"Mari Bu, aku antar ke kamarmu." Lelaki itu menghampiri Priscillia.
Laura hanya diam dengan mata membulat di ambang pintu. melihat ibunya di gandeng menuju kamar.
"Apa Laura sudah memutuskan untuk tinggal di sini?" tanya Priscillia ketika berada di kamar mewah yang didominasi gorden warna abu-abu dan ranjang di alasi seprei berwarna putih itu.
"Dia sudah memutuskan, Bu. Dia juga akan bekerja di kantorku sebagai sekertaris pribadiku." Mata Alaric mengerling ke arah Laura.
"Wah ... bagus sekali." Mendengar anaknya mendapat pekerjaan baru membuat Priscillia merasa senang.
"Baiklah, aku permisi dulu, jika ada apa-apa hubungi aku ada di kamar sebelah."
Hah? Laura terkejut. "Sebelah?"
Alaric menyunggingkan bibir sambil berdiri di hadapannya.
"Bukankah kau sudah menyewakan rumah ini pada kami?"
"Ayolah, Laura ... apa kau pikir dengan harga segitu kalian akan menikmati seluruh apartemen ini sendirian?" Lelaki itu menggeleng.
"Tidak, aku menyewakan apartemen ini tapi tidak kamarku," ucap Alaric.
Laura menepuk dahinya sendiri berdiri kaku.
***
Dalam ruangan kerja Alaric dan Laura duduk berhadapan, satu menunduk dan satu lagi menatap tajam. Mereka baru saja selesai membicarakan kesepakatan kerja.
Tidak ingin munafik, bahwa Laura juga sangat menyukai ini. Banyak orang menginginkan posisi ini, bahkan sebagian dari mereka rela merayu Alaric dan Maikel untuk menjadi sekretaris.
Lalu saat Laura mendapatkan posisi ini dengan mudah, merupakan kesempatan yang bagus bukan?
Setelah menandatangani kontrak dengan Alaric, Laura melakukan pekerjaan dengan baik, ia menyiapkan pakaian untuk Alaric sebelum berangkat, ia mengatur jadwal pertemuan dengan para klien, mengatur makan dan minum bossnya itu dengan benar.
Seminggu sudah dilalui mereka kini sudah semakin terbiasa. Alaric bagai magnet dan Laura ibarat besi selalu menempel ke mana pun Alaric bepergian.
"Laura, bawa dokumen-dokumen ini ke HRD, jangan sampai salah. Setelah itu pisahkan setiap dokumen ke map-map yang ada di sana." Alaric menunjuk sebuah lemari penuh tumpukan map warna-warni.
"Tandai, setiap map agendanya berbeda."
"Baik Tuan. Ada lagi?"
"Satu lagi, kirim email pada perusahaan Global bahwa kita sudah memberi harga murah ini adalah paling relevan."
"Baik Tuan."
Laura sibuk mencatat semua apa yang diucapkan Alaric dengan iPad.
"Ada lagi, Tuan?"
"Apa ada jadwal untuk nanti malam?" Alaric duduk bersandar di kursi kebesarannya sedangkan Laura berdiri memeluk iPad nya.
"Ada Tuan, malam ini Anda ada janji makan malam dengan keluarga Wilis di restoran Viosof jam tujuh."
"Oke, kalau begitu siapkan semua keperluanku," ucap Alaric.
"Dan ... kau juga harus pergi ke butik setelah ini."
"Untuk apa, Tuan?"
"Untuk membeli kue. Tentu saja untuk membeli gaun yang tepat untukmu," decak Alaric.
Raut wajah Laura merona malu, mendengar candaan Bossnya itu.
"Tapi saya harus menemani Ibu di rumah sakit, Tuan." Saat mengingat Ibunya seketika mimik wajah gadis berubah menjadi sedih.
Dua hari lalu tiba-tiba Ibunya mendadak mengeluh sesak bagian d**a. Seketika itu Alaric membawanya ke dokter.
Setelah dokter mengatakan ada penyumbatan pada paru-parunya, Priscillia--ibu Laura harus melakukan operasi. Dan kini harus dirawat di rumah sakit.
"Tenang saja, aku sudah membayar pelayanan yang terbaik untuk Ibumu. Ada banyak perawat dan dokter berjaga, jika ada sesuatu dengan Ibumu pasti mereka akan menghubungi kita."
Laura merasa lega, tapi ada yang ganjal di hatinya. Tiba-tiba ia merasa tidak enak dengan pria di hadapannya kini. Sudah berulang kali menolongnya, dan kini juga membiayai pengobatan sang Ibu dengan harga yang cukup mahal.
"Tuan, Anda begitu baik padaku. Aku tidak tahu bagaimana harus membalas semua ini."
Alaric terkekeh kemudian beranjak dari kursi berdiri di samping Laura. "Semua ini tentu saja tidak gratis, Laura."
"Iya aku tau itu, Tuan. Maka dari itu aku membiarkan Anda memotong gajiku setiap bulan."
Gelak tawa Alaric pecah menertawakan Laura. Hingga membuat gadis itu bingung mengerutkan dahi.
"Biaya pengobatan Ibumu tidaklah sedikit, Luara." Ia berucap setelah mereda.
"Bahkan gajimu sepuluh tahun tak akan bisa mencicilnya," ejek Alaric semakin membuat menciut.
"Lalu ... bagaimana aku harus membayarnya?" tanya Laura takut. Ia merasa instingnya tidak enak.
Sebelum kemudian Alaric mendekat berdiri tepat di sampingnya hingga mengikis jarak diantara keduanya.
Perempuan berambut cokelat itu semakin memeluk iPad nya erat sambil menunduk.
"Kau hanya perlu setia bekerja denganku saja, Laura. Tidak hanya di kantor, kau juga harus mengurus semua keperluanku di rumah. Selayaknya seorang istri."
Hingga suara Alaric membuatnya membelalakkan mata dan mendongak menatap tajam.
Namun pikirannya menghentikannya. Bagaimana pun pria ini adalah penyelamat Ibunya, dan karena pria itu ia mendapat tempat tinggal dan pekerjaan yang layak.
"Bagaimana apa kau bersedia, Laura?" tanya Alaric lirih memastikan.
Seketika menelan saliva membasahi kerongkongan yang tiba-tiba mengering, wajah Laura memanas degup jantungnya berdetak lebih kencang tangganya yang mengepal di balik iPad menjadi berkeringat dingin. Ia gugup.
"Kau tidak bisa menolak, Laura. Ada banyak balas budi yang harus kau bayar denganku."
"Tapi, Tuan."
"Tidak tapi-tapian, sekarang selesaikan pekerjaanmu, setelah itu atur makan malam. Ingat, pakailah pakaian yang layak, aku tidak ingin orang-orang memandangku sebagai sekretaris biasa' saja."
Setelah berucap Alaric melangkah dengan santai dan kata-katanya sukses mengalir bagai aliran listrik yang menyengat Laura, hingga mematung tak berkedip.
Laura mengerjap, ia tidak tahu mengapa Boss yang sebelumnya angkuh berubah menjadi baik. Setelah terdiam beberapa saat ia menarik napas panjang kemudian menumpuk berkas-berkas yang berserakan di meja jadi satu.
Sesuai perintah ia memisahkan dokumen-dokumen ditandai degan warna map kemudian menyusunnya di lemari kaca.
Malam pun tiba, Alaric keluar dari kamarnya satu tangan memasang arloji kepalanya menoleh ke arah pintu samping, menunggu Laura dari kamar.
Lelaki yang sudah siap memakai jas berwarna hitam di dalam kemeja warna putih bertambah tampan dengan dasi kupu-kupu melekat di lehernya. Dan rambut tertata rapi, mata setajam elang itu menatap pintu kamar Laura. Sebab sekretarisnya itu terlalu lambat.
Karena tak kunjung keluar, Alaric kini memutuskan untuk mengetuk pintu kamar Laura tidak sabar.
Namun sebelum tangannya menyentuh pintu yang terbuat dari kayu itu sudah terbuka. Laura keluar mengenakan dress berwarna merah ketat tanpa lengan sedangkan bagian bawah panjang selutut membentuk lekuk tubuh indahnya.
Surai panjangnya tergerai begitu saja namun terlihat rapi. Gadis memiliki senyum indah itu berpapasan dengan Alaric.
"Kau ada di sini, Tuan?"
"Sejak tadi aku menunggumu. Seharusnya kau tau itu," jawab Alaric ketus.
"I m sorry ... hanya saja tadi ada masalah ketika memakai pakaian ini."
Alaric menelisik penampilan Laura dari atas sampai bawah. Benar-benar sempurna, nampak biasa tapi elegan. Dress yang dikenakan benar-benar pas membentuk lekuk tubuhnya ditambah sepatu hak tinggi memperindah kaki jenjangnya.
"Wow ...."
"Kita berangkat, Tuan?"
Laura mengibaskan telapak tangan di depan mata Alaric. Membuat sang empu buyar dari lamunan liarnya.
"Baiklah, ayo kita pergi!" Alaric membalik badan sebelum kemudian Laura menghentikan.
"Tunggu Tuan." Gadis itu berjalan ke hadapan bossnya itu. Ia berjinjit Mengulurkan tangan meraih dasi kupu-kupu yang melingkar di leher Alaric, membenarkan posisinya.
"Seperti ini lebih bagus." Pipinya mengembang setelah membenarkan dasi. Tatapan mereka berdua saling bertemu Laura mendongak sementara Alaric menunduk.
"Kita pergi?"
"Oke."
Laura mempersilahkan Alaric berjalan lebih dulu, sedangkan ia mengikuti di belakang. Ia lagi-lagi terkejut saat tiba-tiba Alaric membuka pintu mobil bagian depan untuknya.
Setelah tersenyum Laura berucap, "Terima kasih, Tuan."
Setibanya mereka tiba di restoran langsung disambut oleh resepsionis wanita yang mengenakan rok span panjang selutut dan kemeja berbahan satin berwarna coklat di leher sebuah syal dibentuk menyerupai pita besar menutupi lehernya.
"Good night, Sir?" wanita itu berdiri menunduk sopan.
"Reservasi atas nama Alaric Hernandez."
"Baiklah, Tuan. Mari ikuti saya." Benturan antara lantai dengan sepatu model Classic black pumps yang dikenakan resepsionis itu menggema saat ia berjalan lebih dulu dengan tubuh jenjang.
Sedangkan Alaric dan Laura berjalan di belakangnya mengimbangi.
Mereka berjalan ke sebuah ruangan VVIP yang terletak di lantai khusus setelah menaiki lift.
"Silakan, Tuan," ucap resepsionis itu saat setelah membuka pintu. Setelah sepasang boss dan sekretaris itu masuk wanita itu permisi meninggalkan mereka.
"Wow ... ternyata restoran pilihanmu lumayan juga ya." Alaric merasa puas dengan hasil pekerjaan Laura. Ia mempercayakan urusan pertemuan ini sepenuhnya pada gadis itu, mulai dari tempat, makanan, dan juga minuman terbaik.
"Aku hanya mencari seperti apa yang Anda inginkan, Tuan." Laura berdiri menunduk di belakang Alaric.
Sedangkan Alaric masih sibuk memperhatikan setiap sudut ruangan. Ada 4 kursi di sudut dekat jendela yang mengarah ke pemandangan kota Berlin.
Di bagian tengah ruangan terdapat sebuah meja bilyard di atasnya lampu hias berukuran besar menggantung di langit-langit.
"Cukup bagus." Setelah itu ia mengayunkan langkah untuk duduk di kursi berwarna putih tulang di pinggirannya ukiran berwarna emas.
Ia duduk menyilang kedua kakinya, kedua tangannya ia tautkan dengan siku berada di pinggiran kursi.
"Duduklah, Laura. Atau kau mati karena kelamaan berdiri."
"Baik Tuan." Laura memegang iPad berwarna silver dan memiliki gambar di bagian belakang sebuah apel itu beranjak.
Ia menarik kursi hadapan Alaric namun saat akan meletakkan bokongnya terhenti saat Alaric berdiri dan menarik kursi di sampingnya ke belakang tatapan matanya memberi isyarat Laura untuk duduk di sana.
Ia mengencangkan bibirnya untuk tersenyum setelah itu ia berpindah posisi duduk di samping Alaric.
Entah kenapa setiap berdekatan dengan boss besarnya itu jantungnya berdetak kencang. Sudah seminggu lamanya ia menjadi sekretaris tapi tidak menghilangkan rasa gugup saat bersitatap.
"Hubungi Wilis, katakan padanya kalau aku sudah menunggu, Laura."
"Baik, Tuan." Laura langsung menekan nomor ponsel Wilis. Namun setelah beberapa saat tidak bisa dihubungi.
"Bagaimana?"
"Tidak aktif, Tuan."
Alaric berdecak. Ia tidak suka dengan orang yang tidak tepat waktu.
"Kirimkan pesan padanya, katakan bahwa makan malam ini batal. Tidak ada kesepakatan kerja sama dengan perusahaannya!"
Mata Laura membulat. Batal? Makan malam di ruangan ini yang menghabiskan uang ribuan dolar akan dibatalkan begitu saja?
"Apa kau mendengarku, Laura?"
"I-iya, Tuan. Tapi ... bagaimana dengan ruangan ini? Apa kita akan meninggalkan begitu saja setelah membayar dengan mahal?"
"Tidak. Kita akan menggunakan dinner perdana yang spesial untuk kita."
"Heuh?" Mata Laura mengerjap.
"Ya, kita kencan malam ini." Alaric menjawab dengan santai.