Dion duduk santai di kursi kerjanya. Dan padangan mata tertuju pada beberapa dokumen yang terbuka, dan sedikit berantakan. Ia melihat wajah Delisa di sana. Dari sebuah foto waktu dia kecil. Melihat foto itu, rasa balas dendamnya semakin dalam.pada wanita itu. Dia ingin sekali meluapkan semua kebenciannya padanya. Dan termasuk rasa emosi, kesal, kecewa yang sudah membara jadi satu dalam dirinya.
Jun yang dari tadi duduk di depannya merasa heran. melihat tuannya merasa sedih. Wajahnya kusut tak ada senyum sedikitpun terlihat di bibirnya. Hanya luka yang sangat dalam, yang kini dia rasakan. Dan dia terlihat sangat amat kacau tidak seperti biasanya. Tuanya yang ceria dan selalu tersenyum. Kini berubah menjadi sebuah patung yang hanya diam, tak berdaya.
Jun menghela napasnya. Memberanikan dirinya membuka suara.
"Tuan, apa anda yakin. Jika membiarkan istri anda di rumah itu sendiri." tanya Jun memecahkan keheningan di antara mereka.
"Biarkan saja! Aku tidak perduli dengan itu. Yang penting rencana aku sekarang berhasil."
"Tapi apa, tuan. Tidak perbolehkan dia kerja juga di sini. Atau entah di cabang kantor tuan yang lainya.
Dion mengangkat kepalanya menatap ragu pada Jun. "Kenapa kamu memberiku saran seperti itu," ucapnya sedikit kesal.
"Maaf, tuan! Aku tidak bermaksud untuk memmerintah tuan.. Maafkan, saya.. Tuan!" ucap Jun gemetar takut.
"Tenang saja, aku tidak marah dengan kamu. Aku sekarang hanya ingin bilang padamu jika itu ide yang sangat bagus."
"Tapi kalau sekaranh, tidam akan! Kalau dia punya uang sendiri. Aku yakin dua akan ngelunjak denganku. Dan selalu membantah apa yang aku katakan." geram Dion. Ke dua matanya memancarkan api kemarahan yang membara pada dirinya.
"Ya, tuan. Tapi apa anda tidak mau membuka hati.."
"Tidak!" ucap Dion tegas. "Memangnya aku harus membuka hati untuk siapa? Apa untuk adik dari Delisa itu." Dion terkekeh kecil, menyandarkan punggung di kursi kerjanya. "Itu benar-benar hal gila.. Jika aku suka dengannya. Atau bahkan sampai menaruh hati padanya.
"Baik, tuan! Maaf!"
"Hallo.. Sayang. kenapa kamu tidak datang mencariku kemarin" ucap seornag wanita berjalan dengan tubuh lenggak-langgok mendekati Dion. Laki-laki itu terlihat sangat datar. Tak perdulikan wanita itu yang naik di atas kursinya. Jemari tanganya mulai kenggoda. Di tambah senuah kecupan mendarat di pipi kiri Dion. Dion mencoba menghindarinya. Menepis tangan w************n yang selalu menggoda dia setiap harinya.
"Duduklah di tempat kamu." pinta Dion, menarik tangan Wanita itu untuk beranjak dari duduknya.
"Kenapa?"
"Duduklah di sana. ada satu sofa panjang yang bisa baut kamu tidur atau sekedar duduk." pekik Dion sedikit jijik padanya. Tetapi meskipun begitu dia adalah wanita yang hari-hari ini selalu menemani malamnya yang terasa menyedihkan, menoleh menatap wanita itu dengan tatapan tajamnya. Seketika membaut wanita cantik itu bergidik takut. Dan memutuskan menuruti apa yang di katakan Dion.
"Jun! Bawa Alice ke sini." pintanya pada Jun yang masih duduk di depannya.
"Siap, tuan!" jun berdiri tegap. Siap melakukan perintah dari tuanya.
"Oya, suruh dia bawa pakaian kantor. Aku mau dia kerja di sini."
"Tapi tuan..."
"Gak usah tapi-tapian. Aku ingin dia merasakan gimana bisa kerja jadi bawanku." tegas dion, merapikan jas miliknya dan kembali lagi mengerjakan semua tugasnya.
Dan Jun hanya menunduk, lalu membalikkan badannya. Berjalan keluar menuruti apa yang di katakan Dion sebelum semuanya jadi tambah rumit.
***
Sedangkan di balik rumah megah bak istana. Dengan nuansa modern yang begitu indah. Desain interior bak hotel bintang lima di luar negeri. Semua barang-barang tertata sangat rapi.
Rumah yang sangat megah. Namun sepi seperti bak kuburan tak berpenghuni, sunyi, sepi, tak ada satupun suara yang terdengar. Hanya detak jam yang terdengar begitu jelas di keheningan rumah mewah itu.
Bahkan Alice hanya sendiri di dalam rumah luas itu. Bekerja sendiri, mengerjakan semua sendiri. Entah kenapa Dion begitu tega dengannya. Membiarkan dia banting tulang sendiri. Mengurus pekerjaan rumah tangga. Dan dia melakukannya tanpa di gaji.
Dan setelah selesai menulis kisahnya di laptop milik Dion. Dia segera menyimpan di flashdisk sebelum Dion tahu, dan marah padanya nanti.
"Gimana keadaan kakak, sekarang. Apa dia baik-baik saja?" gumam Alice, ke dua tanganya masih sibuk membereskan ranjang Dion. Dan sesekali ke dua matanya memutar saat melihat wajah polos Dion waktu tersenyum.
"Apa ini benar foto Dion?" gumam Alice, meraih foto masa remaja Dion, wajahnya tak terlibat galak di saat remaja dulu. Tetapi, entah kenapa dia berubah menjadi singa. Bahkan wajahnya sedingin es, hatinya sekeras batu, dan ucapannya setajam pisau yang sudah di asah.
"Mungki semua karena Cinta. Karena cinta bisa merubah orang baik jadi jahat. Dan orang jahat bisa jadi baik. Dan Semoga Dion bisa menemukan cintanya. Dia hanya butuh kasih sayang." gumam Alice, terbesit dalam pikirannya berlari keluar dari kamar Dion, menutup puntunya rapat-rapat.meraih ponsel di atas meja. Dan mencoba menghubungi Dion.
Tak ada jawaban sama sekali dari Dion. Wajah Alice menajdi panik dan khawatir jadi satu. Dan kini dirinya bingung harus bagaimana lagi. Tak lama Dion menghubungi Alice kembali. Dengan senang hati, jari tangan Alice dengan cepat mengangkat panggilan telfon darinya.
"Ada apa?" sela Dion memulai pembicaraannya lebih dulu.
"Gak ada apa-apa, hanya saja aku ingin sekali keluar sebentar boleh," Alice seketika menutup mulutnya. Menepuknya pelan berkali-kali. Ia bingung kenapa dia bisa keceplosan berbicaraa seperti itu. Sama saja aku sudah meminta kamu beristirahat.
"Gak boleh!" Dion mematikan ponselnya. Sebelum Alice menjawabnya.
Kenapa dia selalu marah-marah. Memangnya dia gak punya hati apa. Atau hatinya memang terbuat dari batu baja. Gerutu Alice. Dia bergegas menyelesaikan semua tugasnya. Lalu merendam tubuhnya yang terasa sudah penuh dengan keringat. Selesai mandi kilat. Alice dengan cepatnya ganti pakaiam.
Tak lama Jun sampai di rumah batu Dion. Berjalan masuk dengan langkah cepat.
"Tuan," ucap Alice, menundukkan kepalnya pada Jun.
"Jangan panggil aku tuan, aku hanya sekertaris tuan Dion. Dan sekarang kamu cepat ganti pakaian kerja. Dan ikut aku." jelas Jun, wajahnya yang datar dan dingin sama saja dengan Dion. Tetapi dia masih visa berbicara banyak dengan Alice, ia merasa sangat lega. Ada yang mau sedikit saja berbicara padanya.
Tapi.. Bentar! Kenapa dia meminta aku untuk ganti pakaian. Dan apa yang sebenarnya dia inginkan. Pakaian kantor! Ada apa sebenarnya. Gerutu Alice dalam hatinya, mencoba memikirkan apa yang sebenarnya rencana Dion.
"Apa anda.. tidak mau?" tanya Jun.
"Eh... Bukanya tidak mau. Bentar! Bentar! Aku akan segera ganti baju." jawab Alice gugup. Dengan cepat dia melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Jun masuk ke dalam kamarnya. Tanpa pikir panjang dulu Alice segera ganti baju kantor, yang ternyata sudah di siapkan oleh Dion sebelumnya yang sudah tertata rapi di almari miliknya.
"Hah.. Sepertinya aku harus menuruti apa kata dia. Setidaknya aku tahu. Kenapa dia bisa berubah menjadi batu.. Jika aku terus bersama dia." gumam Alice, mulai memakai baju kantor secepat kilat. Dia melepaskan kunciran yang selama menikah selalu menemaninya. Dengan cepat Alice memoles dirinya. Dengan rambut yang terurai panjang.
Alice menatap dirinya sendiri di balik cermin. Wajah cantiknya benar-benar terpancar sekarang.
Selesai semuanya. Alice melangkahkan kakinya penuh percaya diri keluar dari kamarnya. Berjalan menampakkan kakinya di lantai, menuruni anak tangga. Pandangan mata Jun tertuju pada kecantikan wajah Al8ve yang terpancar dnegan sangat sempurna di depannya.
Dia benar-benar cantik. Tuan! Pasti belum melihat kecantikan dia. Aku pikir tuan lama-lama akan jatuh cinta padanya.
"Maaf, apa ada yang salah dengan penampilanku?" tanya Alice. Suara lembut wanita itu yang membuat Jun memudarkan bayangan wajah wanita itu.
"Baik, cepat jalan. Tuan, sudah menunggu anda di kantor!" pinta Jun.
"Baik," Alice berjalan ringan, keluar dari rumahnya dan segera masuk ke dalam.mobil. Dan di susul Jun duduk di jok depan mobilnya.
Alice menghela napasnya. Entah perlakuan baik atau buruk yang di terimanya nanti. Sekarang dia sudah siap.