Restoran termahal di Berlin didekorasi interior yang hampir sama seperti Alain Ducasse, penuh dengan perabotan mewah dan didominasi warna putih di setiap sudutnya.
Restoran ala Eropa itu begitu cocok digunakan untuk fine dining bersama pasangan kekasih kelas atas. Pelayan mendorong meja dorong memasuki ruangan Alaric dan menurunkan satu persatu beragam hidangan disuguhkan mulai dari domba panggang, landak laut, dan bebek semuanya seharga US$ 375 atau sekitar Rp 5,2 juta per orang menurut informasi yang diperoleh Laura sebelum memesannya.
Makanan sudah tersusun di atas meja persegi itu, botol kaca anggur terbaik berdiri tegak di tengah-tengah dikelilingi gelas tangkai yang Alaric tuangi wine warna merah kemudian mengangkatnya mengajak Laura bersulang.
Laura duduk kaku merasa canggung sebab ia tidak pernah makan atau bahkan membayangkan di tempat seperti ini.
"Minumlah, Laura. Kita habiskan malam ini, anggap saja ini adalah dinner pertama kita." Alaric mengerlingkan sebelah matanya jahil sambil mengangkat lagi gelas sebelah tangannya lagi memegang botol menuangkan untuk Laura.
Laura tidak menyukai wine, anggur atau sejenisnya. Namun bibirnya terkunci tidak bisa menolak ketika Alaric memberikan gelas padanya.
"Kita bersulang?"
Laura mengangkat tangannya yang memegang gelas hingga gelas di antara keduanya berdenting. Kemudian Alaric menyesap minumannya namun mata lelaki itu sibuk memperhatikan Laura yang terlihat canggung.
"Kau tidak ingin minum?" tanyanya setelah meletakkan gelas ke meja samping piring.
"Aku akan meminumnya, Tuan."
"Kalau begitu, minumlah." Tatapan Alaric terus saja memerhatikan raut wajah Laura yang membimbing gelas ke bibirnya.
Lalu dengan susah payah menelan minuman yang terasa panas di tenggorokan itu hingga matanya refleks terpejam.
Setelah gelas kristal bertangkai itu tandas tak tersisa. Membuat Alaric terkekeh sebab tidak ada aura elegan sama sekali dari cara meminum.
"Apa kau tau, Laura? Di Jerman ini ada banyak orang menyukai wine, atau anggur. Tapi aku bisa melihat kau tidak menyukai sama sekali. Kalau kau tidak menyukai sesuatu jangan dipaksakan untuk berpura-pura, sebab jujur akan mempermudah segalanya."
Laura tersenyum kikuk pipinya memerah karena malu. "Aku memang tidak pernah menyukai anggur atau sejenisnya. Sebab ingin menghargai Anda aku meminumnya."
Alaric menyunggingkan bibir. Ia semakin tertarik dengan gadis di hadapannya itu.
Lalu Faullina?
Entahlah.
Alaric tidak pernah memiliki perasaan seperti ini ketika bersama istrinya itu. Sedangkan ia merasa berbeda saat bersama Laura. Ia memotong daging menggunakan pisau kecil dan garpu setelah itu memasukkan ke dalam mulutnya.
Meskipun begitu mata elangnya tidak ingin berhenti memandang, sehingga membuat Laura kikuk.
Mereka berdua saling menikmati makanan tidak ada yang bicara di antara keduanya. Tapi dari sorot mata Alaric mengisyaratkan sebuah makna meski Laura tidak menyadarinya.
Laura mengusap sudut bibirnya menggunakan sapu tangan. Kemudian matanya menatap meja biliar di tengah-tengah ruang itu.
"Apa kau ingin bermain billiar, Laura?" tanya Alaric saat melihat Laura memperhatikan benda besar berbentuk persegi di sana.
Laura menggeleng. "Aku tidak pandai bermain benda itu, Tuan," tolaknya.
"Kau tidak akan bisa kalau tidak mencobanya, Laura," ucap Alaric beranjak dari kursinya kemudian mengadahkan tangan di hadapan Laura.
"Mari aku ajarkan bermain billiar dengan benar?"
"Ah, tidak perlu, Tuan. Lagi pula itu bukanlah hal penting," elak Laura mengibaskan tangan.
"Siapa bilang ini bukan hal penting. Mari ikut denganku!"
Laura meletakkan tangan di atas telapak Alaric kemudian ia beranjak berjalan mengikuti langkah bossnya yang selalu membuat jantungnya berdebar di belakang.
Alaric mengambil tongkat billiar matanya memerhatikan bola berbentuk susunan segitiga di tengah-tengah meja siap membidik.
"Seseorang ketika pertama kali belajar cara bermain biliar, hal itu akan tampak seperti sebuah seni. Ada beberapa variasi, strategi, dan terminologi yang berbeda yang dipelajari hanya untuk memasukkan bola ke dalam kantong meja biliar. Namun, kau akan merasa senang sehingga kesulitan tersebut akan terlupakan."
Tag!
Alaric membidik bola berwarna hitam sehingga masuk ke dalam kantong.
Untuk beberapa saat Laura takjub dibuatnya.
"Bagaimana, Laura? Apa kau mau mencobanya?" tanya Alaric menoleh menatap gadis di sampingnya.
"Aku? Kurasa tidak, Tuan. Sebab aku wanita."
Alaric terkekeh geli. "Laura, Laura ... ada banyak atlet biliar merupakan seorang wanita dan mereka berhasil mengalahkan pemain pria. Kau tau, bukan, bahwa di Jerman kedudukan wanita dan pria adalah setara?"
Laura mengangguk samar, sepertinya Bossnya itu bicara di luar kapasitasnya. Sebab bermain biliar bukan hobinya. Jadi percuma kalau walau dijelaskan panjang lebar.
"Ini." Alaric belum menyerah, bahkan memberikan tongkat biliar pada Laura. Jelas saja membuat gadis itu mengerutkan dahi.
"Aku akan mengajarimu." Alaric berpindah posisi menjadi di belakang Laura.
Lelaki itu berada lebih dekat tangannya terulur meraih jemari Laura untuk memegang tongkat dengan benar. Laura kian meremang ketika kulit Boss-nya itu menyentuh kulitnya, panik ketika wajah Alaric tepat berada di samping wajahnya di atas pundak.
"Seperti ini." Alaric bergerak hingga mengikis jarak di antara keduanya. Bukan konsentrasi pada bola biliar, Laura justru menatap Alaric yang sedang bicara menatap bola-bola itu.
"Apa kau mengerti, Laura?"
Laura mengangguk padahal ia tidak sama sekali mengerti.
"Bagus, sekarang lakukan."
Laura diam.
"Seperti ini." Alaric merapatkan tubuhnya hingga menempel pada punggung Laura kemudian mereka berdua sama-sama membungkuk hingga napas lelaki itu terasa di ceruk leher Laura. Alaric berkonsentrasi untuk membidik.
Tag!
Bola berwarna merah masuk ke dalam kantong sesuai bidikan. Senyum Laura mengembang merasa senang karena berhasil memasukkan bola berwarna merah itu. Ia berjingkrak-jingkrak gerirangan.
"Tidak sulit, bukan?" Alaric menggeleng samar ketika melihat Laura kesenangan.
"Lain kali aku akan mengajarimu lagi," imbuhnya.
"Benarkah?" tanya Laura tidak percaya.
"Tentu."
"Kita lanjut?"
"Siapa takut."
Mereka berdua menghabiskan malam untuk bermain biliar, tidak ada jarak sebab hubungan boss dan sekretaris. Kini mereka saling melepas tawa selayaknya seorang teman cukup akrab.
Selepas dari restoran Laura dan Alaric memutuskan untuk menaiki mobil menyusuri kota Berlin yang masih ramai oleh manusia meskipun hari menjelaskan dini hari.
Kedekatan mereka pun makin berlanjut di hari-hari berikutnya. Alaric merasa Laura adalah seseorang yang dikirim untuk mengisi ruang kosong dalam hatinya.
Meskipun begitu, Alaric selalu bersikap profesional selayaknya seorang boss pada sekretarisnya meski tidak bisa dipungkiri rasa suka dalam hatinya mulai tumbuh apa lagi setiap hari seolah terpupuk oleh kegiatan-kegiatan untuk bekerja dalam satu ruang.
"Laura, di mana dasiku?" tanya Alaric sambil sibuk membuka laci-laci dalam kamarnya.
Ia sudah semakin ketergantungan pada Laura. Mulai hal terkecil sekretarisnya itu sudah menyiapkan. Hingga merasa nyaman di apartemen ini tidak ingin pulang ke mansion.
"Laura, di mana kau menyimpan dasiku?" tanya sekali lagi.
Laura menggeleng dari luar kamar sedang memegangi jas berwarna hitam kemudian masuk ke kamar. Dengan santai jari lentiknya membuka laci yang sudah di buka Alaric berkali-kali.
Kemudian ia mengangkat dasi itu di hadapan Alaric. "Apa ini?"
Lelaki itu tersenyum menepuk kepalanya sendiri pelan. "Ah, maaf, aku tidak melihatnya tadi." Kemudian mengambil dasi dari tangan Laura.
Setelah menghela napas Laura mengayun kaki ingin keluar sebab ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan termasuk menyiapkan sarapan.
"Tunggu Laura." Sambil mengangkat dasi memasang senyum canggung.
Seperti biasanya, Alaric pasti ingin Laura memasang dasi untuknya. Tersenyum kemudian berbalik Laura berjinjit menyimpul dasi Alaric hingga rapi.
Lelaki itu menyukai hal kecil seperti ini, menikmati aroma rambut Laura dari dekat, benar-benar harum.
"Sudah beres." Setelah berujar Laura tersenyum kemudian berjalan keluar sebelum kemudian tangannya ditarik oleh Alaric dibawa dalam dekapan.
"A-apa yang Anda lakukan, Tuan?" Laura berdebar apa lagi ketika sorot mata tajam Alaric tidak henti menatapnya. Ia berusaha melepaskan tangan kekar yang melingkar di pinggang itu.
"Thanks, Laura. Kau semakin hari semakin terampil dalam bekerja, aku semakin menyukainya," ucap Alaric menatap penuh arti. Kemudian mendekatkan wajah begitu dekat membuat Laura memejamkan mata beberapa saat.
"Terima kasih karena kamu selalu melakukan pekerjaan sesuai keinginanku," ucap Alaric setelah mendaratkan bibir ke pipi Laura.
Darah Laura terasa berdesir, mendadak ia menjadi salah tingkah. Secara refleks memegangi pipi yang masih terasa hangat bekas kecupan Alaric.
Ia merasa sudah terlalu lancang jika harus sedekat ini setelah berpikir ia melepaskan tangan Alaric sebab dadanya selalu berdetak lebih cepat wajahnya bersemu merah.
"Sebab Anda selalu marah, jika aku salah sedikit saja," ucapnya setelah terlepas dari pelukan Alaric.
"Marah demi kebaikan itu baik, Laura." Alaric mengayun langkah merapikan penampilan di depan cermin.
"Tidak ada marah demi kebaikan, Tuan. Marah justru membawa keburukan." Ketusnya.
Sedangkan Laura berlalu tak menghiraukan bossnya itu yang ingin menjawab.
Keluar dari kamar Alaric, Laura bergegas menyiapkan makanan untuk bosnya itu, memastikan tidak ada yang kurang satu pun.
makan sarapan pagi ini yang sudah ia siapkan adalah, secangkir kopi hitam, roti tawar dan juga roti Brotchen dengan olesan selai coklat.
Setelah Alaric duduk di kursi makan Laura pun bergabung mereka berdua sarapan bersama-sama. Ditemani kopi yang dulu dibenci Alaric yang kini menjadi favoritnya.
Sekarang tidak tahu malunya justru selalu meminta untuk dibuatkan.
"Apa jadwalku pagi ini, Laura?" tanya Alaric sambil mengoles selai di atas roti.
"Ada pertemuan dengan Tuan Miller, Tuan, untuk membahas pelepasan kontrak lokasi untuk lahan pabrik BERLION yang terbaru."
"Oke."
"Tuan, em ... apa boleh aku meminta izin hari ini?"
"Untuk?" Aktivitas Alaric terjeda menatap Laura yang menunduk.
"Aku ingin menemani Ibu hari ini," balas Laura ragu. Sebab sudah 2 hari ia tidak mengunjungi ibunya. Oleh karena Alaric Begitu banyak memberikan pekerjaan, bahkan sampai malam hari.
"Kita lihat saja pekerjaan di kantor dulu. Setelah itu baru bisa diputuskan. Sekarang makanlah, setelah itu kau kirim email pada supplier-supplier yang ku berikan daftar namanya kemarin."
"Baik, Tuan."
Laura kembali makan memilih diam. Hingga sarapan mereka berdua selesai kini saatnya Alaric dan Laura berangkat satu mobil.
Gadis itu sudah siap duduk di kursi depan, dan baru saja Alaric memegang handle tiba-tiba ponsel dalam saku jasnya berdering.