Part 6

1202 Words
Liam tampaknya memiliki urusan yang lebih genting untuk ditangani, ketika Lana keluar dari kamar mandi. Pria itu sudah tidak ada di tempat tidur. Dan saat Lana keluar dari kamar, ia samar-samar mendengar suara serius pria itu dari arah ruangan kerja yang setengah terbuka di samping kamar tidur. Lana pun keluar apartemen tanpa memberitahu pria itu. Dan tahu Liam pun tak membutuhkan tindakan semacam itu, kan. Pria itu hanya butuh tubuhnya di atas tempat tidur. Siap melayani kapan pun pria itu menginginkannya, tanpa perlu bersikap menjadi istri yang menyebalkan karena hal receh seperti berpamitan, kan. Sambil menunggu pintu lift terbuka, Lana mendesah panjang. Dengan telapak tangan menempel di d**a, ia tak bisa mengabaikan pengaruh pria itu di sekitarnya. Rasa sakit, kecewa, dan patah hati. Bercampur penyesalan dan rasa bersalah. Terasa begitu kompleks dan Lana tak tahu mana yang lebih ingin ia rasakan dan hadapi terlebih dulu. Denting pintu lift mengagetkan Lana dari lamunannya, pintu lift bergerak membuka dan ia melangkah masuk. Tetapi lift berhenti satu lantai di bawahnya. Dan saat pintu bergeser membuka, Lana dibuat terkejut dengan seseorang yang berdiri menunggu di depannya. “Evans?” Evans pun tak kalah terkejutnya. Tetapi dengan segera menepis keterkejutannya dan bergabung bersama Lana. “Hai, Lana?” “Apa yang kau lakukan di sini? Bagaimana kau tahu aku di sini?” “Hmm, dengan sedikit menghamburkan uangku?” jawab Evans dengan nada bercanda. Lana tampak lebih terkejut. “Bukankah aku sudah mengatakan padamu akan menghubungimu untuk …” “Aku hanya bercanda, Lana,” penggal Evans. Yang seketika menghentikan kalimat Lana. “Kau tinggal di gedung ini?” Lana berhenti, kemudian membelalak. Mencerna kalimat Evans beberapa saat lebih lama. “Kau juga tinggal di gedung ini?” tanyanya dengan mata membelalak. Evans mengangguk. “Aku baru saja pindah sekitar dua minggu yang lalu. Ayahku yang membelikannya sebagai hadiah ulang tahunku.” Evans kemudian meringis. “Lupakan tentang bagian terakhirnya, tapi ya, aku tinggal di gedung ini. 2901. Kau? Pasti 3001 atau 3002? Hanya ada dua unit tersebut di atasku, kan?” “3001.” “Sebelumnya aku tak pernah melihatmu di gedung ini.” “A-aku … aku sebenarnya baru pindah di sini kemarin.” Kening Evans berkerut. “Liam yang sudah lama tinggal di sini. Kami baru saja menikah dua hari yang lalu, jadi … aku tinggal bersamanya setelah menikah.” ”Kau belum pernah ke sini?” Lana menggeleng. Dan gelengan tersebut membuat Evans berkerut. Menggelitik rasa penasarannya, tetapi dengan segera ia tahan. Rasanya hal tersebut terlalu dalam untuk sebuah hubungan yang bahkan belum dimulai. “Aku baru saja akan menghubungimu nanti siang untuk membahas tentang mobil kita. Tapi aku harus ke rumah sakit lebih dulu.” “Rumah sakit?” Evans mengernyit. “Siapa yang sakit?” Lana menggeleng. “Aku memiliki sedikit urusan di sana dan bukan karena kecelakaan kemarin.” Evans hanya manggut-manggut. Pintu lift terbuka dan keduanya melangkah menyeberangi lobi hingga berhenti di teras gedung. Mobil Evans sudah disiapkan di sana oleh seorang pria berseragam serba hitam. Lebih seperti pengawal ketimbang sopir pribadi pria itu. “Aku perlu ke bengkel untuk melihat mobil kita. Bisakah kau memberiku alamat bengkelnya?” “Kebetulan, kalau begitu kita bisa pergi bersama-sama. Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.” Lana menggeleng. “Tidak perlu, Evans.” “Aku memaksa dan asal kau tahu aku bukan pria yang mudah menyerah,” senyum Evans keras kepala. Lana tampak berpikir sejenak, tetapi Evans sudah membukakan pintu mobil dan menyentuh punggung Lana untuk mendorong wanita itu masuk. Evans mengulurkan tangan pada pengawalnya untuk meminta kunci mobil dan dalam sekejap sudah duduk di balik kemudi. “Kau ingin ke rumah sakit mana? Aku akan mengantarmu lebih dulu.” “Maaf merepotkanmu, Evans. Tapi sungguh …” “Aku masih bersikeras.” Lana pun kembali menutup mulutnya. Mengatakan nama rumah sakit besar di pusat kota. *** Setelah beberapa saat lebih lama bagi Lana untuk memutuskan memilih suntikan sebagai kontrasepsinya, akhirnya Lana pun selesai. Mengatur untuk pertemuan selanjutnya sebelum keluar dari ruang dokter. Hampir melupakan keberadaan Evans jika bukan karena pria itu yang mendadak muncul di sampingnya. “Dokter spesialis kandungan?” Evans mengangkat salah satu alisnya dengan senyum penuh minatnya. “Kalian sedang menjalani program kehamilan?” Lana hanya menjawab dengan seulas senyum tipis. “Semacam itu.” “Kalian tampaknya terburu-buru, ya? Bukankah terlalu muda untuk menikmati kehidupan. Memiliki anak pasti merepotkan.” Lagi-lagi Lana hanya memberikan seulas senyum sebagai jawabannya. “Jadi, di mana bengkelnya?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. “Ehm, sebenarnya tidak jauh dari tempat kecelakaan kita.” “Baiklah. Kita pergi ke sana.” *** Satu jam lebih perjalanan menuju bengkel tersebut, memeriksa kerusakan dan semua perkiraan biayanya. Memastikan bahwa semuanya akan selesai dalam waktu tiga hari dan di antara ke alamat masing-masing, yang secara kebetulan pun sama. Rose Apartment. “Karena Liam mengatakan mobilnya memiliki asuransi, jadi aku yang akan membayar semua biaya untuk mobilmu,” ucap Lana ketika mereka baru saja keluar dari bengkel dan berjalan ke mobil Evans yang terparkir. “Tidak perlu.” “Tidak bisa seperti ini, Evans. Aku yang bersalah.” “Sebenarnya itu juga kesalahanku. Aku sedang sibuk dengan ponselku dan tanpa sadar kecepatan mobilku berkurang. Begitulah …” Mata Lana menyipit tak mengerti. “Aku baru menyadarinya ketika melihat CCTV yang ada di jalan, dan secara kebetulan kejadian itu terekam.” “Itu juga tak membuatku bisa lepas dari tanggung jawab ini, Evans. Kita tahu kenapa kita berada di sini.” “Dan … secara kebetulan mobilku juga memiliki asuransi.” Mulut Lana seketika terkatup rapat. “Jadi?” Lana mengulur suaranya. “Jadi …” Senyum semakin menghiasi wajah Evans. “Jadi … sebagai bentuk tanggung jawabmu, aku ingin kau mentraktirku makan siang. Atau makan malam.” Mata Lana menyipit penuh selidik. Dan semakin lama semakin menajam, yang membuat Evans mengerjap-ngerjapkan mata. Cengiran membentuk di hidung Evans, kemudian pria itu mengangkat tangannya di depan wajah dan menempelkan telunjuk serta ibu jarinya dan menawar, “Atau mungkin secangkir kopi jika itu terlalu mahal? Aku berjanji tak akan meminta lebih dari ini.” Sebuah emosi melintas di wajah Lana. Teringat akan pertemuannya dengan Dennis, yang entah bagaimana secara kebetulan juga karena sebuah kecelakaan. Tetapi saat itu Dennislah yang menabrak mobilnya, dan kemudian pria itu mengajaknya makan siang sebagai gantinya. “Mungkin makan siang saja. Kebetulan sekarang waktu yang tepat, kan?’ Lana mengangkat pergelangan tangannya. Jam setengah satu. Senyum semringah segera menghiasi wajah Evans. Pria itu segera membukakan pintu mobilnya untuk Lana dan nyaris menari-nari ketika berjalan memutari bagian depan mobil dan duduk di balik kemudi. “Aku tahu tempat yang bagus di sekitar sini.” Lana hanya mengangguk. Menatap layar ponselnya dan mencoba menekan deretan nomor Dennis yang sudah dihafalnya di luar kepala. Lagi-lagi panggilannya tak tersambung, hingga ketiga kalinya. “Tidak diangkat?” gumam Evans melirik ke samping. Lana hanya menggeleng dan menghela napas dalam hati. Sekenanya saja dan tak sungguh-sungguh menjawab pertanyaan Evans. Keduanya pun makan siang di salah satu café, yang tampaknya sudah pernah Evans kunjungi. Evans ternyata pria yang cukup menyenangkan dan supel. Meski tak cukup membuat Lana melengkungkan senyum untuk pria itu. Bukan karena keberadaan Evans yang tengah mengganggu wanita itu, melainkan apa yang tengah menyita pemikiran wanita itu sendiri. Tentang Dennis, terutama Liam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD