Part 7

1216 Words
Mereka baru saja memesan makanan dan pelayan bergegas pergi untuk meneruskan menu pesanan, ketika Evans Mencoba peruntungannya untuk satu langkah lebih maju. “Jadi … bagaimana kalian bertemu sebelum menikah?” Evans memulai pembicaraan tentang Lana. Ingin sedikit tahu tentang kehidupan seorang Lana Leandra. Ekspresi di wajah Lana yang sudah datar menjadi semakin datar, dan membekukan permukaan wajah wanita itu. “Kalian … terlihat begitu serasi.” Lana hanya memasang senyum yang masam. Ya, tak ada yang tida memuji dirinya dan Liam yang saling bersanding. Ia berasal dari keluarga terpandang dan memiliki kesempurnaan fisik yang sungguh-sungguh tak dipahaminya. Karena itulah yang selalu dikatakan oleh siapa pun. Begitu pun dengan Liam Isaac, tak perlu diragukan lagi dengan banyaknya wanita yang tak berhenti menatap Liam dengan penuh pemujaan. Yang pernah ia lakukan pada pria itu. Ya, ia pernah sangat memuja Liam. Walaupun semua pada akhirnya tak berjalan baik untuk mereka dengan keberadaan Dennis yang menyeruak di antara mereka. Dan Lana tak ingin membahas apa yang pernah terjadi di masa lalu, yang tak akan pernah bisa ia ulangi. Dan mungkin, ia akan tetap memilih Dennis jika pun mereka bisa kembali ke masa lalu untuk mengulang semuanya. “Hanya saja … “ Evans berhenti, menilai ekspresi di wajah Lana sebelum melanjutkan. “Maaf jika ini terdengar lancang, tetapi … sepertinya ada sesuatu yang tidak berjalan dengan baik. Apakah itu pernikahanmu?” Seketika wajah datar Lana berubah memucat, menatap wajah Evans dengan kemarahan yang mulai menyeruak di dadanya. Lana pun mendorong gelas air putih yang disediakan pelayan sebelum ia memesan menunya, lalu menyambar tasnya sebelum kemudian bangkit berdiri. “Lana! Tunggu!” Evans melompat berdiri, berhasil menangkap pergelangan tangan Lana sebelum wanita itu mendapatkan langkah kedua meninggalkan meja. “Maafkan aku jika ini terdengar begitu lancang.” Lana tak menggubris, dan rupanya pria itu pun memahami sangat kelancangannya. Lana menyentakkan tangan Evans, tetapi pria itu bersikeras untuk menahannya. “Aku hanya ingin sedikit mengenalmu.” Cekalan tangan Evans semakin menguat. Beruntung café masih cukup sepi, sehingga tak ada siapa pun selain mereka berdua di sekitar meja. Hanya pelayan café yang mencoba buta dan tuli dengan adegan mereka barus aja. “Kau terlihat begitu muram di balik senyum dan ketenangan yang selalu kau tampilkan. Aku hanya tak bisa menahan diriku untuk bertanya. Dan aku sama sekali tak memiliki niat buruk dengan hal tersebut.” “Lepaskan, Evans,” desis Lana tajam, pun tak mampu menyangkal apa yang dikatakan oleh Evans. Apakah kepedihannya begitu kentara, hah?’ makinya pada diri sendiri. “Mungkin, dengan sedikit berbagi. Kau bisa mengurangi bebanmu.” Kali ini nada suara Evans terdengar membujuk. “Aku benar-benar tulus ingin berteman denganmu.” “Sebelum bertemu denganmu, aku juga sedang berada dalam sebuah masalah. Sampai sekarang. Aku berpikir aku adalah satu-satunya manusia di bumi ini yang paling menderita. Merasa dunia begitu kejam. Hingga aku bertemu denganmu. Merasa ada kekelaman yang tersimpan di balik pandangannya. Dan aku menyadari bahwa terkadang semua bukan hanya tentang diriku.” “Saat aku melihat kesedihan yang begitu mendalam tentangmu, aku hanya merasa itu adalah hal yang sama yang sedang kurasakan saat ini. Aku tak tahu itu apa, aku hanya merasa memiliki seorang teman. Yang mungkin … bisa diajak berbagi kesedihannya.” Lana masih bergeming, tampak mendengarkan dan lupa untuk melepaskan cekalan tangan Evans di lengannya. Kalimat Evans baru saja seolah menyimpan luka yang begitu dalam, sama persis seperti yang telah ia rasakan sejak Dennis meninggalkan pernikahan mereka dan ia berakhir dalam pelukan Liam. Mantan kekasih yang pernah ia campakkan. Tak ada yang lebih menyedihkan daripada itu. “Di hari kau menikah dengan suamimu, itu adalah di hari aku menghadiri pemakaman kekasihku.” Lana tertegun. Di balik senyum sumringah Evans, ternyata pria itu berusaha menenggelamkan kepedihannya di balik senyum merananya. “Kupikir dengan memasang senyum yang berpikir semuanya akan baik-baik saja maka semuanya juga akan baik-baik saja. Tapi … aku tak sungguh baik-baik saja.” “Dan untuk apa semua penjelasan panjang lebarmu itu, Evans?” Lana pertama kalinya bersuara setelah deretan kalimat Evans yang beruntun tanpa henti. Evans terdiam, sebelum kemudian bertanya, “Maukah kau menjadi temanku?” Lama Lana menatap wajah Evans, dan butuh waktu yang lebih lama untuk mempertimbangkan sebelum kemudian ia mengangguk singkat. Evans langsung menghambur ke arah Lana. “Aku tak mengenalmu, kita bahkan baru bertemu kemarin. Tetapi entah kenapa … aku merasa kau adalah orang baik, Lana.” “Siapa yang tahu kalau aku orang jahat.” Evans menggeleng dengan tanpa ragu. “Tidak. Terlihat di matamu. Orang jahat tidak akan memiliki pandangan seperti itu.” Lana membeku. Sebuah kalimat yang sama tetapi dengan suara yang berbeda berdengung di telinganyal. Sama persis seperti yang dikatakan oleh Dennis, di masa lampau. “Ada apa, Lana? Kenapa? Apakah ada yang salah dengan kalimatku? Apakah aku menyinggungmu?” Lana mengerjap dan menggeleng. Dan beruntung pembicaraan tersebut segera terhentikan oleh pelayan yang membawakan pesanan mereka berdua. Evans pun kembali membimbing Lana untuk kembali duduk di kursinya. Keduanya mulai melahap makan siang dengan begitu lahap. *** Setelah makan siang selesai, keduanya berpisah. Lana bersikeras tak ingin di antar oleh Evans karena wanita itu akan ke rumah temannya demi sebuah urusan. Evans pun mengalah, mendapatkan sebuah taksi untuk Lana sebelum ia naik ke mobilnya sendiri. Lana pergi ke tempat kerja Juan, teman dekat Dennis. Yang mungkin mengetahui sedikit kabar tentang sang kekasih. Namun, lagi-lagi ia mendapatkan kebuntuan. “Aku tidak tahu, Lana.” “Kapan terakhir kali kau bertemu dengannya?” Juan terdiam, tampak berpikir sejenak. “Sekitar seminggu yang lalu.” “Dia tiba-tiba menghilang.” “Keluarganya?” Lana menggeleng pelan. “Aku belum menemui mereka.” Kening Juan berkerut. “Tak ada satu pun dari mereka yang datang di pernikahan kami. Sesungguhnya mereka tidak merestui pernikahan kami.” Mulut Juan yang membuka seketika terkatup rapat. Ya, sejak awal berkencan dengan Dennis. Mama dan papanya sendiri memberikan restunya bukan dengan tanpa syarat, yang tak ingin di bahas. Sekarang hanya tentang dirinya, melainkan tentang Dennis. Keluarga pria itu tidak menginginkan kehadirannya karena Lana berasal dari keluarga dengan kelas social tinggi. Dan entah bagaimana hal tersebut satu-satunya alasan yang terdengar dibuat-buat. Biasanya wanita diributkan oleh kelas social mereka yang rendah ketika jatuh cinta pada seorang pria. Yang entah bagaimanan malah menjadi permasalahan untuk dirinya. Ya, ayah Dennis adalah pria kaya yang mencampakkan ibu pria itu. meninggalkan Dennis dan adik perempuan ketika mereka masih begitu kecil. Ibu Dennis berjuang demi memenuhi kebutuhan mereka, hingga menjadi pengusaha sukses di usia yang begitu muda. Pun begitu, ibu Dennis masih menyimpan trauma yang begitu besar terhadap dirinya. Terutama setelah Dennis menolak wanita pilihannya yang berasal dari keluarga sederhana di suatu tempat asal kelahiran ibu Dennis. Awalnya, Lana menolak mereka menikah dengan tanpa restu ibu Dennis. Tetapi Dennis berhasil meyakinkan dirinya bahwa mereka akan mendapatkan restu ibunya setelah mereka menikah. Dan menggunakan anak mereka untuk memperlancarnya. Akan tetapi, semua itu hanya rencana dengan harapan yang begitu tinggi. Sebelum terhempas dengan keras dan menghancurkan semuanya. Dennis tidak datang di hari pernikahan mereka, dan ia berakhir menikah dengan Liam. Kekasih yang pernah ia campakkan demi Dennis. “Lana, aku harus pergi.” Suara Juan menyeruak. Lana mengerjap, terbangun dari lamunannya. “Maafkan aku tidak bisa memberimu informasi yang kau butuhkan.” “Tidak apa-apa.” Lana menggeleng pelan. “Jika ada sedikit pun kabar tentangnya, bisakah kau menghubungiku?” “Ya, tentu saja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD