Ternodai?

1541 Words
"Lepaskan dia." Lelaki tinggi berdiri tegap memerintah dengan nada santai kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana berjalan menghampiri mereka. Sayangnya tidak mendapat sambutan baik. Satu orang pemuda menghalau seolah menantang. "Lepaskan dia," pintanya sekali lagi. Justru membuat seringai pemuda berandal itu muncul. "Siapa kau berani memerintah kami?" tanya pemuda itu mengejek. Disusul gelak tawa dua orang temannya sambil memegangi Laura. Alaric mengepal rahangnya mengetat tiba-tiba tubuhnya di dorong ke belakang hingga kakinya bergeser ke belakang. "Pergilah, jangan ikuti urusan kami!" "Kalau aku tidak mau, kau mau apa?" tanya Alaric menantang. Pemuda itu melayangkan satu pukulan tepat di depan wajah Alaric, namun dengan cepat ditangkis menggunakan satu tangan. Otot-otot Alaric terpampang jelas ketika manahan tangan orang tersebut hingga pemuda itu memekik akibat Alaric memutar tangannya. Tidak puas di situ saja ketika pemuda itu melemah Alaric menendang bagian leher hingga pemuda tersungkur ke jalanan. Sebelum pemuda itu bangun kaki Alaric lebih dulu menginjak punggungnya hingga tidak bisa bangun. Dengan posisi setengah duduk satu tangan di atas lutut sedangkan satu lutut menekan punggung pemuda itu. Tanpa diduga dua orang yang memegang Laura berlari membawa gadis itu ke mobil. Hingga menjauh dari Alaric. Dor ... Dor! Dua kali Alaric melepas pelatuknya tepat mengenai ban belakang. Dua orang pemuda itu berlari tak tentu arah meninggalkan Laura dalam mobil. Alaric membopong tubuh mungil Laura yang hanya memakai pakaian dalam saja ke dalam apartemen. Ini untuk pertama kalinya orang asing masuk ke dalam sana. Perlahan-lahan Alaric meletakkan ke atas ranjang. Tidak menyangka dia selalu dipertemukan dengan dia, gadis yang beberapa hari ini selalu mengusik pikirannya. Dan entah apa yang terjadi pada dirinya sesuatu di bawah sana bergejolak ketika melihat d a da Laura naik turun dan wajah begitu damai. Alaric tidak bisa menahan lagi, ia benar-benar tersiksa. Ia menunduk mendekatkan wajah dan melepaskan pakaiannya dengan cepat. Tidak ada bayangan Faullina seperti ia meniduri wanita-wanita biasanya. Yang Alaric rasakan adalah hatinya menghangat dan kini saatnya untuk mengenal lebih dalam lagi. *** Derttt ... Detttt .... Suara ponsel di atas nakas membuat Laura mengerjapkan mata yang begitu berat saat dibuka. Ia menggeliat pelan saat kemudian merasakan tubuhnya remuk redam ia meregangkan otot dengan cara merentangkan kedua tangannya. Ia mengubah posisi menjadi duduk, mencoba mengingat-ingat tentang kejadian selamam. Di mana 3 orang menahannya, kini netra bening itu melirik tubuhnya. Ia baru sadar ketika membuka selimut ternyata ia tanpa busana! Apa yang terjadi? Disepanjang perjalanan Alaric sambil mengemudi fokus pada jalanan memijat pangkal hidungnya. Ia buru-buru bangun tadi setelah Faullina menelepon bahwa Edward Ayahnya sedang memerintahkan dirinya untuk datang menemui mertuanya itu. Dan mencoba menghubungi nomor ponselnya tidak aktif. Pasti ada hal penting. Benar saja ketika sampai Alaric disambut oleh Edward dan Richard putra pertamanya wajah mereka tampak tegang. Alaric berjalan melewati penjaga berpakaian serba hitam, kaos dan juga celana dibalut jas juga warna hitam, disertai wajah tanpa ekspresi itu memberi jalan. Ia menghampiri Ayah mertua dan kakak iparnya itu. Edward duduk menyilang kaki bersandar selayaknya pemimpin. Sedangkan Richard duduk dengan tubuh condong ke depan menatap kedatangan Alaric. "Ayah, kenapa memanggilku? Apa ada hal penting?" tanya Alaric. Ia tahu betul jika dipanggil seperti ini Ayah mertuanya itu pasti sedang ada masalah. "Duduklah, Alaric." Setelah mendapat perintah dari Edward, Alaric duduk di kursi sofa yang di d******i warna biru itu. "Ada masalah, Alaric." Alaric mengerutkan dahi, pasti ini adalah sebuah pekerjaan baginya. Sebab Edward selalu menggunakan tangan Alaric untuk mengatasi musuh-musuhnya. "Barang-barang ilegal yang akan kita kirim ke kelompok Yura, ditangkap oleh kelompok Mars." ____ "Tapi tenang saja, aku sudah menghubungi orang suruhan kita, untuk membuat mereka takluk, dengan cara memberikan sejumlah uang pada anak-anak buahnya. Sebentar lagi mereka akan melepaskan barang-barang kita." Alaric dan Richard tersenyum saat mendengar kata-kata Edward. Lelaki tua itu memang selalu mengandalkan uang sebagai senjata untuk membeli segalanya. "Kalau masalah sudah selesai, lalu ... kenapa Ayah sangat khawatir tadi ketika saya baru saja sampai?" Gelak tawa terdengar dari lelaki berperut buncit dan botak kepala bagian tengah itu. "Ini memang lebih gawat dari pada apa pun, Alaric." Richard turut tertawa sebab ia tahu apa yang dimaksud sang Ayah. "Aku menyuruhmu datang untuk menanyakan hubunganmu dengan Faullina, Alaric. Kau tahu bukan, aku sangat menyayangi putriku melebihi apa pun?" Alaric mengangguk. Semenjak istrinya meninggal Faullina adalah wanita satu-satunya yang disayangi Edward di dunia ini. Menganggap Alaric orang yang bisa dipercayai untuk membuat putrinya bahagia maka dari itu meminta untuk mereka berdua menikah. Namun Edward tidak peduli, bahwa Alaric tidak mencintai Faullina sama sekali atau tidak. "Sudah 3 tahun kalian menikah, tapi ... kenapa sampai saat ini kalian belum membawa kabar bahagia untukku? Aku sudah tidak sabar ingin melihat pewaris, Edward Oberoin lahir ke dunia ini." "Kami ... belum--" Alaric menunduk bagaimana bisa mereka memiliki anak? Sedangkan hubungannya dengan Faullina tidak cukup baik, jarang bertemu. Jika bertemu pun mereka sudah lelah masing-masing dan memutuskan untuk tidur membelakangi punggung masing-masing. "Tidak apa, mungkin belum waktunya." Edward menepuk pundak Alaric seolah memberi semangat. Semua keadaan akan membaik jika Faullina memperbaiki diri untuk menjadi istri yang sesungguhnya. Bukan selalu bersaing dengannya untuk menunjukkan lebih kuat. Alaric sama sekali tidak bahagia dengan itu. Di dalam mobil perjalanan pulang Alaric menekan nomor ponsel untuk melakukan panggilan video dengan Faullina. Tampaknya ia harus membicarakan masalah yang serius pada istri suksesnya itu masalah anak. Namun saat panggilan tersambung bukan Faullina yang ada di sana melainkan lelaki berkulit putih yang kerap kali bersama istrinya itu. Mengetahui itu Alaric langsung membanting ponselnya, mengumpat, hingga memukul stir. Setibanya di apartemen lelaki pemilik alis tebal itu masuk menuju kamar ingin mencari gadis yang ia selamatkan semalam. Namun saat membuka pintu tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya tempat tidur kosong acak-acakan bekas tidur semalam. Ia tidak bisa melepaskan apa yang sudah dirasa miliknya. Mengetahui Laura tidak ada di sana, Alaric langsung menutup pintu kemudian kembali ke mobil. Ia ingin mencari keberadaannya. "Kau tidak akan semudah itu pergi dariku, saat aku sudah memutuskan kau adalah peliharaan ku, gadis kecil," gumam dalam hati sambil mengemudi. Di tempat lain, sudah beberapa rumah Laura dan ibunya datangi namun mereka belum juga menemukan rumah yang tepat untuk tempat tinggal. Bukan karena rumah itu jelek atau tidak layak, tapi ... uang yang dikumpulkan Laura tidak cukup untuk membayar sewa beberapa rumah itu. Mereka herdua terus saja bejalan menyusui jalan perkotaan. Langkah orang-orang begitu cepat membuat sepasang ibu dan anak itu berjalan lambat seperti siput. "Kita istirahat dulu, Bu. Aku akan membeli makanan untukmu." "Apa kau akan meninggalkan aku seperti semalam?" "Tidak, Bu. Aku akan segera kembali." Semalam dengan terpaksa Laura meninggalkan Ibunya di kursi pinggir jalan berniat akan membelikan sebuah obat. Namun langkahnya terhenti ketika tiga orang berandal itu menghalanginya. Dan rumah itu, sudah merenggut semua. Bahkan dia tidak ingat dengan siapa tubuhnya berakhir. Kembali membawa makanan dan minuman Laura melamun di pinggir jalan. Langkahnya gontai ketika mengingat kejadian semalam. "Kau di sini rupanya?" Suara serak penuh kuasa membuatnya tersentak. Laura menoleh kemudian melirik malas. Ia melanjutkan lagi langkahnya memilih tidak menghiraukan lelaki itu. "Tunggu!" Alaric meraih pergelangan tangan Laura. "Tuan apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" "Berjanji dulu bahwa kau tidak akan pergi dari sini." Laura benar-benar malas menanggapi pria di hadapannya kini. Pasti kedatangannya hanya ingin meminta balas budi karena sudah menyelamatkan dirinya di clab beberapa waktu lalu. Tapi percuma, sekarang Laura sudah kehilangan semua. Tak tersisa. "Kalau begitu ikutlah denganku." Alaric menarik Laura, sebelum mendapatkan perlawanan. "Kau tidak bisa memaksaku begitu saja, Tuan terhormat. Lihat." Laura menunjukkan bungkusan roti di tangan beserta minuman. "Ibuku di sana sedang menunggu. Jadi aku tidak ada waktu untuk meladenimu." Setelah menyentak Laura pergi dari sana. "Bu, ini makanlah." Laura membukakan bungkus makanan kemudian memberikan pada Ibunya. Ia mengatakan sampai mulut kemudian memberi minum. Tanpa ia sadari Alaric yang dia pikir sudah pergi telah mengamati mereka berdua dengan santai berdiri menyandarkan tubuhnya di besi pembatas sebuah tiang. "Apa malam ini kita harus tidur di jalanan lagi, Lau?" tanya Ibu setelah makan selesai. "Tidak Bu, kita akan segera mendapatkan sewa rumah," balas Laura sambil membereskan sisa bungkus roti kemudian berdiri membuang sampah saat mendongak ia melihat Alaric yang berjalan ke arahnya. "Hai Bu," sapa Alaric pada Ibu Laura. "Hai?" "Teman Laura!" jawab Alaric tegas sebelum mendapat pertanyaan. Ia memasang senyum ramah pada wanita yang mengingatkan pada Ibunya itu. "Ohh ... ternyata putriku pandai bergaul rupanya." Ibu Laura manggut-manggut senang. Karena penasaran Alaric pun bertanya pada Priscilla tentang keadaan mereka. Meski Laura memberi isyarat untuk tidak menceritakan masalah mereka namun dengan polos Ibunya memberi tahu semua kejadian dari Laura dipecat hingga diusir dari rumah kakaknya sendiri. Tubuh Laura mengendur ketika sang Ibu sudah selesai bercerita. Hal seperti ini sangat memalukan jika diketahui orang asing. "Kalau begitu ikutlah denganku." Alaric bersuara bak seorang pemimpin. Tanpa menunggu jawaban dari Laura ia mengambil tas di samping Pricilia sambil menuntun wanita itu ke mobil. "Kau mau bawa ke mana Ibuku, Tuan?" tanya Laura. "Kalau kau penasaran boleh ikut. Kalau tidak pun tak masalah. Ayo Bu," ajak Alaric membuka pintu mobil bagian belakang, dan Laura melongo melihat Ibunya begitu menurut pada Alaric. "Ayo Laura naiklah! Dia bilang akan menyewakan rumahnya dengan harga murah." Tidak ada pilihan untuk Laura selain mengikuti Ibunya yang sudah semangat melihat bentuk rumah pria itu. Setelah menghela napas Laura akhirnya melangkahkan kaki menuju mobil saat akan membuka pintu tangan siap menarik handle Alaric dengan tiba-tiba menghadang. "Aku hanya sopir untuk Ibumu, bukan untukmu, dear."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD