di sudut kamar mandi. Lalu melangkah keluar kamar mandi lebih dulu dengan hati yang mati-matian dijaga agar tidak hancur lebur. Liam hanya menyeringai. Menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Kepuasan melintasi kedua matanya dengan cara yang licik. *** Esok siangnya, Lana memberanikan diri menemukan keamanan gedung apartemen Dennis. Sekali lagi dihantam pukulan yang begitu besar menemukan wanita yang mendatangi aparteman Dennis dan berpapasan dengan Thomas tepat seperti yang ia duga. Anna Lauren. Butuh waktu satu jam lebih bagi Lana untuk menerima kenyataan tersebut. Menerima bahwa apa pun yang terjadi di antara Dennis dan Anna, adalah alasan Dennis tidak datang di hari pernikahan mereka. Lana mendatangi kantor Dennis, dan lagi-lagi dikejutkan bahwa ternyata Dennis telah mengirimkan surat pengunduran diri tepat di hari pernikahan mereka. Begitu pun dengan Anna. Lana pun mencari tahu alamat Anna, yang bahkan lebih mengejutkannya adalah, selama ini Anna tinggal di gedung apartemen yang sama dengan Dennis meski dengan lantai yang berbeda. Di hari yang sama, Dennis dan Anna menghilang bagai ditelan bumi. Sama sekali tak meninggalkan jejak apa pun. Sibuk diserang keterkejutan dari segala arah, membuat Lana lupa waktu dan baru kembali pulang setelah hari sudah gelap. Perutnya terasa begitu perih. Lana pun memutuskan untuk membeli sandwich instan di salah satu mini market dalam perjalanannya pulang. Yang rasanya begitu hambar di mulut, tetapi ia tetap menelannya karena perutnya butuh diisi. Sampai di apartemen Liam, suasana tampak begitu henting. Tak ada tanda-tanda keberadaan manusia lain di setiap ruangannya. Sampai ia masuk ke dalam kamar dan terperanjat kaget menemukan Liam yang duduk di sofa tunggal ketika menyalakan lampu. “A-apa yang kau lakukan dalam kegelapan, Liam?” sembur Lana tak mampu menahan kekesalannya. “Menunggu istri tercinta tentu saja.” Salah satu alis Liam terangkat dengan ketajaman di kedua matanya yang segelap dalamnya samudra. “Tapi … sepertinya istriku begitu sibuk, ya?” Lana tak langsung menjawab. Hatinya sudah cukup lelah, berikut tubuh dan pikirannya yang sudah terkuras habis. Tanpa perlu mengambil hati kesinisan yang begitu kental dalam kalimat Liam. “Sibuk mencari kekasih yang mencampakkanmu, Lana?” dengus Liam. Pria itu bangkit berdiri, mengambil kantong biru yang diletakkan di meja dalam perjalananya menghampiri Lana. Mengabaikan kata-katanya yang menyakiti wanita itu dan mengulurkan kantong tersebut pada Lana. “Pakai ini,” Lana menelan rasa pahit dari pertanyaan Liam. Menerima kantong tersebut dan bertanya sambil menarik keluar kotak di dalamnya dan membukanya. Menemukan gaun malam berwarna peach dengan sepatu yang berwarna senada. “Apa ini?” “Malam ini ada undangan pesta. Kau harus menemaniku ke sana.” “Bukankah kau bisa pergi dengan Marissa?” “Dan dilihat oleh kedua orang tuamu?” sengit Liam. Mengabaikan kejengkelannya akan pertanyaan Lana yang diselimuti keengganan. Lana seketika terdiam. Ya, lingkaran bisnis papanya memang masih terhubung dengan bisnis Liam. Itulah sebabnya ia selalu menghindari setiap kali papanya membawanya ikut ke pesta tersebut. Selain karena papanya yang masih berusaha untuk menjodohkannya denganpria lain, juga untuk menghindari bertemu dengan pria itu secara kebetulan. Dan pertemuan terakhirnya dengan Liam adalah ketika pria itu memberinya pilihan antara pria itu dan Dennis. Kemudian pria itu menghilang dari hidupnya, meskipun Lana tahu dunia mereka masih terhubung. “Liam, bolehkah aku tidak ikut? Badanku lelah dan kepalaku …” “Pergilah ke kamar mandi dan membersihkan dirimu sebelum berpakaian. Aku akan menunggumu,” penggal Liam sebelum Lana menyelesaikan penolakannya. “Sebaiknya tidak lebih dari setengah jam, Lana. Kita sudah terlambat,” pungkasnya sebelum menghilang di balik pintu ruang ganti. *** Liam sama sekali tak melepaskan lengannya dari pinggang Lana. Memperkenalkan Lana kepada rekan-rekan bisnis pria itu. Yang sebagian besar juga mengenali dirinya sebagai putri sulung Leandra. Tak henti-hentinya ia mendengar pujian bagaimana cocoknya ia bersanding di sisi Liam, dan berharap pernikahan mereka menjadi langgeng. Lana sendiri tak repot-repot mengharapkan hal yang sama. Ia tahu apa yang ada dalam pernikahan mereka. Tidak ada, selain hanya kekosongan. Rasanya tak ada yang tidak mengenal Liam Isaac. Sebagai anak tunggal dari pasangan Isaac yang sudah meninggal sejak Liam masih begitu remaja. Membuat Liam bekerja keras seorang diri mempertahankan perusahaan peninggalan kedua orang tua pria itu. Yang bergelut di bidang eksport dan import barang. Juga pemilik beberapa bank swasta di negara ini. Sonia benar, ketika ia masih berkencan dengan Liam. Liam tidak terlalu fokus akan tanggung jawab pria itu pada perusahaan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Dan sakit hati yang ia berikan pada pria itu, mendorong Liam lebih fokus pada pekerjaan. Liam tak pernah menganggap dirinya seistimewa itu, terbukti dengan mudahnya pria itu melepaskannya. Pun dengan dirinya yang adalah kekasih pria itu, rasa terkhianati pria itu tidak cukup dalam. Meski pada akhirnya ia harus membayar semuanya dengan pernikahan mereka saat ini, ia tahu itu hanyalah dalih. Untuk mengusik dirinya. Sebagai bentuk dendam pria itu sendiri. “Tidak bisakah kau menampilkan senyummu lebih lebar lagi, Lana. Kau terlihat begitu tertekan. Seakan akulah penyebab semua derita batin yang sedang kau alami saat ini,” bisik Liam di telinganya. Terlihat seakan Liam yang mencium pipinya bagi siapa pun yang melihat mereka. Cengkeraman pria itu di pinggangnya pun semakin merapat, membuat mereka tampak seperti pasangan pengantin baru yang tak ingin lepas satu sama lain. “Kepalaku sedikit pusing, Liam. Aku sudah mengatakan padamu.” “Seharian penuh kau memberikan seluruh perhatianmu pada mantan kekasihmu yang pengecut itu, dan kau tak punya waktu menemani suami sahmu hanya untuk beberapa jam saja?” Mata Lana terpejam ketika ia menghela napas. Tak ingin memperdebatkan hal ini semakin dalam, Lana menoleh ke samping dan memasang senyum seapik mungki untuk Liam. “Apakah senyum seperti ini yang kau inginkan?” Senyum Liam pun mengembang dengan puas, kemudian pria itu sedikit menundukkan wajahnya dan membiarkan bibir mereka bersentuhan secara kilat. Lana terkesiap pelan, tetapi segera menguasai reaksinya. Ada begitu banyak orang di sekeliling mereka, yang mengenali mereka sebagai pasangan pengantin baru. Bahkan banyak yang mengenal kedua orang tuanya dan Liam. Lana pun tak mungkin terlihat mencurigakan di depan mereka, kan? “Kita harus menyapa kedua orang tuamu.” Liam menarik pinggang Lana, menerobos di antara kerumunan para tamu undangan. Menemukan kedua orang tuanya dan Sonia yang berbincang dengan seorang pria muda yang memunggungi mereka. “Hai, Lana. Liam,” sapa Anna Leandra menyambut putri sulung dan menantunya yang muncul. Mengecup pipi Lana dan Liam bergantian. “Perkenalkan, ini adalah Evans Jonas.” Liam dan Lana sempat membeku, ketika pria yang memunggungi mereka memutar wajah kea rah mereka berdua. Dan keduanya menemukan pria yang dibicarakan oleh mamanya adalah Evans yang sama dengan yang keduanya kenal. Atau lebih tepatnya hanya Liam tahu, kedua pria itu jelas tak ingin saling mengenal lebih jauh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD