Hadiah Pertolongan

1424 Words
Alaric membawa Priscillia ke apartemennya. Sontak membuat Laura melongo terkejut. Bukan kerena melihat kemewahannya, bukan pula karena fasilitas di dalamnya. Melainkan apartemen tempat ia berpijak saat ini adalah tempat di mana dia bangun tadi pagi. Ia mengedipkan mata berulang menatap Alaric yang sedang bicara dengan Ibunya. Apa tiga orang berandal semalam adalah orang suruhan lelaki di hadapannya? Dan ... apa yang sebenarnya terjadi semalam? Ia dalam keadaan tanpa busana dan tidak sadarkan diri. "Jika kau membuka jendela dari sini, Bu, kau akan langsung melihat danau hijau itu." Alaric membuka salah satu jendela besar menyerupai pintu, terbuat dari kaca. Senyum Priscillia mengembang melihat pemandangan di luar sana. Hamparan rumput hijau dan danau buatan berukuran sedang sepertinya apartemen ini di desain khusus untuk keluarga Alaric kelak batinnya. "Apa kau benar-benar ingin menyewanya apartemen ini, Alaric?" Alaric menyunggingkan bibir. "Tentu saja, Bu. Dan harga yang aku tawarkan cukup murah, 200$ kukira untuk apartemen ini tidak terlalu buruk, bukan?" Di saat mereka berdua bicara tiba-tiba Laura menyela menarik tangan ibunya untuk mengajak pergi. "Bu, lebih baik kita cari rumah yang lain saja," ucapnya berbisik seraya menatap ke belakang. "Tapi kenapa, Lau? Bukankah rumah ini cukup bagus untuk kita tinggali? Bahkan kita bisa menggunakan uang kita untuk keperluan yang lain," balas Priscillia. "Tapi Bu--" Laura merasa ada yang janggal dengan semua ini. Apa lagi wajah lelaki di hadapannya kini tidak bisa dipercaya sama sekali. Ia menatap tajam ketika langkah Alaric berangsur mendekat. "Bagaimana, Bu? Apa Anda ingin melewatkan kesempatan begitu saja?" tanyanya pada Priscilla namun matanya menatap Laura membuat salah tingkah. "Tidak perlu, Tuan. Lebih baik kau sewakan saja pada orang lain, kami permisi dulu. Ayo Bu." Laura menggandeng Ibunya kemudian menuntun jalan keluar. "Tunggu Laura!" Gadis itu menoleh ke belakang kesal. Dia bukan orang bodoh yang tidak mengetahui rencana Alaric. Dia tau, Alaric pasti akan menjualnya seperti apa yang dilakukan Alex. Tiba-tiba Laura merasa curiga ketika mengingat sesuatu tentang sesuatu. Apa Alaric memberi harga sewa begitu murah karena semalam dia sudah menjualnya? Atau ... mungkin Alaric sudah merenggut semua ketika dia tidak sadarkan diri? Ia mengepal kemudian melepaskan tangan Ibunya, berjalan menghampiri Alaric. "Ibu, tunggu di sini. Ada hal yang ingin kubicarakan dengan dia." Kemudian ia melingkarkan tangan di lengan Alaric menarik membawa pergi ke dalam sebuah ruang. "Tuan, ada yang ingin aku tanyakan pada Anda." Alaric menyandarkan punggung di balik pintu, dengan tangan menyilang di depan d**a memasang wajah santai. "Katakan yang sejujurnya padaku, Tuan. Apa kau mengetahui kejadian semalam apa yang terjadi padaku?" "Tentu," jawab Alaric santai menatap mata dengan cara tidak bisa diartikan. Membuat Laura gugup meneguk liur. "La-lu?" "Lalu apa?" tanya Alaric kembali sambil menaikkan sebelah alisnya. "Lalu ... apa Anda tau, siapa orang yang sudah meniduriku hingga berakhir di kamar apartemen ini tanpa pakaian?" Tatapan curiga mengarah pada Alaric. "Apa Anda yang sudah melakukan ini semua?" curiga Laura. "Melakukan apa?" Alaric bertingkah seolah-olah tidak mengetahui apa pun. Laura geram melihat pria di hadapannya ini. Dengan mudahnya bertanya tanpa dosa. Baiklah, ia akan membuat Alaric mengakui semua. Laura melepaskan kancing bagian paling atas sambil menatap tajam. Dahi Alaric mengkerut bingung dengan apa yang dilakukan Laura. "Aku akan bertanya padamu sekali lagi, Tuan. Apa benar kau yang melakukan ini?" Laura membuka kemeja memperlihatkan area dadanya ada banyak tanda warna merah di sana. Dan sialnya ia tidak tau siapa yang berbuat itu. Peff... bukan sebuah pengakuan justru Alaric menertawakannya. Benar-benar menjengkelkan pria ini. Laura semakin jengkel ketika tertawa itu terdengar seolah mengejek. Dengan tangan menutup mulut ia menyuruh Alaric bungkam. "Tuan, karena Anda mantan atasan saya, maka dari itu saya masih menghormati Anda. Berhentilah tertawa atau aku akan--" "Akan apa, hem?" Tampaknya ancaman Laura hanyalah angin belaka. Nyatanya ketika Alaric menggerakkan tubuhnya maju ia justru mundur disertai rasa gugup. Tatapan lelaki itu mengunci matanya, mengintimidasi. Laura semakin bergerak mundur tapi langkahnya terhenti saat terbentur sebuah dinding. Laura merasa, sepertinya dia sudah salah menuduh pria di hadapannya ini. "Aku hanya bertanya, Tuan. Kalau kau tidak melakukannya baiklah, aku dan Ibuku akan pergi. Tolong berikan aku jalan." Laura menyingkirkan tubuh Alaric dari hadapannya, tapi nampaknya tidak membuat pria itu bergerak sama sekali. Satu sudut bibir Alaric tertarik membentuk sebuah seringai. Mengangkat kedua tangan untuk menggenggam kerah Laura kemudian menarik hingga jarak mereka tinggal seperkian inci. "Maafkan saya kalau su-sudah menuduh Anda, Tuan. Tapi saya tidak bermaksud, hanya saja sa-saya--" "Kalau memang aku yang melakukan, kau mau apa, hem?" Mata gadis itu membulat ternyata sesuai dengan dugaannya. Kecurigaannya benar ketika membuka lemari-lemari banyak pakaian mahal, dan tidak mungkin berandal-berandal itu memakai itu semua. Laura mendongak menatap Alaric takut, dan ketika menghirup napas mencium aroma tubuh Alaric ia mengingat aroma parfum itu. Aroma musk memiliki karakteristik sensual dan warm sehingga terasa mewah saat dipakai. Aroma ini juga memberi kesan lembut dan elegan sangat persis dengan aroma yang menempel pada tubuhnya pagi tadi. Dari situ Laura menyimpulkan kalau orang yang sudah merenggut kesuciannya adalah Alaric. Yes, that's Alaric! Darah gadis itu seketika berdesir bagaimana ia harus memberi pelajaran Alaric saat ini? Matanya berkaca-kaca kesedihan sejak pagi tadi ia sembunyikan kini rasanya ingin meledak menangis meraung-raung. "Hei, kau menangis?" tanya Alaric merasa Iba. Menunduk ingin mengusap air mata Laura tapi secepatnya di tepis. "Kenapa Anda tega melakukan itu padaku? Tidakkah kau mempunyai saudara perempuan, bagaimana kalau seorang melakukan hal seperti apa yang kau lakukan padaku?" Kedua bahu Laura ter guncang walau Alaric tidak bisa melihat wajahnya sebab tertutup tangan, ia tahu bahwa gadis bertubuh kecil itu menangis. "Apa kau tau? Bahkan aku selalu menjaganya dengan hati-hati, tapi kenapa kau dengan mudahnya merenggut kehormatanku!" Laura menangis meraung bak anak kecil meminta permen pada orang tuanya. Alaric takut jika Ibu Laura mendengar tangisan anaknya. Ia langsung mengusap punggung untuk menenangkan. "Lebih baik kau diam, jika Ibumu akan mendengar dia pasti sedih." "Jangan sentuh-sentuh aku! Semua ini gara-gara kau, Tuan." Gadis itu mengusap air mata dengan tangan kanan kemungkinan kiri secara bergiliran. Alaric terkekeh, nampaknya gadis di hadapannya itu adalah masih naif. Dia tidak bisa membedakan mana yang sudah direnggut kehormatan mana yang belum. "Sekarang kalau sudah seperti ini apa yang harus kulakukan? Semua hancur begitu saja. Gara-gara kau, Tuan! Kau!" Laura membabi buta memukul-mukul badan Alaric tapi jelas tidak menimbulkan efek apa-apa bagi lelaki itu. "Aku akan melaporkan perbuatanmu pada polisi, biar kau dihukum dengan berat, lalu ... tubuhmu yang besar ini akan menjadi kurus, aku tidak akan membiarkan dirimu lepas begitu saja! Tidak akan, tidak akan!" Laura semakin mempercepat ritme tangannya memukul Alaric. Bukan membuat lelaki itu marah tapi justru kian terkekeh geli mendengar setiap kalimatnya. "Laura, apa kau baik-baik saja, di dalam?" Suara Priscillia terdengar khawatir dari arah luar pintu. Laura menghentikan pukulannya kemudian ia berencana akan mengatakan pada Ibunya kalau Alaric sudah menodainya semalam. Ia mengusap air mata kemudian bergegas. "Laura, Alaric? Apa kalian mendengarku?" "Bu-- um ... umm!" Dengan cepat Alaric membekap mulut Laura dari belakang dan satu tangan lagi berada di pinggang. "Iya, kami ada di sini Bu, tunggu sebentar. Ada masalah kecil yang harus segera diselesaikan." Lelaki itu mengambil alih bicara dulu. "Baiklah, Ibu akan menunggu. Cepatlah keluar jika sudah selesai bicara." Priscillia meninggalkan depan ruangan itu kemudian memilih duduk di sofa dekat jendela. Napas Laura terengah-engah ketika tangan Alaric dilepas. Lelaki di hadapannya ini benar-benar gila bagaimana bisa begitu santai setelah apa yang diperbuat? Rahang gadis itu kembali mengetat. "Aku akan membermu pelajaran!" Ia maju kembali memukul tapi dengan cepat kedua pergelangan tangannya di cekal oleh Alaric, di naikkan ke atas kepala sedangkan tubuhnya dihimpit ke dinding. Laura terhenyak tubuh besar itu menindihnya sehingga sesak. "Aku bilang dengarkan." Suara Alaric begitu berat mengintimidasi. "Biarkan aku menjelaskan." ____ "Seharusnya kau berterima kasih padaku, sebab kalau bukan karena aku hidupmu sudah berakhir di tangan tiga berandal itu." Napas Laura terengah-engah bagaimana pun dia takut dalam posisi saat ini, begitu dekat hingga napas Alaric terasa di wajahnya. "Aku yang sudah menolongmu semalam, dan berterima kasihlah dengan benar." "Kalau kau menolongku kenapa kau memperkosaku saat aku tidak sadar, kalau begitu apa bedanya kau dengan mereka semua?" "Bedanya mereka bertiga, aku sendirian!" jawab Alaric tegas. Kemudian seringai muncul dari bibirnya. Seketika dalam ruangan itu hening. Laura hanya menunduk kehabisan kata-kata. Bahkan matanya berkaca-kaca. "Apa kau pikir tubuhmu itu menarik sehingga kau berpikir aku menyentuhmu?" Alaric menyeringai mencemooh. "Aku hanya membantumu, tidak lebih. Seharusnya kau tau, mana bedanya, sudah kehilangan kesucian dan mana yang belum. Dasar bodoh." Kali ini Laura menaikkan pandangan untuk menatap mata hazel itu. "Kalau kau tidak melakukannya, tapi kenapa ada banyak tanda di tubuhku?" "Itu sebagai hadiah, karena kau sudah kutetapkan menjadi sekretaris pribadiku." "Apa?" Mata Laura membelalak. Kemudian Alaric meninggalkan ruangan itu begitu santai. Membuka pintu sambil bersiul-siul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD