Mungkin memang ini adalah jalan hidupku. Entah bagaimana suami aku nanti aku harus menerimanya. Tetapi kalau di pikir-pikir dia sangat tampan. Dan kenapa kak Delisa tidak mau jika menikah denganya. Apa...
Ucapan Alice terhenti, di saat dia mengingat sesuatu yang membuat dia merasa ada yang janggal dalam pikirannya.
Bentar.. Bentar.. laki-laki itu... Gelang yang di pakainya.. Gelang tali biasa yang sangat familiar di mataku.. Apa.. Aku dulu pernah bertemu denganya. Ah,, lupakan saja aku tidak perduli denganya lagi..
Suara derik langkah ringan terdengar jelas, membuat Alice mengerutkan keningnya. Tubuhnya mulai gemetar, angin semilir malam menerpa tubuhnya yang semakinmembuat bulu kudungnyamulai merinding. Aura di sekitarnya terasa mencengkam, tidak ada satu orang atau kendaraan yang lewat di sekitarnya. Bahkan hanya dedaunan dan pohon rindang yang menemani setiap derik langkahnya.
Alice menghentikan langkahnya, dia mengerutkan keningnya, dalam satu tarikan napasnya dia menoleh cepat ke belakang. Seketika dia, menghela npasntya lega, di saat dia tak melihat siapapun di belakang.
“Hah... Mungkin itu hanya perasaanku saja.” Gumam Alice, sesekali dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Dia berdiri lunglai seketika di saat mengetahui jika dirinya sudah terlalu lama keluar dari rumah. Bahkan di setiap perjalanan dia hanya diam melamun tanpa tujuan.
Tap.. tap.. tap..
Suara langlkah kaki semakin cepat seketika membuat mulut Alice terbungkam. Dia menoleh cepat. Namun gerakannya terhenti di saat seseorang melingkarkan tanganya di leher semabri menutup mulutnya dengan sapu tangan. Alice mencoba meronta-ronta, menggerakkna semua tubuhnya dari tangan, hingga kakinya untuk melawan. Namun bau menyeruak dari sapu tangan itu seketika membius hidungnya dan perlahan tubuhnya mulai lemas, matanya tak tertahankan lagi untuk tetap menatap ke depan.
Seorang laki-laki dengan badan kekar, membawa wanita itu masuk ke dalam sebuah mobil mewah berwarna hitam. Dan mengikat ke dua kaki dan tangannya, dengan bibir terbungkam dengan kain.
“Kita bawa kemana dia?” tanya sopir mobil itu.
“Jalan saja, nanti aku akan kasih tahu arah-arahnya” jelasnya semabri melirik sekilas ke arah Alice yang masih tak sadarkan diri duduk di pojok kanan dengan kepala menyandar di kaca mobil.
“Baiklah!”
=======
Mobil itu mulai berhenti tepat di sebuah rumah mewah. Salah satu laki-laki di sana mengangkat tubuh Alice, dan segera membawanya masuk ke dalam.
“Bawa dia masuk ke kamar, tuan muda.” Ucap tegas Lucas. Assisten pribadi Dion.
“Baik,”
“Ikat semua tangan dan kakinya di penyangga ranjang, jangan sampai dia bisa lepas.”
“Iya, tuan.” Jawab dua pengawal itu sedikit gugup. Meski pikiran mereka berkeliaran kemana-mana. Tetapi dia tidak perduli, karena itu urusan dar bossnya, dan dia hanyalah menjalanka tugsa darinya itu sudha menjadi tanggung jawab dan kewajibannya.
Laki-laki itu segera berjalan dengan langkah cepat membawa tubuh Alice masuk ke dalam kamar Dion.
“Apa kamu berpikiran sepertiku” tanya salah satu pengawal itu pada temannya.
“Sudah, diam saja dan lakukan semua perintahnya jika kamu ingin tetap bekerja di sini.” Jawab temannya mencoba mengingatkan. Bahaya bossnya itu, jika sampai telinga Dion mendengar pembicaraan mereka bisa jadi gorangan dan di buang begitu saja nantinya.
Ke dua tangan Alice sudah terikat sangat sepurna dan erat di peyangga, Alice yang belum sadar, dia perlahan mulai menggerakkan kelopak matanya. Seketika dua pelayan itu segera berlari pergi, keluar dari kamarnya.
Alice mengernyitkan matanya, dia menatap sekelilingnya yang terlihat aneh dan berbeda dari kamarnya. Tangan dan kakinya terasa sakit.
“Siapa yang mengikatku di sini?” teriak Alice, meronta-ronta mencoba melepaskan ikatan tali itu.
“Woy... Siapa di luar, tolong lepaskan aku!” teriak Alice menggema ke seluruh penjuru ruangan.
Arrgg....
Aku harus bisa lepas dari sini.
Alice menarik tangannya, wajahnya mengkeur menahan rasa sakit.
“Arrggg.. aku gak bisa.” Desah Alice yang mulai menyerah.
Tolong, siapa di luar.. Tolong lepaskan aku!” teriak Alice ke dua kalinya. Mulutnya seketika terdiam di saat kamar itu tiba-tiba gelap, pandangan matanya mulai terhalangang helapanya ruangan yang terasa menecengkam. Suara langkah kaki terdengar sangat jelas, semakin mendekatinya.
“Siapa itu?” tanya Alice, mencoba mengatur napasnya, tubuhnya mulai gemetar takut di saat dia merasakan hembusan napas berat seorang laki-laki sudah di sampingnya, mengecup lembut lehernya.
“Sialan, siapa ini.” Umpat Alice, mencoba meronta.
“Kamu tidak akan pernah bisa kabur dari sini, Alice.” Suara serak, sedikit berat itu terdengar sangat familiar di telinganya. Tetapi ke dua matanya tak bisa melihta jelas, siapa di depannya.
Napas Alice sudah mulai di ujung tanduk, rasa takut mulai merasuk dalam tubuhnya. “Apa.. yang akan kamu lakukan?” tanya Alice was-was, sembari menggerak-gerakkan tubuhnya mencoba menghindar.
“Aku laki-laki yang akan menemani kamu malam ini.” Jemari tangan laki-laki itu mulai menyentuh setiap kulit pipi Alice, wanita itu terpejam sesaat merasakan sentuhan yang perlahan membiusnya. “Hanya di sini, kita berdua akan di madu kasih dalam hubungan yang sangat indah,”
“Jangan pernah macam-macam padaku, aku bisa laporkan kamu ke polisi.” Ancam Alice, bibirnya gemetar ketakutan.
“Laporkan saja, kamu tidak akan bisa lepas dariku.” Perlahan jemari tangan kekarnya itu dari pipinya mulai trun di bawah dagunya.
“Jangan sentuh aku,” teriak Alice sembari mengeluarkan berbagai umpatan kasar keluar dar mulutnya.
Dan laki-laki itu hanya senyum sumringah pemuh dengan kemenangan. Diamulai membungkam mulut Alice dengan bibirnya. Di balas cepat Alice dengan sebuah gigitan penuh dengan marah.
“Jangan kurang ajar denganku tuan!” Alice mengeluarkan napasnya beratnya berkali-kali, seakan dia baru saja lari maraton.
“Temani aku malam ini,” bisiknya, seakan dia tanpa menyerah untuk bisa menyentuhnya.
“Apa yang kamu inginkan?”
“Aku ingin kamu bisa merasakan apa yang aku alamai. Rasa sakit hati yang luar biasa.” Jelas laki-laki itu, yang mulai menyingkap helian kain atas Alice, sentuhan tangannya sudah menjamah dengan leluasa di setiap lekuk tubuhnya. Alice mencoba meronta-ronta, semakin kuat dia meronta, maka akan semakin sakit tangan dan kakinya.
“Nikmati saja!” bisiknya, hembusan napasnya terasa di lehernya membuat bulu kuduknya mulai berdiri, merasakan sentuhan demi sentuhan mulai menjalar di tubuhnya. Hingga sebuah kecupan mendarat tepat di lehernya, membabi buta.
“Sialan, apa yang kamu lakukan. Apa kamu sudah gila... Lepaskan aku! Aku mohon lepaskan,” suara isakan dari Alice semakin membuat laki-laki bersemangat, dia duduk tepat di atas tubuh Alice, melepaskan ikatan ke dua tanganya.
“Aku akan melepaskan kamu, tetapi kamu tidak akan pernah bisa pergi dariku.” Laki-laki itu mencengkeram erat rahang Alice, menariknya sedikit ke atas, membuat dia kesulitan mengambil napas tangan kekarnya seakan berniat ingin membnuhnya.
“Argg... lepaskan aku!” ucap Alice memegang tangan kekar laki-laki itu. Dia mencengkeram erat mecoba melepaskan tangan yang hampir merenggut nyawanya itu.
“Jangan pikir kamu bisa seenaknya,” tangan kekarnya melemparkan tubuh Alice ke ranjang keras.
Apa yang harus aku lakukan. Siapa dia? Dan kenapa dia menginginkan aku. Apa ini juga jalan takdirku. Aku tidak mau.. Aku tidak mau kehilangan kesucianku dengan orang yang bukan suamiku. Alice memejamkan matanya, air matanya semakin pecah tak tertahankan membasahi ke dua pipinya.
“Jangan pernah menangis di depanku,” geram laki-laki itu, suara itu terdengar seoeetti erangan harimau kelaparan. Tubuh Alice seketika kaku, gemetar, merasakan aura mencengkam dari depan tubuh laki-laki itu. Meski ke dua matanya berusaha melihat siapa laki-laki itu, namun nihil. Matanya tak bisa menjangkau jelas wajahnya.
“Ingat, apa yang aku lakukan padamu sekarang.” Laki-laki itu merobek paksa semuanya, dengan wajah penuh dengan kemarahan.
“Hentikan! Aku mohon,”
“Tidak akan, kamu yang membuat aku kehilangan cintaku, dan kamu harus merasakan bagaimana kamu bisa kehilangan cintamu nantinya.” Tubuh Alice terekpose bebas, laki-laki itu beranjak berdiri, menyalakan lampu membuat tubub Alice yang hanya mengenakan dalam terpapang jelas di matanya. Bukanya tergoda, laki-laki itu hanya ingin melancarkan balas dendamnya dengan sempurna.
Alice menoleh, dia berusaha untuk melepaskan ikatan tali di e dua kakinya. Dan dengan cepat laki-laki itu mendorong tubuh Alice hingga terpental, dan terbaring laki di ranjangnya.
“Jangan berani kabur dariku,” jelasnya tegas.
Alice mengernyitkan matanya, melihat detail wajah laki-laki itu yang tertutup topeng. Dia tidak bisa melihat jelas wajahnya.
"Siapa kamu?” tanya Alice dan lansgung di sambut dengan sebuah sentuhan di ujung kakinya, perlahan merayap naik.
“Diamlah, dan nikmati saja.”
Oh.. Tuhan.. Tolonglah aku. Dia benar-benar manakutkan, Lebiah menakutkan dari pada hantuk. Sentuhan tangan dinginnya, membuat tubuhnya terasa kaku tak bisa berkutik. Hingga jemarinya berhasil menembus, hingga erangan keras terdengar sangat jelas menggema keluar dari ruangan.
Dan Alice hanya menangis tak tak tertahankan lagi.
“Ingat, ini hanya peringatan bagimu. Jangan pernah sama sekali kamu berani membuat aku malu lagi nantinya.” Tegas laki-laki itu, mengeluarkan tanganya. Dan mulai merangkak naik menyentuh bagian d**a wanita itu.
“Sudah cukup. Aku mohon padamu,” ucap Alice, di iringi isakan tangis.
Laki-laki itu tidak perdulikanya, teriaknnya, tangisanya, seakan hatinya sudah beku dari rasa kasihan pada seorang wanita. Bibirnya dengan ganas menjamah sekujur tubuhnya.
Meski cengkeraman erat jemari tangan Alice, membuat kuku tajamnya menempel di punggung laki-laki tanpa baju. Dia meninggalkan bekas cakaran yang amat dalam di pungungnya.
“Pergilah!” pinta laki-laki itu, dia beranjak berdiri. Dengan cepat Alice melepaskan ke dua kakinya, tanganya yang gemetar terasa sangat susah menyentuh tali itu.
Laki-laki itu terdiam sejenak, dia mulai melepaskan topengnya. Meletakkannnya di atas laci, kemudian membalikkan badannya, berjalan mendekat ke ujung kaki Alice.
“Mau apa lagi, kamu?” tanya Alice, sembari mernegkuh ke dua lututnya, memejamkan ke dua matanya. Dengan tubuh gemetar ketakutan.
“Jangan takut, aku hanya melepaskan ikatan kamu.” Jemari tanganya mulai melepaskan ikatan yang mungkin kini sudah membuat ke dua kakinya membiru.
“Aww...” rintih Alice meringis kesakitan.
“Pergilah, jika kamu ingin pergi sebelum aku berbuah pikiran nantinya.” Laki-laki itu mencoba mengingatkan.