Part 20

1191 Words
Lana benar-benar kesal, rasa panas menyelimuti hatinya. Ia tidak –sedikit- peduli dengan apa pun yang dilakukan oleh Liam dengan Marisa atau wanita mana pun. Tetapi seharusnya pria itu tahu bahwa rumah keluarganya adalah satu-satunya tempat pria itu perlu sedikit mengerti bahwa Liam adalah suaminya. Bagaimana pun remuknya isi pernikahan mereka. Setetes air mata jatuh ketika Lana menginjakkan kakinya di anak tangga pertama. Ia menyeka dengan punggung tangannya. Dengan dadanya yang disesaki oleh rasa panas. Lana berusaha menepikan perasaan tersebut. Seharusnya ia tidak seterluka ini. Seharusnya perasaannya tidak terpengaruh sedalam ini. Ia terus melangkah ke sayap barat, tempat kamarnya berada. Yang berseberangan dengan kamar Sonia. Ia terduduk di pinggiran tempat tidurnya dengan wajah tertunduk lemas dan tangannya yang menempel di d**a. Seolah meredam segala jenis emosi yang bergemuruh di dalam sana. Ia tidak baik-baik saja dan yang lebih buruk, Lana tak pernah baik-baik saja ketika pikirannya menghubungkan Liam dengan Marisa ataupun wanita-wanita pria itu. Air mata kembali menetes di pipinya ketika pintu kamarnya mendadak terbuka dan Lana dikejutkan dengan kemunculan Liam. Pandangan mereka bersirobok tak lebih dari dua detik, Lana memutus lebih dulu dan bangkit berdiri ketika mengusir pria itu. “Keluarlah, Liam. Malam ini biarkan aku tidur di rumahku.” “Baiklah. Kita akan tidur di sini malam ini.” Liam melangkah mendekat. Lana memutar tubuhnya dan tatapannya mengeras. “Tidak ada kita, Liam.” Liam bergerak lebih dekat. “Oh ya?” “Aku tidak bercanda, Liam. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.” “Lalu apa yang harus kukatakan pada kedua orang tuamu jika aku meninggalkanmu di rumah ini, Lana?” “Mereka tak akan mempertanyakannya.” “Mungkin, tapi … permasalahannya aku ingin tetap di sini.” Dalam satu gerakan yang sigap, Liam menyambar pinggang Lana. Membawa wanita itu ke dalam dekapannya dan menanamkan lumatann di bibir wanita itu. Lana meronta. Dengan sekuat tenaga, kedua tangannya mendorong d**a Liam menjauh dan melepaskan lumatan pria itu. “Hentikan, Liam,” semburnya di antara napasnya yang terengah. Tubuhnya terhuyung ketika Liam membiarkan tubuhnya terbebas dan nyaris terjungkal. Dengan ketenangan yang begitu sempurna, Liam malah menyeringai. Kedua tangannya bergerak menyilang di depan d**a dengan penuh keangkuhan. “Kenapa kau terlihat begitu marah, Lana? Apa aku melakukan kesalahan?” Lana benar-benar dibuat kehilangan kata-kata dengan pertanyaan yang diajukan oleh Liam. “Apa ini karena Marisa? Rasanya tak sekali dua kali kau memergoki kami sedang bersama, kan?” “Setidaknya kau tahu di mana kalian berada!” sambar Lana dengan suaranya yang mengeras marah. “Apa kau ingin aku menjelaskan kesalah pahaman ini? Ayolah, Lana. Kau tak membutuhkan hal semacam itu, kan? Kau tahu hubungan macam apa yang sedang kita jalani. Kau tak perlu berpura-pura tidak baik-baik saja.” Kalimat Liam benar-benar mengena tepat di dadanya. Menusuk dan mengoyaknya dengan cara yang begitu buruk. Air mata jatuh tanpa mampu ia cegah. “Kau benar-benar berengsek, Liam,” desis Lana sebelum melangkah dan menghilang di balik pintu kamar mandinya. Mengunci dan menjatuhkan tubuhnya di lantai kemudian membiarkan tangisanya yang tersedu-sedu teredam kedua telapak tangan. *** Lana hanya bisa bersabar. Hanya itu satu-satunya pilihan yang ia miliki. Setiap Lana mengingatkan perceraian mereka bulan depan, Liam akan selalu membungkamnya dengan ciuman dan ia akan berakhir telanjang di bawah tubuh pria itu. Hingga waktu itu pun tiba, Lana menagih janji Liam. “Ini sudah tiga bulan, Liam. Kita perlu membicarakannya,” desak Lana ketika Liam lagi-lagi mulai bergerak melenyapkan jarak di antara mereka. Ia bergerak mundur, memastikan jarak aman dirinya dari jangkauan Liam. Liam tampak terdiam sejenak. “Masih ada waktu, Lana. Besok adalah hari pernikahan Sonia. Apakah kau ingin membuat kedua orang tuamu khawatir di tengah kebahagiaan keluarga kalian dengan pernikahan Sonia?” Lana seketika terdiam. Tampak menimbang “Kau memang berbakat membuat gempar orang-orang di sekelilingmu, ya,” decak Liam “Sedikitlah bersabar, Lana. Kau terlalu terburu-buru. Apa sesulit itu bertahan di sisiku?” Lana bisa merasakan luka dalam pertanyaan Liam. Hanya sekejap, karena di detik berikutnya emosi lenyap dari wajah pria itu dengan cepat dan ekspresi di wajah Liam mengeras. Ya, sesulit itu bertahan dengan hatinya yang sudah tak berbentuk. Bibirnya membeku tanpa jawaban. Lagipula, bagaimana Liam masih mempertanyakan hal tersebut seakan memintanya menunggu pria itu membuka bungkus permen untuk anak kecil. Yang seolah makin menambah remuk di dadanya. Membungkam mulut Lana dengan kejam. Sekali lagi, Lana menguatkan hati untuk bersabar. Hingga hari pernikahan Sonia. Dan tepat pagi hari ketika mereka bangun di kamar hotel, Liam mendapatkan panggilan penting dan harus pergi keluar kota. Yang mengharuskan pria itu tinggal di sana selama dua malam. Lagi-lagi Lana tak punya kesempatan untuk berbicara mengenai perceraian mereka. Apalagi Liam yang tak mengangkat panggilannya. Lana mulai curiga pria itu sengaja untuk menghindarinya. Di hari ketiga, akhirnya Lana berhasil mengorek informasi dari asisten Liam bahwa pria itu akan pulang sore ini. Lana pun menunggu di ruang tamu dengan sangat tidak sabaran. Jantungnya berdegup kencang dan remasan di kedua tangannya semakin mengetat ketika ia mendengar suara klik pelan dari arah pintu. Ia bangkit berdiri dengan napasnya yang tertahan menunggu kemunculan pria. Dan akhirnya ia melihat wajah Liam lagi. Liam masih mengenakan setelan kerja, dengan rambut yang sedikit berantakan. Yang malah semakin mempertegas ketampanan wajah pria itu dengan cara yang sempurna. Pun dengan gurat lelah yang menghiasi wajah pria itu setelah perjalanan panjang. Sejenak Lana tampak terpesona dan meraup wajah Liam demi memuaskan kerinduannya akan pria itu, yang segera Lana alihkan. Ia menggeleng pelan dan tepat saat itulah tatapannya bertemu dengan Liam. Langkah Liam sempat tersendat menemukan Lana berdiri menyambut kedatangannya. Tetapi ia sangat tahu apa kepentingan wanita itu menunggunya di sana. Dan kemarahan bergemuruh di dadanya ketika pandangannya turun ke meja di depan Lana. Menemukan berkas berwarna merah tergeletak di sana. Rahang Liam mengeras, tahu benar lembaran apa yang tersimpan di sana. “Kita butuh bicara, Liam?” Lana melangkah mendekat. Liam mengangkat tangannya dan tatapannya terlihat tegas saat mengangkat tangan ke arah Lana. “Aku butuh membersihkan tubuhku lebih dulu sebelum bicara, Lana.” Liam melangkah melewati Lana begitu saja. Menekan kuat-kuat kemarahan yang menggelitik dadanya. Dan rupanya, kesabarannya putus sudah. Ketika ia baru saja mendapatkan langkah pertamanya dari kamar mandi, Lana menyodorkan berkas sialan itu ke mukanya. “Belum cukup satu jam aku datang dan kau menyodorkan omong kosong ini, hah?!” Tangan Liam meremas sisi berkas yang dipegangnya. Dengan kemarahan yang semakin mendidih di dadanya. “Aku tahu kau akan terus menghindar, Liam.” Lana menguatkan hati. Menyiapkan diri dengan reaksi apa pun yang akan ditunjukkan oleh Liam. “Lalu apa yang akan kau lakukan jika aku tidak menceraikanmu, Lana?” Lana terkesiap. “Kupikir tiga bulan tidak akan cukup bagi hatiku untuk merasa lega dan memaafkanmu …” “Tidak bisa, Liam,” penggal Lana seketika. “Kau sudah berjanji padaku untuk membebaskan dan menceraikanku setelah tiga bulan pernikahan kita. Sekaranglah waktunya.” Liam menyeringai. “Kita tak pernah membuat perjanjian hitam di atas putih untuk hal tersebut, kan?” Wajah Lana memucat, membekukan seluruh ekspresi wajahnya dengan keras. “A-apa maksudmu, Liam?” Seringai Liam semakin tinggi. Pria itu merobek berkas di tangannya hingga menjadi potongan-potongan yang begitu kecil kemudian menghamburkannya ke lantai di antara mereka. “Maksudku, aku tidak akan melepaskanmu, Lana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD